REKAM jejak setiap kegiatan, adalah bijak bila dinukilkan, agar mata generasi dibukakan, merajut robek jadi baik di masa depan. Syahdan, AIDS hakikat suatu penyakit, menerpa dunia merambah hingga kini berjangkit, tiada negara mampu hindar dan berkelit, tak ubah bagai pandemi Covid.

Stigma dan diskriminasi adalah kendala, penghalang utama segala upaya, sinis dan anti terhadap ODHA, Orang dengan HIV/AIDS kepanjangannya. Terpikir ‘tuk angkat sejarah PUSYANSUS, singkatan dari Pusat Layanan Khusus, upaya mewujudkannya tidak mulus, tantangan datang dari bebagai jurus. Upaya taklukkan stigma dan diskriminasi, libat himbau berbagai instansi, juga ajak peran berbagai profesi, butuh penyuluhan dan sosialisasi tiada henti.

Tahun 1992, pengidap HIV pertama ada di Sumatera Utara, tahun 1994 kasus AIDS menyusul pula, sejak itu, jumlah kasus meningkat nyata, sementara obat penawar ketika itu belum ada. Pada tahun sembilan belas - sembilan empat, tanggal dan bulan sudah tak ingat, Aku masih

PPDS akhir tahun keempat, menerima rujukan pasien AIDS disertai surat. Pasien dikirim dari klinik pelabuhan Belawan, anak kapal antar negara dengan gangguan kesadaran, disertakan lengkap hasil pemeriksaan. Diagnosis AIDS dengan toksoplasmosis otak, di tempat tidur poli ia tergeletak, Aku melihat kasus ini tersentak, kukirim ke ruang rawat untuk ditindak. Kepala ruangan RS Dr. Pirngadi menolak, dengan alasan tidak ada tempat yang layak, kehebohan terjadi mendadak, pimpinan rumah sakit juga mengelak. Segera pimpinan berembuk, diputuskan pasien segera dirujuk, Rumah Sakit Adam Malik tempat ditunjuk.

Diskriminasi mencengkeram awam dan medis, mereka menghindar dan memandang sinis, pengidap HIV dianggap bermoral tipis, dijauhi ditakuti laksana iblis. Rumah sakit tak hendak merawat, takut virus tertular pada perawat, dokter pun tak mau terlibat, pasien ditolak rasa tak minat. Padahal pasien butuh dukungan, dari keluarga dan lingkungan, bukan malah disingkirkan, apatah lagi ditelantarkan.

Di RS Adam Malik kejadiannya sama, pasien diterima dengan terpaksa, ditempatkan di ruangan seadanya, semua petugas enggan memeriksa. Pasien bagai ditelantarkan, tidak ada dokter memberi pengobatan, semua petugas medis ketakutan, pasien meninggal beberapa hari kemudian.

Kala itu tenaga terlatih masih terbatas, ilmu tentang HIV belum meluas, informasi hoax mengalir deras, kritik dan hujatan ujaran pedas. Pengidap butuh layanan prima, sama seperti penyakit lainnya, tak perlu diisolasi seperti pasien corona, karena tak semudah corona penularannya. Orang yang tahu memang banyak, orang sok tahu malah berserak, orang yang paham sulit diajak, sedikit peduli lebih banyak menolak. Sungguh tak mudah mengubah paradigma, karena menyangkut paham budaya, kadang dikaitkan dengan agama, pengidap HIV dipandang bagai pendosa.


Merawat pasien AIDS jadi pelik, lebih sukar daripada merawat pasien penyakit kronik, karena pasien AIDS butuh dukungan dan pantauan medik, petugas medis bagai bukan tenaga akademik. Tenaga terdidik dan terlatih amat terbatas, kebanyakan mereka takut dan cemas, berbagai rumah sakit menolak tegas, upaya penanggulangan jadi terbatas. Bila insan kesehatan belum paham, apalagi masyarakat awam, padahal diskriminasi itu melanggar HAM, masa depan ODHA menjadi suram.

PUSYANSUS Berjuang di Tengah Konflik

Masalah pengidap HIV semakin beragam, infeksi oportunistik senantiasa mengancam, infeksi tuberkulosis di Indonesia masih mencekam, pengidap HIV rentan infeksi beragam. Kasus Ibu

hamil dan anak, jumlah kasusnya semakin banyak, butuh bantuan obgyn dan spesialis anak, pencegahan penting sebelum ibu beranak.

