SEBUAH potongan video viral hari ini. Potongan video ini dicuplik dari siaran TV milik parlemen. Video ini berasal dari rapat antara Komisi IX DPR RI dengan Kemenkes, DJSN, Dewas BPJS Kesehatan, dan Direksi BPJS Kesehatan. Rapat mulai Selasa (5/11), berlanjut Rabu, dan berlanjut lagi Kamis ini. Bahkan pada Rabu, rapat dimulai pukul 10.00 WIB dan berakhir hingga hampir tengah malam. Video itu menerangkan bahwa pemerintah sudah tidak menghargai lagi hasil rapat gabungan Komisi IX dan Komisi XI DPR RI dengan pemerintah (Menko PMK, Menkeu, Menkes, Mensos, Men PPN/Kepala Bappenas, BPJS Kesehatan, DJSN) pada awal September.

Efek Berantai

Rapat pada 2 September 2019 tersebut merupakan gong atas serangkaian rapat yang panjang antara DPR dan pemerintah, khususnya Komisi IX dengan Menkeu, Menkes, DJSN, dan BPJS Kesehatan. Bahkan rapat itu berangkai sejak paro kedua 2018. Namun pada 2 September juga melibatkan Komisi XI dan Menko PMK, Mensos, dan Bappenas. Inti semua rapat itu adalah tentang program Jaminan Kesehatan Nasional. Kok melibatkan banyak kementerian dan lembaga?

Ya, program JKN merupakan amanat proklamasi. Pendidikan dan kesehatan merupakan tandem tak terpisahkan sebagai prasyarat kemajuan suatu bangsa. Tanpa salah satunya, apalagi jika dua-duanya, maka mustahil suatu bangsa bisa maju. Karena itu Pembukaan UUD 1945 jelas menyatakan tentang “melindungi segenap bangsa Indonesia” dan “memajukan kesejahteraan umum”. Frasa “jaminan sosial” juga tercantum eksplisit dalam Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Karena itu kemudian lahir UU SJSN pada 2004 dan UU BPJS pada 2011. Akhirnya BPJS Kesehatan resmi beroperasi sejak 1 Januari 2014.

Praktik jaminan sosial bidang kesehatan bukanlah hal yang mudah. Sejumlah negara bangkrut gara-gara gagal mengelola jaminan sosial dengan baik – yang bangkrut negaranya. Banyak model yang bisa menjadi benchmarking seperti Jerman dan Inggris. Jerman dengan sistem iuran, sedangkan Inggris iurannya dipotong langsung dari pajak. Indonesia lebih dekat pada model Jerman. Sedangkan dari sisi pemanfaatan, ada yang dibatasi dan ada yang tanpa batasan. Indonesia menggunakan yang tanpa batasan apapapun. Semua jenis penyakit ditanggung dan juga berapapun biayanya akan dibayarkan. Namun yang terumit tentu berapa sih besaran iuran yang tepat? Nah di sini masalahnya.

Tak gampang menentukan besaran iuran. Karena ini tergantung pada kondisi di lapangan. Ini menyangkut jumlah orang sakit, biaya perawatan, kemampuan iuran, dan kemampuan negara. Sebetulnya sudah ada ilmunya, yaitu ilmu aktuaria. Namun soal keyakinan memang butuh pengalaman alias praktik di lapangan. Karena itu, pada tahap awal pemerintah membuat tarif iuran yang sangat murah, bahkan salah satu yang termurah di dunia. Asumsinya adalah, jika kurang dana maka pemerintah akan menutupnya. Sejak 2014, artinya sejak berdiri, BPJS Kesehatan mengalami ‘defisit yang terencana’. Sebagai konsekuensinya, setiap tahun pemerintah memberikan suntikan dana untuk menambal defisit tersebut. Seiring terus meningkatnya jumlah pemanfaatan, per hari lebih dari 640 ribu pemanfaatan, maka biayanya pun terus membengkak. Sehingga pada 2019 ini diperkirakan akan defisit Rp 32 triliun. Dan jika terus dibiarkan maka defisit pada 2024 bisa mencapai Rp 77 triliun.

Kondisi defisit tersebut bukan sekadar soal tambal-menambal, tapi juga mulai mengganggu kualitas layanan. Masyarakat mengeluhkan pelayanan rumah-rumah sakit. Misalnya merasa dinomorduakan, atau jika harus operasi bisa menunggu antre yang lama. Rumah-rumah sakit, terutama yang kecil-kecil, juga mulai megap-megap. Mereka bisa kolaps. Gaji karyawan, sekitar 1,2 juta dokter, perawat, paramedis, office boy, dan lain-lain mulai telat dibayarkan. Sebagai lembaga, BPJS Kesehatan pun menghadapi persoalan kepercayaan dari publik. Karena itu butuh solusi yang lebih permanen, yaitu merasionalisasi iuran. Karena kondisi ini telah berlangsung lebih dari 5 tahun.

