Di Plaza jalan Sudirman, Bik Ijah terpaksa dengan ketat memegang tangan Siti yang jalannya agak terseok-seok karena menahan perutnya yang buncit. Ketika keduanya akan masuk ke toko menjual pakaian bayi, bola mata Siti tertumbuk ke sosok yang sangat dikenalnya. ‘’Bik, coba lihat kesebelah ujung itu. Apakah itu bukan Bang Rusman…..?’’ tanya Siti, Bik Ijah melihat kearah sosok yang ditunjuk Siti.

‘’Duhhhh…..,iya Siti. Perempuan disebelahnya itu siapa….?’’ Bik Ijah bergumam melihat sosok Rusman dan seorang perempuan tinggi semampai yang merangkul pergelangan tangannya. Nampak begitu mesra. Darah di rongga dada Siti bergelayut keras terombang-ambing.

‘’Kita masuk saja ke toko Bik, nanti terlihatnya’’ kata Siti sembari menarikkan tangan Bik Ijah masuk ke toko.

‘’Siapa ya Siti….?’’ tanya Bik Ijah lagi dengan kening berkerut.

‘’Tak tau lah’’ wajah Siti sedikit cemas.

‘’Entah-entah….?’’

‘’Entah apa Bik….?’’ kamit Siti.

‘’Selingkuhan ne…..?’’

‘’Apa iya….?’’ suara Siti bergetar.

‘’Lha……,wesssss lah. Mau selingkuhan ne, mau bojo ne, masa bodo lah Siti. Enggak usah repot-repot lah Ti, guna ne opo dipikirin cah wedok iku. Sing penting kan awak e. Engko asik dipikirin, malah iso nyakitin. Pikir saja diri Siti yang sedang hamil. Uwesssss, boro-boro mikiran uwong yang tak jelas,’’ kata Bik Ijah agak sewot juga melihat Rusman bergandengan tangan dengan wanita lain, sementara Siti yang sudah dinikahi secara Siri tak pernah diperdulikan.

Usai berbelanja, buru-buru Siti dan Bik Ijah beranjak dari plaza itu, tanpa ingin lagi mencari tau siapa perempuan bersama Rusman itu. Di Rumah, kehadiran perempuan bersama Rusman di Plaza menjadi polemik antara Siti dan Bik Ijah yang coba menerka-nerka.

‘’Apakah perempuan itu isterinya Bik……?’’

‘’Lha, Bibik ya enggak ngertoss’’

‘’Mungkin saja, sebab selama Siti menikah Siri dengan Bang Rusman itu, dia kan tak pernah sekalipun melihat Siti’’ kata Siti sambil melunjurkan kedua kakim lurus-lurus di ranjang. Saat itu keduanya seperti sedang berunding di ranjang Siti. Bik Ijah duduk disebelah ujung kaki Siti.

‘’Apa mungkin juga sebelum menikah dengan Siti, dia sudah menikah dulu….?’’ tanya Bik Ijah.

‘’Setahu Siti, tidak mungkin. Kalaupun dia menikah, pasti belum lama  setelah menikah dengan Siti’’ ucap Siti dengan suara sedikit agak parau.

‘’Ya, bisa saja. Zaman saiki laki-laki kan bisa nikah sana nikah sini. Gampang aja. Tetapi, kalaulah benar, sepertinya terbalik ya Siti. Biasanya, laki-laki memiliki isteri pertama menikah secara resmi dan kalau pun mau nikah lagi paling-paling nikah Siri. Kalian terbalik, menikah Siri dulu baru menikah resmi yang tercatat di KUA. Itu pun kalau benar’’ ujar Bik Ijah, wajahnya sedikit agak linglung dengan jalan hidup yang sedang diperani Siti.

‘’Ya, sudahlah Bik. Kalaupun itu memang benar isteri nya, itu kan hak dia. Dalam perjanjian dulu ketika Siti minta dia menikahi Siti secara Siri tak ada ikrar soal dia mau kawin lagi atau tidak. Janjinya, kami menikah sebagai untuk mempertanggungjawabkan bayi dalam rahim Siti saja. Jadi, kalau dia pun menikah lagi, Siti tak bisa berbuat apa-apa. Yahhhh, pasrah sajalah Bik’’ Siti merenungi dinding putih di depannya. Dia tak tau dan tak juga bisa mengerti mengapa dia harus galau. (Bersambung)

Cerita Sebelumnya…

Cerita Selanjutnya...