Mengingat kompleksnya masalah ODHA, dirasa perlu unit khusus yang tampil beda, dengan personil kesehatan berwawasan sama, mendobrak pola pikir purba. Harus berani melawan arus, advokasi dilakukan terus menerus, tantangan berat harus ditembus, penuh risiko semangat tak putus.

Pada tahun 1997 dibentuk panitia penanggulangan, terdiri dari berbagai disiplin ilmu kedokteran, setelah terbentuk tak pernah ada kegiatan, hingga akhirnya tim tak lagi kedengaran.

Disadari perlu mengurangi unsur birokrasi, perhatian khusus pada stigma dan diskriminasi, yang dibutuhkan orang-orang sehati, masalah disiplin ilmu dipikirkan nanti. Pusyansus pun nekad berdiri, meski diakui tidak resmi, karena pimpinan tidak merestui, seakan unit di luar instansi.

Pusyansus jalan perlahan tapi pasti, konsisten menampilkan data dan meneliti, mengamati kasus dan pola epidemiologi, disajikan pada pertemuan ilmiah resmi. Kasus-kasus baru diamati dan dikelola, menerima kasus dari luar Sumatera Utara, bahkan kasus dari mancanegara, membuat hujan sinis mulai reda. Pusyansus bagai pohon terus tumbuh, bagai dermaga tempat ODHA berlabuh, pihak rumah sakit mulai merasa butuh, bahkan jadi unit yang tampil utuh.

Pusyansus juga memulai proses VCT, melibatkan dua orang ahli psikologi, memberi dukungan psikis penuh arti, agar ODHA tak mengalami depresi. Selain itu aktif melakukan penyuluhan, untuk awam dan petugas kesehatan, tokoh agama dari berbagai kalangan, meretas stigma dan untuk membuka wawasan.

Pelayanan awalnya belum sempurna, bersifat paliatif terutama menanggulangi infeksi penyerta, infeksi opportunistik aktif saja, seperti candidiasis dan tuberkulosa. Pada tahun 2001 ARV awal bermula, sudah bisa diakses melalui RSCM Jakarta, akan tetapi prosedur ini perlu waktu lama, belum diberi kepercayaan untuk mengelola. Pada tahun 2002, unit ini telah mendapat kepercayaan untuk mengelola, pemberian ARV tanpa melalui Jakarta.

Pada April tahun 2003, akhirnya pimpinan rumah sakit keluarkan SK, PM.04.03.5.3.1644 nomor suratnya, barulah hati merasa lega, unit sederhana akhirnya diakui juga. Unit ini tak punya

ruangan, dengan Divisi Penyakit Tropik disatukan, meski Kepala Bagian tak mengizinkan, bermodal semangat dan doa kepada Tuhan. Pusyansus menjadi tonggak sejarah, pusat layanan HIV/AIDS terbentuk sudah, meretas pemahaman yang sulit diubah, didedikasikan untuk Sumatera Utara semoga berkah.

Era Merintis

Fenomena gunung es menjadi salah satu faktor, penentu kebijakan sulit diajak jadi pelopor, apalagi mengajak lintas sektor, mereka anggap AIDS penyakit kotor. Pusyansus mulanya keberadaannya dilematik, sehingga perkembangannya sulit dan pelik, pejabat struktural hanya mengeritik, lintas disiplin tak sedikit yang tertarik. RSUP H. Adam Malik awalnya khawatir, pasien dan keluarga takut dan menyingkir, kami pun tidak habis pikir, mengapa masalah infeksi virus jadi stigma tiada akhir. Sebagai Rumah Sakit Tipe A, Adam Malik jadi rujukan utama, harus siap dengan layanan prima, harus siap antisipasi masalah kesehatan di wilayah kerjanya.

Lokasi Pusyansus saat berdiri tidak mencerminkan namanya, sebab tidak ada tempat khusus jauh dari sempurna, menumpang pada ruangan yang ada, di Divisi Tropmed digabungkan saja. Hal itu bisa terlaksana, karena penulis Kepala Divisinya, tanpa restu dari pimpinannya, istilah Medan, ‘modal nekad” namnya. Tidak adanya ruang khusus menyulitkan, konseling pasien sulit dilaksanakan, konselor pun selalu merasa sungkan, masalah privacy terabaikan.

Pemeriksaan penunjang diagnostik sama sekali tak ada, baik rapid test apalagi ELISA, laboratorium rumah sakit tidak menerima, karena takut menerima spesimen dari ODHA. Bila dikirim ke Lab swasta, tentunya butuh waktu lebih lama, disamping butuh lebih banyak biaya, sehingga hal ini jadi dilema. Tantangan lain belum ada internet internal, sehingga bekerja tidak mungkin optimal, apalagi jadi profesional.

