KEDUANYA, menggeliat bagaikan sepasang ular daun yang melingkar di sebatang pohon. Bergerak dan melilit saling pagut. Suara deru hujan yang menggempur atap rumah diiringi halilintar yang sesekali meledak, seolah tak mampu mengimbangi pekikan dan suara Siti yang terkadang meracau tak tentu arah. Keduanya terlena dan terlelap dalam buaian asmara. Bahkan Siti pun tak merasa jika kaos oblong yang dipakainya sudah tersingkap hingga ke batas batang lehernya yang jenjang. Dia juga tak ingin menampik ketika pelataran kembaran kelapa gading di dadanya  disapu bibir Rizal yang binal dan liar itu.

Hanya dengus nafasnya saja yang terkadang sesaknya bukan main, Gelora dinding rongga dada pun bagaikan wadah darah panas yang menggelegak, berbuncah dan bergelora.

Jika ujung-ujung jemari kaki Siti meliuk dan betisnya begitu lasak merangsak kian kemari, itu dikarenakan gairah birahi asmara yang menumpuk di ubun-ubunnya .Apalagi, gairah itu disuguhkan dan ditampilkan lelaki idaman, tentu ada keiklasan dan kerelaan disitu.

Dekapan dada Rizal bidang itu  seolah bagaikan meremukkan tubuh Siti yang semakin menggelunjak dan sesekali pinggulnya pun terangkat menahankan sesuatu yang menggelegak disekitar lingkaran pinggang.

Suara Siti terkadang merintih dan tersedak itu membuat Rizal kian bereaksi aktif memulas sekujur tubuh Siti yang nyaris polos, bahkan kaos oblongnya pun sudah terhampar tergeletak dil antai. Siti tak menyadari itu semua, dia bagaikan hanyut terombang-ambing di laut cinta. Bahkan dia bagaikan pasrah sepenuhnya dikuasai Rizal tanpa mampu untuk memberontak dalam memadamkan semburan gejolak api cinta yang sedang diperani sang kekasih.

Hanya saja, ketika jemari Rizal mulai melesatkan celana pendek yang membalut pinggulnya, cepat dia menangkup pergelangan tangan lelaki yang kekar itu. Bahkan, bola matanya bagaikan terpancar tajam, seolah dia tidak ingin Rizal bertindak lebih jauh. Rizal tersentak dengan sikap Siti. Dia juga terkesiap.

Siti menolakkan dada Rizal dan dia segera menyambar kaos oblong yang terhampar di lantai lalu buru-buru mengenakannya. Rizal seperti merasa bersalah dan duduk disebelah Siti sambil merunduk.

''Bang, maaf ya, kita tak boleh terlanjur jauh. Kita belum menikah'' Siti berucap lemah. Spontan saja. Namun dia merasa ungkapan itu, bagaikan sebilah pedang yang menyambar ke batang lehernya.

''Sebenarnya abang tidak akan bertindak terlalu jauh'' suara Rizal masih bergetar, mungkin gairah asmara masih bergelora di jiwanya.

''Jadi….?, maksudnya apa ingin melorotkan celana Siti.'' Siti seperti gusar, bibirnya komat-kamit.

''Duhhhh, apa ya….?'' Rizal garuk-garuk kepala.

''Biasanya lelaki diberi sejengkal, minta sedepa'' Siti cemberut dalam lingkaran sebentuk tanya besar arti sebuah lakon yang sesaat ditampilkannya. (Bersambung)

Cerita Sebelumnya..

Cerita Selanjutnya...