Kearifan-lokal yang baik dan positif harus terus dijaga dan dienjatawahkan dalam kehidupan bermasyarakat maupun dari generasi ke generasi. Indonesia yang beragam dan majemuk dari wilayah, agama, kebudayaan bahkan suku sudah tidak hal yang asing maupun baru lagi didalam negeri ini.

Indonesia yang beragam dan majemuk dari wilayah, agama, kebudayaan bahkan suku sudah tidak hal yang asing maupun baru lagi didalam negeri ini. Bahkan dalam satu suku pun masih ada sub suku yang memiliki keragaman pula. Salah satunya Suku Batak, suku Batak memiliki enam sub suku, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Mandailing dan Batak Angkola. Didalam sub suku Batak memiliki bahasa, budaya, aksara dan motif pakaian yang berbeda pula.

Suku Batak terkenal dan mudah diketahui dengan suara dan intonasi yang kentara dan keras namun didalamnya tentu begitu lemah lembut. Di Indonesia orang-orang Batak tersebar diberbagai pelosok negeri dengan berbagai ragam profesi dan kepentingan seperti menempuh studi maupun sudah menjadi bagian dan terdaftar penduduk dicatatan sipil dalam daerah tersebut.

Suku Batak terkenal juga dengan banyak ungkapan maupun ajaran-ajaran didalam kehidupan. Didalam bahasa Batak itu dikenal dengan Umpasa yang artinya Pantun maupun Umpama yaitu Perumpamaan. Umpasa dan Umpama sering kali didengungkan ketika acara adat istiadat, namun jauh daripada itu pemaknaan Umpasa dan Umpama harus terus hidup dan menjadi gaya hidup di dalam kehidupan bersama dan bermasyarakat itu sendiri.

Salah satu istilah batak yang populer dan selalu relevan dengan kondisi kehidupan baik dimasyarakat maupun berbangsa dan bernegara adalah * Napuran tano-tano, Rangging. Masiranggoman Tung pe Badanta Padao-dao Tonditta ma Marsigomgoman " Tano = Lahan, Rangging Marsiranggoman = Saling Mengikat, tung pe = Walaupun, Badatta = Tubuh, Padao-dao = Saling berjauhan, Tonditta ma = Jiwa kita lah, Marsiranggoman = Saling Mengikat/memeluk. Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan " Pohon sirih yang sama tumbuh di tanah, batangnya saling mengikat, biarpun badan kita terpisah jauh namun jiwa tetap bersatu.

Filosofi

Para orang tua dahulu menanam hal ini sampai pada masa sekarang bukan hal yang sembarangan melainkan memiliki filosofi yang cukup mendalam dan mengambil analogi lingkungan dimana para orang tua dahulu tinggal.

Para orang tua dulu suka memakan daun sirih sebagai pencuci mulut juga sebagai pembersih dan menjaga kesehatan gigi, dulu jarang sekali ada pasta gigi kalaupun ada tentu harganya begitu mahal dan lebih baik mengalihkan uang tersebut untuk kebutuhan sehari-hari yang lebih penting. Berangkat dari pohon sirih, para orang tua mengamati bahwa batang pohon yang pada awal penanaman masih terpisah dari ujung, namun ketika hendak tumbuh maka batang dan dan ujungnya akan bertemu dan bersatu kembali. Hal ini menjadi sangat relevan dan selalu kontekstual dalam kondisi kehidupan bermasyarakat secara khusus dalam kemajemukan di Indonesia.

Hal ini menjadi sangat relevan dan kontekstual dengan kondisi saat ini. Pada tanggal 17 Agustus yang lalu kita menaikkan berdera sebagai bentuk penghormatan namun disatu sisi kita malah menjatuhkan marwah dan martabat dari salah satu simbol negara tersebut. Tentu masih segar dalam ingatan kita semua bahkan sampai saat ini permasalahan tersebut semakin menyeruak dan terjadi konflik internal dimana mahasiswa yang berasal dari Papua yang sedang menempuh studi di Surabaya mengalami persekusi dan mendapatkan sebutan (maaf) monyet.