Memasuki tahun 2004, terjadi perubahan dengan cepat, Akses ARV lebih mudah didapat, Global Fund ikut terlibat, klinik VCT berkembang cepat, ODHA mulai mendapat obat. Penulis diberi kepercayaan, oleh Kepala Dinas Kesehatan, karena sulit mencari dokter pensiunan, apalagi paham tentang program yang dijalankan. Terjadi kemajuan kebijakan Nasional, Global Fund mulai dikenal, memberi bantuan kebutuhan fungsional, relawan HIV/AIDS dapat bantuan finansial.

Tahun 2006 penulis alih jabatan, Pusyansus terpaksa ditinggalkan, untungnya kader sudah disiapkan, sehingga kegiatan tetap dilanjutkan. Walau telah pindah tugas, layanan AIDS tak pernah dilepas, sebagai klinisi tetap bertugas, berbagi ilmu dengan ikhlas.

Penutup

Paparan diatas adalah sebuah potret biasa, jejas-jejas meretas fenomena yang bercerita, tentang perkembangan ilmu dan teknologi pada suatu masa, yang erat kaitannya dengan karakter manusia. Pemahaman ilmu teknologi dan pengetahuan, hakikatnya adalah sejarah suatu peradaban, kelak jadi catatan untuk tidak dilupakan, himpun pepat dengan adat budaya dan kebiasaan. Hikayat Pusyansus bagai sekelumit sisi sebuah bangsa, berkisah tentang diskriminasi dan stigma, yang tak mudah lenyap serta merta, meski berbagai informasi sangat terbuka, di dunia nyata maupun maya. Pusyansus hanya sebutir dedikasi, titik tinta di tanah negeri, betapa mudah dihapus dihabisi, bila tiada insan memandang jeli. Bahkan hingga Covid jadi pandemi, diskriminasi dan stigma belum mampu diatasi, hingga beban ganda memberati, sosialiasi harus bergulir terus tiada henti.

Semoga di masa datang, Pusyansus dapat terus berkembang, generasi penerus harus berniat dan berdaya juang, masalah infeksi tak semudah ramalan dan tak mudah hilang.

BIODATA SINGKAT

Nama : DR. Dr. Umar Zein DTM&H, Sp.PD, KPTI (Pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara)

Penghargaan dan Prestasi

- Penulis 50 judul buku kedokteran dan sastra

- Peraih 10 besar novel terbaik dalam Festival Sastra Bengkulu yang diikuti penulis nasional dan internasional.

- Novel Tegar karangannya diangkat menjadi sebuah film pendek berjudul Surat Cinta Buat Tegar, yang diproduksi Universitas Islam Sumatera Utara

- Penulis belasan judul kumpulan puisi dan juga kumpulan cerpen.

- Penulis buku ajar dimulai dari Ilmu Kesehatan Umum, Ilmu Penyakit Dalam, Buku Saku Demam, hingga buku Ekstrak Sambiloto sebagai Antimalaria.

- Penulis buku ilmiah tentang Prinsip Farmakologi-EndokrinInfeksi Pengobatan Berbasis Patobiologi, atau 100 Pertanyaan Seputar HIV/AIDS yang diperbarui dengan 111 Pertanyaan Seputar HIV/AIDS.

- Penulis yang telah meluncurkan 210 Untaian Pantun HIV/AIDS, serta Antologi Cerpen : Tatkala Mereka Melawan Tuhan.

Kepustakaan

1. Djoerban Z. Membidik AIDS : Ikhtisar Memahami HIV dan ODHA. Galang Press Yogyakarta.
2000:165-74.
2. Maas LT. Kondisi HIV/AIDS di Sumatera Utara dan Strategi Penanggulangannya. Simposium Infections Update 2004. 2004.
3. Pusyansus. Proposal Pengembangan dan Peningkatan Pelayanan ODHA di Pusyansus. Rumah Sakit Umum Pusat H Adam Malik Sumatera Utara. 2005.
4. Zein U. Ancaman AIDS Semakin Nyata, Jurnal Kedokteran Methodist, Vol.5 No. 5 Maret 2011, 364 - 6.
5. Zein U. Data AIDS Terkini Harian Umum Waspada. 2004.
6. Zein U, Forwakes. Kisah AIDS, Kumpulan Cerpen dan Artikel, USU Press, 2011
7. Zein U, Dachi B, Ginting Y. Gambaran Penderita HIV/AIDS di Medan Tahun 2004. Konres Nsional Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik Indonesia (PETRI), Samarinda, 2004