HANYA itu saja, Bik Ijah segera beranjak lagi ke dalam. Sepertinya, Bik Ijah tak ingin berlama-lama di situ, mungkin dia pun sudah merasa tak enak hati untuk berbincang bincang dengan Rizal, mengingat situasi yang sedang genting.

‘’Di minum tehnya Bang’’ Siti keluar dengan mengenakan kaos oblong dan celana pendek, lalu duduk disebelah Rizal di kursi panjang.

‘’Ini berandai-andai saja ya Siti. Jika, nanrti kita jadi menikah, maukah Siti ikut abang pindah ke Medan…’’ ujar Rizal sembari mereguk teh panas.

‘’Lha, maulah. Isteri kan harus siap mengikuti kemana suami pergi’’  jawab Siti seolah dia tanpa beban menimpali kata-kata Rizal itu.

‘’Tetapi, baiknya bang tak usah dululah bicara soal pernikahan. Nanti, kalau tak jadi sakitnya bukan main’’ Siti senyum simpul.

‘’Iya, jodoh kan ditangan Tuhan, tetapi bermimpi dan berangan-angan kan tidak salah’’

‘’Memang tak salah, seperti yang Siti katakan tadi, kalau pun berangan-angan jangan terlalu jauh tinggi di awang-awang, kalau jatuh. Wadduh……, bisa tewas.’’  Siti tertawa kuat. Rizal malu hati, namun dia tertawa juga terkekeh-kekeh.

‘’Jadi harus bagaimana……?’’

‘’Sedang-sedang saja lah, kalau bisa diukur tingginya. Jika jatuh pun nanti paling-paling terhenyak, tak sampai bonyok.’’ Siti merasa permukaan pahanya dielus telapak tangan Rizal.

Siti tak bereaksi dengan sikap Rizal itu, sebab sebagai pasangan kekasih yang sudah bertahun membina dawai - dawai asmara, sepertinya hal itu bukanlah sebentuk pelanggaran. Hanya saja, usapan lembut dan gelitik jemari Rizal dipahanya itu, membuat munculnya trauma yang pernah dilakukan Rusman. Hanya mungkin berbeda, antara usapan lelaki yang bertindak kasar dan lelaki yang dicintai. Namun, Siti mencoba mengendalikan emosi traumanya itu dengan menyambut percikan gairah yang disuguhkan Rizal, sebagaimana biasa-biasanya jika mereka sedang kasmaran seperti dulu.

Bahkan, Siti menerima rebahan kepala Rizal dipangkuannya.Seolah malam itu Rizal ingin melepaskan rindu, mungkin juga Siti. Hanya saja curahan kerinduan itu tak sepenuhnya menggelora di jiwa Siti, dia seolah sedang mencederai cinta sejatinya, sedang menampilkan kisah geloranya di pentas sandiwara. Dia sendiri merasa tak pernah lagi memegang naskah drama itu, karena dirinya saat ini hanya sebagai viguran, bukan lagi pemeran utama.

Siti mengelus dan mengusap usap rambut  Rizal dan menatap sendu dan redup ke bola mata Rizal yang seolah tecetus setumpuk keiklasan. Ini yang membuat Siti terenyuh., dan tatapan itu pulalah yang membikin Siti seolah tak tega lagi untuk bersandiwara di depan Rizal. Tetapi sampai kapan, dia mampu bertahan dengan sikap kepura-pura-an seperti itu.

Siti merunduk dan menyentuhkan bibirnya ke bibir Rizal yang segera menyambutnya dengan lumatan lembut, bahkan kedua tangan Rizal mendekap kepala Siti lalu membenamkan bibirnya yang merapat. lalu lidahnya menari-nari bagaikan setangkai kuas yang sedang melukis di kanvas.

Nafas keduanya kian sesak, dengusan liar membahana bagaikan sepasang kuda liar yang binal sedang mendaki bukit terjal dengan membawa beban sarat  di pundaknya.

Entahkan bagaimana, Rizal yang sedang diamuk gelombang asmara itu membawa tubuh Siti terdekap dibawahnya. Siti pun seolah terbuai dengan senandung kasmaran yang dilantunkan Rizal. (Bersambung)

Cerita Sebelumnya...

Cerita Selanjutnya...