KABAR kedatangan Rizal dari Medan, ternyata kian memperburuk kondisi Siti. Bagaimana pun juga ,lambat laun Rizal pasti akan tau, sebab sampai batas mana lah  dia mampu untuk bertahan dalam kebohongan dan terus bersandiwara seolah-olah memang tidak ada sesuatu yang  pernah terjadi pada dirinya.

Jalan hidup Siti yang terus menyimpan rahasia malapetaka yang menerjang dirinya pun  sepertinya mulai menerpa kondisi tubuhnya yang kini agak kurus. Tak ada lagi bias - biasa kecantikan dan keanggunan. Tak terlihat lagi kemolekan tubuhnya yang semampai yang selalu mengundang birahi bagi lelaki yang memandangnya. Lambat laun fenomena keindahan itu semakin  luntur, sepertinya dia mulai tak sanggup untuk menahan dan menanggung beban sendirian. Dia perlu bantuan dan pertolongan. Tak hanya sekedar curhat, tetapi begaimana mencari solusi jalan ke luar yang terbaik.

Pagi itu, Siti sudh bersiap - siap untuk tugas mengajar. Tegak di depan cermin sebentar lalu memoles bibirnya yang tipis dengan lipstik warna merah jambu. Di raihnya tas tangan lalu menyandangnya dan segera beranjak ke ruang depan. Handphone-nya yang terletak di atas meja ruang tamu berdering dan bergetar. Cepat  diambilnya. Ternyata Rizal yang menghubungi. Jemarinya menggeletar menggenggam telepon itu dan nafasnya mendadak sesak.

‘’Siti, abang baru saja sampai di Pekanbaru. Apakah Siti mengajar pagi ini…?’’ tanya Rizal.

‘’Iyalah Bang’’ Siti mencoba untuk menenangkan diri dan berusaha untuk tidak gugup dan kaku.

‘’Kalau begitu, malam saja kita ketemu.’’

‘’Iya Bang’’ Siti seperti tak mampu membendung keadaan dan kondisinya juga nampak sungkan. Dia jadi kian serba salah. Karena bagaimana pun kepura-puraan itu janggal untuk diperankannya. Ini semua dilakukannya karena dia tak ingin menyakiti Rizal. Namun sebaliknya tidak tega juga untuk terus bersandiwara membohonginya.

Seketika dia diamuk gelisah, bagaimana dia nanti menghadapi Rizal dengan dengan peran seperti dulu sebelum peristiwa penodaan yang dilakukan Rusman pada dirinya. Akan mampukah dia bertahan untuk terus menyodorkan keimitasian….? Apakah cara itu nanti malah akan memperburuk situasi. Atau dia berterus terang saja, dari pada nanti kan lebih baik sekarang, agar masalah cepat pula terselesaikan dan tidak harus berlarut-larut tanpa kepastian. Jika Rizal kelak akan menerima kenyataan itu dengan iklas, berarti bebannya kian ringan. Jika pun tidak, mau apalagi. Terserah sajalah.

‘’Siti, apakah tak sarapan dulu’’  bik Ijah pembantu yang sudah bertahun lamanya  tinggal di situ mengikut keluarga emak, menyapa dari belakang. Siti yang lama tertegun berbalik melihat.

‘’Tidaklah Bik, minum saja. Nanti di sekolah sarapan di kantin’’

‘’Nanti masuk angin, seperti semalam muntah-muntah’’ kata Bik Ijah lagi.

‘’Tak apalah Bik, Siti lagi tak berselera pula untuk makan’’ kata Siti yang segera beranjak ke luar.

Sepeninggal Siti, Emak nampak ke luar dari kamarnya. Dan memanggil Bik Ijah untuk duduk bersama di ruang depan. Di rumah itu Bik Ijah tak diperlakukan sebagai pembantu tetapi bagai keluarga dan terkadang Emak pun sering bersama Bibik curhat.

‘’Coba Bibik perhatikan belakangan ini, ada tak perubahan pada diri Siti itu’’ tanya emak pada Bik Ijah yang sudah duduk di depan Emak.

‘’Menurut Ibu perubahan yang bagaimana….?’’

‘’Siti itu terlihat kurus, tetapi ada yang lain saya lihat pada perkembangan badannya.’’

‘’Saya enggak ngerti maksud Ibu, maaf ya. Ngak nangkap’’ Bik Ijah yang rambutnya sudah memutih semua itu mengerutkan dahinya.

‘’Coba perhatikan pinggulnya, seperti ada sesuatu. . Agak mekar’’

‘’Duhhhhh….., piye toh Bu. Kayaknya masih kurang nyambung’’

‘’Seperti perempuan beranjak hamil’’

‘’Lha, endaklah. Saya rasa biasa-biasa saja. Tetapi…..,’’ Bik Ijah diam sesaat.

‘’Tetapinya, diteruskan lah Bik’’

‘’Kemarin Siti itu muntah-muntah, apakak memang ada hubungannya….?’’ mulut Bik Ijah komat-kamit. (Bersambung )

Cerita Sebelumnya...

Cerita Selanjutnya...