Peristiwa yang terjadi tepat dibulan peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 74 hanya semakin menambah deretan peristiwa intoleransi antar masyarakat Indonesia yang sarat akan kemajemukan. Setelah 74 tahun merdeka dan ratusan tahun para pahlawan memperjuangkannya, tidak masuk akal sebenarnya jika melihat masih ada orang yang meragukannya bahkan merusak Indonesia.

Pancasila yang sejatinya sudah Final oleh para founder bangsa Indonesia seolah kembali dilucuti oleh para penerus yang menerima anugerah melanjutkan kemerdekaan. Pancasila yang diagungkan oleh dunia sebagai salah satu ideologi terbaik di dunia dan sudah menjadi identitas dari Indonesia seperti kehilangan kesaktiannya. Kehilangan kesaktian akibat tidak adanya aktualisasi dalam kehidupan nyata. Padahal sering kali dari kita sangat begitu gaung mengatakan Saya Pancasila ! Saya Indonesia!

Apa itu hanya sebatas angin lalu sajakah ? Pancasila yang seharusnya menjadi solusi dari setiap permasalahan bukan saja dari sisi perbedaan, namun seluruh kompenen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pun tahun dipenghujung tahun 2019 ini kita semakin dihadapkan dengan limpahan kasus, kasus bencana alam, Karhutla, Aksi demonstrasi mahasiswa kepada pemerintah yang menimbulkan kerugian materil dan korban jiwa dalam hal ini dua mahasiswa di Sulawesi tenggara meninggal dunia dan saat ini pun isu rasialisme yang dibenturkan dan dinaikkan kembali di Wamena, Papua memicu konflik dan distegrasi sesama anak bangsa.

Pertanyaan kemudian adalah sampai kapan kita harus menunggu masalah baru kita bersatu ? Lalu mungkinkah ini menjadi peristiwa terakhir dalam perbedaan yang ada ? Tentu kita harus memiliki optimisme untuk berusaha memperjuangkannya untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Karena bagaimanapun saat ini kita hidup dalam era yang begitu cepat mengalami perubahan dan hal yang paling fundamental dibutuhkan kolaborasi dan kerja sama. Masa depan akan buruk jika tidak bisa bekerja sama apalagi dengan perkembangan teknologi dan informasi yang tidak bisa dibendung.

Pertanyaannya kemudian adalah dapatkan kita berkolaborasi, ketika kita tidak tidak saling menerima perbedaan yang ada. Perbedaan kita malah menimbulkan konflik internal yang berkepanjangan, menguras tenaga, energi serta materi yang seharusnya perbedaan bisa menjadi sebuah kekuatan jika dapat dikolaborasikan.

Akhirnya salah satu Falsafah hidup bangsa Indonesia dari suku Batak, Napuran tano-tano, Rangging. Masiranggoman Tung pe Badanta Padao-dao Tonditta ma Marsigomgoman kembali mengingatkan kita bahwa kita lahir dari rahim yang sama, yaitu Ibu Pertiwi walaupun pada awalnya kita berbeda namun kita hidup bersesama sebagai anak bangsa. Makna ini memberikan pengharapan bagi kita yang memiliki perbedaan baik itu asal daerah, bahasa dan kebudayaan bahwa perbedaan itulah yang melengkapi dan menyatukan kita.

Kita juga jangan lupa bangsa ini dibangun atas dasar gotong royong dan selalu mendahulukan musyawarah untuk mencapai mufakat maka kiranya kita menanggapi segala persoalan dihadapi dengan dialog dan tenggang rasa yang tinggi. Kiranya melalui segala dinamika dan benturan yang terjadi ditengah bangsa ini, membuat Indonesia semakin terbentuk dan kuat serta semangat persatuan diwujudnyatakan.* Horas ! Penulis merupakan Ketua Ikatan Muda Siraja Oloan (I'm-SRO) Bengkulu.