Rapat 2 September

Salah satu poin terpenting dalam rapat dua hari terakhir ini adalah ihwal penolakan sejumlah anggota Komisi IX atas kenaikan iuran peserta Kelas 3 segmen PBPU dan BP. PBPU adalah singkatan Pekerja Bukan Penerima Upah. Mereka adalah pedagang, petani, nelayan, pengusaha, pengacara, artis, dan sebagainya. Intinya mereka adalah bukan pegawai. Rentangnya sangat luas, mulai dari orang kaya sekali hingga orang biasa. Sedangkan BP adalah singkatan Bukan Pekerja. Mereka umumnya pensiunan.

Mereka berpatokan pada kesepakatan rapat 2 September 2019. Sehingga muncul tuduhan bahwa pemerintah sudah tidak menganggap DPR. Sehingga ini sudah menyangkut harga diri DPR. Betulkah seperti itu?

Mari kita lihat hasil rapat gabungan tersebut. Pada rapat itu, ada sembilan kesimpulan. Poin pertama, Komisi IX dan Komisi XI “mendesak pemerintah untuk segera mengambil kebijakan untuk mengatasi defisit”. Poin kedua, Komisi IX dan Komisi XI “menolak rencana pemerintah untuk menaikkan premi JKN untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja kelas III, SAMPAI PEMERINTAH MENYELESAIKAN DATA CLEANSING serta mendesak pemerintah untuk mencari cara lain dalam menanggulangi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) kesehatan”.

Poin kedua ini yang menjadi titik persyaratan. Setelah rapat tersebut, BPJS Kesehatan Bersama kementerian terkait bekerja maraton untuk melakukan data cleansing. Mengapa harus ada data cleansing? Untuk itu kita harus memahami riwayat penentuan peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran, alias peserta yang iurannya dibiayai pemerintah sepenuhnya). Peserta PBI didaftarkan oleh Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan menerima data peserta PBI dari Kementerian Sosial. Kementerian Sosial mendapat data dari pemerintah daerah cq dinas-dinas sosial seluruh Indonesia. Karena itu, Kementerian Dalam Negeri juga dilibatkan.

Para penerima PBI ini adalah penduduk miskin dan penduduk tidak mampu. Dalam praktiknya terjadi inclusion error dan exclusion error, yaitu orang yang mestinya tidak masuk PBI justru didaftar sebagai peserta PBI dan orang yang mestinya masuk sebagai peserta PBI tapi justru tidak didaftar sebagai peserta PBI. Faktornya macam-macam. Pertama, kondisi ekonomi seseorang naik turun. Ada yang semula miskin menjadi mampu, begitu sebaliknya. Ada yang semula menganggur tapi kemudian bekerja, begitu sebaliknya. Kedua, like and dislike. Biasanya ini soal kedekatan dan kekerabatan. Ketiga, faktor politik. Biasanya soal afiliasi politik dengan penguasa daerah. Keempat, kesalahan pendataan. Kelima, faktor administratif. Hal ini menyangkut akurasi NIK, NIK ganda, tak ada NIK, salah nama, sudah meninggal, dan lain-lain.

Nah, adanya sebagian ketidakakuratan pada data PBI ini berimplikasi pada peserta PBPU, yaitu peserta kelas 3 PBPU. Mereka ini bisa jadi sebagian adalah penduduk miskin dan tidak mampu tapi belum masuk dalam PBI. Dalam konteks inilah perlunya data cleansing. Sejak September, pemerintah melakukan data cleansing. Selain menghapus peserta yang secara administratif bermasalah juga menukar peserta PBI yang melalui verifikasi dan validasi Kemensos dianggap mampu dengan peserta PBPU yang miskin dan tidak mampu yang belum masuk dalam data PBI.

Terlepas hasil rapat 2 September tersebut, sebagian anggota Komisi IX juga berpendapat sebaiknya iuran peserta kelas 3 PBPU dan BP ini tidak naik sama seklai. Jika memang iurannya harus Rp 42 ribu maka sisanya disubsidi oleh pemerintah. Dengan demikian BPJS Kesehatan tak perlu defisit dan peserta kelas 3 PBPU dan BP pun tak perlu merogoh koceknya lebih dalam lagi. Ada pula yang mengusulkan agar semua peserta kelas 3 PBPU dan BP dimasukkan sebagai peserta PBI. Semua ini kini masih terus dibahas.*

Jakarta, 7 November 2019

Nasihin Masha