UNGKAPAN Bik Ijah ini membuat Emak sedikit agak terperangah. Betul kah kecurigaannya itu ada benarnya ? Ahhhhh, kalau bisa jangan lah. Ini semua hanya  fatamorgana saja. Hanya, permainan mata sesaat. Mungkin sekedar masuk angin saja. Biasalah itu. Emak mencoba untuk menenangkan hatimya dengan mencetuskan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali tak benar.

‘’Mudah-mudahan tidak ya Bik. Jauhlah dari panggang api kalau Siti itu mau berbuat yang tidak-tidak. Saya tau betul tentang dia, dia pandai jaga diri’’ ujar Emak

setelah lama terdiam dan berupaya untuk berbasa-basi terhadap dirinya sendiri. Namun dari rona wajahnya terbias kecemasan yang amat sangat. Sebagai wanita tentu Emak faham betul tetang perempuan yang sedang berbadan dua. Hanya saja Emak mencoba mengusir jauh-jauh praduganya itu.

‘’Saya takut sekali lah Bik, jika masalah dengan Rusman itu membuat dia bertindak macam-macam’’ kata Emak dengan perasaan mulai tak enak.

‘’Maksud Ibu….?’’

‘’Yah, bisa saja dia untuk melampiaskan rasa hati bertindak di luar kesadaran sebagai mengikuti rasa hatinya. Padahal, masalahnya kan sudah tuntas. Kami tak lagi meminta dia harus menerima lamaran si Rusman itu dan laki-laki itu pun tak pernah menghubungi lagi’’ suara Emak bergetar, dia merasa ada yang aneh pada Siti belakangan ini. Tidak seperti biasanya, Siti itu suka bercanda, ceria. Tetapi kali ini seperti pendiam dan tak ingin diusik.

‘’Saya rasa ah Bu, Siti tak mungkin bertindak macam-macam. Saya tau betullah orangnya.’’

‘’Mudah-mudahan tidak ya Bik. Mungkin semua ini hanya perasaan kita saja’’ Emak mencoba menyingkirkan jauh-jauh rasa cemasnya. Namun begitu, Emak ingin Bik Ijah coba-coba juga bicara dengan dengan Siti mengenai masalah itu, agar tak ada lagi kecemasan dan ketakutan yang tergantung di hati.

Sekembali Siti mengajar, Bik Ijah segera menghampiri Siti di kamarnya yang sedang melepaskan busana seragamnya.

‘’Nyelonong aja Bik’’ kata Siti segera menutup dadanya yang terbuka dengan menyilangkan kedua tangan di situ.

‘’Alah, Cuma Bibik aja kok’’ Bik Ijah mendowerkan bibirnya seraya duduk di tepi ranjang. Siti tersenyum simpul sembari menyarungkan kaos oblong ke tubuhnya.

‘’Mau apa Bik, ngak pernah-pernahnya sepulang saya ngajar terus ke kamar saya. Penting….? Butuh duit….?’’ kata Siti yang segera pula duduk di pojok ranjang dan menyandarkan punggungnya di bingkai ranjang itu, sembari menarik selimut dan menutupi tubuhnya belahan bawah yang masih terbuka.

‘’Ahhhh, ndak juga.. Duit Bibik sudah betepek-tepek’’ Bik Ijah nyengir.

‘’Jadi, seperti serius sekali nampaknya’’ kata Siti sembari mengangkat kedua kakinya dan melunjurkan lurus-lurus.

‘’Tidak juga, hanya mau ngomong-ngomong saja sebentar’’ perasaan Bibik sesaat menjadi tak karuan, antara ingin bertanya dan tidak. Tak ditanya, dia tadi disuruh Emak. Ditanya, takutnya Siti tak berkenan. Bisa-bisa dia kena damprat, Duhhhh, bik Ijah jadi serba salah.

‘’Kok diam Bik, tadi katanya mau ngomong. Yahhh, bicara aja. Kok jadi ndower gitu. Kayak tikus kejepit pintu.’’ Siti tertawa renyah melihat sikap Bik Ijah yang nampak seperti serba salah dan salah tingkah.

‘’Anu, opo ya. Huhhhh, teler juga rasa ne.’’

Siti geli hati juga dengan sikap Bik Ijah yang tampak blingsatan kayak cacing di keroyok semut kerangga.

‘’Gini lho, kalo Bibik nanya dikit, kan ndak marah ya Siti.’’  akhirnya Bik Ijah bicara sepukul.

‘’Marah…?, lha enggak. Kok mesti marah. Kan belum tau ujung pangkalnya.’’ kata Siti seraya turun dari ranjang sambil membalut selimut menutupi tubuhnya belahan bawah, dia menuju ke lemari dan mengambil celana pendek lalu memakainya. Kembali lagi duduk di bibir ranjang seraya menaikkan kaki sebelah menopang ke kaki sebelahnya.

‘’Gini lho, semalam itu kan Siti muntah-muntah, apakah memang masuk angin tau……?’’

‘’Ya, masuk angin lah. Jadi bunting……?’’ Siti tertawa lucu dengan pertanyaan Bik Ijah itu.

‘’Maksud Bibik, apakah tidak ada tanda-tanda perubahan pada diri Siti…?’’

‘’Perubahan apa, rasanya biasa-biasa saja.’’ Jawab Siti, tak jelas mengapa dia menjawab seadanya. Seentengnya saja. Tanpa beban. Lalu apakah praduga Emak itu hanya rasa dan perasaan orang tua semata. Belum jelas.. (Bersambung)

Cerita Sebelumnya...

Cerita Selanjutnya...