DENGAN perasan kikuk dan sungkan Siti masuk ke kamar itu. Sikapnya juga penuh dengan perasaan was-was, karena bagaimanapun juga suatu pertemuan apa pun namanya jika berada di kamar hotel sepertinya tidak etis. Namun, dikarenakan emosi jiwa yang sudah memuncak, dia mencoba untuk bisa menenangkan diri.

Siti duduk di sebuah kursi yang bersebelahan dengan kaca hias. Denyut jantungnya berdetak kencang. Tidak satu–satu, tetapi beruntun. Rusman sendiri sejak tadi berada di kamar mandi.

Beberapa saat kemudian Rusman keluar lalu duduk dibangku disebelah Siti. Rusman tak kelihatan sungkan, dia biasa saja. Bahkan acap meneBar senyum simpul.

''Bagaimana kabar Bapak sama Ibu….?'' tanya Rusman setelah lama diam.

''Baik,'' Siti menjawab cuek saja.

''Siti sendiri….?''

''Sehat,'' singkat saja jawaban Siti, dan Rusman paham dan seperti mengerti mengapa Siti berpenampilan dingin seperti itu.

''Ada perlu apa menemui Abang….?'' tanya Rusman sembari menyandarkan punggungnya.

''Kita terus terang saja Bang, rasanya Siti pun tak perlu basa-basi.Siti tak paham dan mengerti mengapa orang tua Siti terus saja mendesak agar Siti menerima lamaran abang. Abang kan tau, Siti sudah punya pacar, seharusnya abang tak perlu lagi mengusik Siti melalui Ayah maupun Emak. Bahkan, belakangan ini Siti kena ultimatum harus menjawab Ya atau tidak tentang lamaran abang itu'' suara Siti terdengar menggeletar. Bibirnya terkatup-katup, manahan emosi jiwa yang meletup-letup.

''Abang akui memang abang sering menanyakan itu, tetapi semua kan terserah Siti. Mau terima atau tidak. Abang tentu tak bisa memaksakan kehendak. Wajar, lelaki menyatakan sesuatu kepada perempuan. Tidaklah mungkin, perempuan melamar laki-laki,'' Rusman menjawab seenaknya saja sebab dia merasa tak bersalah.

''Tetapi, abangkan sudah tau Siti punya pacar mengapalah abang utarakan juga. Seharusnya abang lebih arif menyikapinya,'' suara Siti serak, dia berucap tanpa melihat ke arah Rusman. Tatapannya hanya tertuju ke bingkai lukisan serombongan kuda liar yang sedang berpacu di depannya.

''Okelah, kalau begitu. Maafkan abang jika selama ini telah mengusik ketenangan Siti. Dan tidak akan bertanya lagi''

''Apakah janji abang ini bisa Siti pegang….?''

''Lihat saja nanti, kalau abang masih saja bertanya pada Ibu dan Ayah Siti, silahkan Siti mau berbuat apa saja pada abang. Tetapi percayalah hal itu tidak akan terulang lagi''

''Benar…..?''

''Ya…''

''Sungguh….?'' dan sejak tadi, baru kali inilah Siti melihat ke arah Rusman

''Abang bukan lelaki yang melanggar janji''

''Siti juga minta, pertemuan ini jangan abang utarakan pada Ayah dan Emak, karena nanti juga tak menyelesaikan masalah. Malah, semakin memperuncing persoalan. Angggap saja kita tak pernah bertemu'' Siti melihat ke arah Rusman yang mengangguk-angguk.

''Jangan main angguk-angguk saja Bang, nanti sudah kita pisah justru abang menggeleng-geleng,'' Siti mencoba bercanda, dia tampak dalam sesaat agak ceria.

(Bersambung)

Cerita Sebelumnya….

Cerita Selanjutnya...