CUACA malam itu, agak mendung. Sesekali kilat mencercah diiringi suara guruh yang menggelegar Rizal malam itu katanya mau datang. Siti harus mampu dan bisa mengendalikan diri. Dia tak ingin Rizal tersakiti, walau pun dia menyadari jika Rizal kelak tau masalah tragedi dirinya, pastinya lelaki itu akan shok. Namun, Siti mencoba untuk bisa bertahan apa adanya dan sudah siap jika nanti kasusnya  terkuak, apapun yang terjadi akan dihadapinya. Menanti saat-saat kapan kasusnya terungkap, dia mencoba untuk bersandiwara dalam sikap agar Rizal tak curiga. Dia berupaya untuk tampil sebagai sosok Siti sebelumnya yang penuh canda dan ceria.

Detak-detak gerimis mulai jatuh, Siti sudah siap berdandan dan menunggu Rizal di teras rumah. Beberapa saat mobil sedan Rizal memasuki pekarangan rumah. Rizal segera turun dengan membawa payung kearah Siti yang menunggu di anak tangga teras. Rizal memang begitu sangat menyayangi dan menghargai sosok Siti yang dianggapnya sebagai wanita sejati, lemah lembut dan bersopan santun.

‘’Abang mau permisi dulu sama Ibu’’ kata Rizal setelah keduanya berada dalam mobil.

‘’Emak dan ayah tak dirumah, sore tadi berangkat ke Bengkalis karena ada keluarga yang pesta pernikahan, Dua tiga hari nanti baru pulang ke Pekanbaru.’’ kata Siti. Rizal mengangguk sambil melihat ke pintu, di situ ada Bik Ijah yang segera menutup pintu itu.

Mobil kemudian ke luar dari halaman. Rizal sama sekali tak menaruh curiga apapun pada Siti, karena mungkin Siti bersikap seperti biasa. Padahal, belum lama ini ketika mereka saling bertelepon ada yang sempat dipertanyakan Rizal, mengapa nada suara Siti tak seperti biasanya. Namun, masalah itu tak dipertanyakannya, mungkin sikap Siti yang tiada perubahan sedikit pun.

‘’Bagaimana kabar sakit Bapak…?’’ Tanya Siti sembari menarikkan tisu dan mengelap kaca mobil yang berembun.

‘’Biasalah, sakit yang dulu-dulu juga. Tadi sudah dibawa ke rumah sakit’’ kata Rizal sembari memperhatikan Siti.

‘’Kenapa Bang…?, kok lihat-lihat. Ada yang aneh…?’’ Tanya Siti tertawa.

‘’Siti Nampak semakin cantik saja.’’ Rizal terkekeh.

‘’Duhhhh, jangan terlalu tinggi nyanjungnya Bang. Kalau terhempas bisa bonyok’’ kata Siti sembari mencubit dagu Rizal. Memang canda-canda seperti ini lah yang sering ditampilkan Siti dihadapan Rizal, jadi jika saja terjadi perubahan, Rizal pasti akan bertanya. Karenanya Siti harus hati-hati menjaga sikap itu jangan sampai dia lalai.

‘’Bagaimana dengan kuliah Abang’’ Tanya Siti sambil berpeluk tangan, terpaan dinginnya AC mobil membuat dia sedikit menggigil.

‘’Berjalan baik, kemungkinan tahun depan sudah selesai. Dan ada keluarga di Medan yang siap untuk menampung Abang di perusahaannya setelah abang berhasil meraih sarjana. Jadi, sepertinya tak lama lah abang jadi pengangguran. Lalu, abang akan melamar Siti. Bagaimana……?’’Rizal garuk-garuk kepala.

Ungkapan Rizal ini mendadak membuat jantung Siti nyaris pecah. Nafasnya, bagaikan sesaknya bukan kepalang.

‘’Kenapa diam….?, jangan Siti anggap Abang tak setia seperti yang sering Siti ungkapkan dulu, bahwa kalau abang sudah berhasil meraih sarjana akan berpaling pada wanita lain. Abang akan buktikan nanti. Tak lama lagi, tahun depan yang tinggal tujuh bulan lagi.’’

‘’Ahhhh…., yang benar Nih, nanti janji tinggal janji’’ Siti segera saja mengendalikan dirinya yang nyaris lumpuh.

‘’Maksudnya janji bulan madu…., hanya tinggal janji di bibir abang’’.

Ahhhh….,janganlah begitu.  Bagaimana mungkin hubungan kita yang sudah jalan empat tahun harus abang putus dalam sekejap mata. Tak ada lagi wanita lain bagi  abang yang secantik Siti. Yang setia, yang manja. Yahhhh, semua dari yang itu ada sama Siti. ‘’Rizal terus saja menyanjung Siti, sebaliknya Siti malah kian diterpa ketakutan dan kegentaran yang maha hebat. Semakin segudang. Rizal menyanjung semakin gamang dirasakannya diri. (Bersambung)

Cerita Sebelumnya...

Cerita Selanjutnya...