Pemilihan- umum kepada daerah serentak tahun 2020 merupakan momentum penting bagi bangsa Indonesia yang menentukan keberlanjutan kehidupan kenegaraan dan menjadi pilar yang memperkokoh bangunan demokrasi di setiap daerah, khususnya kabupaten Humbang Hasundutan.

Penyelenggaran pilkada 2015 membuat kita melihat begitu banyak proses dinamika yang terjadi dan barangkali menjadi salah satu hal yang selalu mengiringi pelaksanaan Pemilukada, mulai dari awal pembahasan regulasi maupun pada saat pelaksanaan tahapan. Dominan dari penyelenggaraan Pemilulkada seringkali sarat akan kapitalistik, emosional, serta transaksional. Dampak dari hal tersebut acap kali menimbulkan fenomena dan problema politik, diantaranya sengketa pencalonan yang berlarut-larut, pemungutan suara ulang dua kali dibeberapa tempat dan lain sebagainya. Hal tersebut harusnya menjadi bahan kritik dan refleksi yang sangat penting bagi kita semua khusunya terhadap para aktor pemilukada dan badan penyelenggara pemilihan kepada daerah untuk kedepan didalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemilukada, khusunya pada pilkada tahun 2020 dapat memperbaiki regulasi dan tata kelola pemilukada untuk kepentingan serta menjadi kebaikan untuk semua pihak.

Dinamika penyelenggaraan pemilukada tahun 2015 tidak lepas juga dan sudah menjadi bagian dari dinamika itu sendiri, yaitu pemilukada 2015 Humbang Hasundutan yang tak pelak membuat kontroversi dan menjadi perbicangan yang panas pada tahun 2015 bahkan dalam tingkat nasional. Hal ini pun tentunya berdampak kepada masyarakat humbang-hasundutan sendiri khususnya didalam pendidikan politik yang kurang baik.

Pemilihan umum kepada daerah (Pemilukada) Humbang Hasundutan terhitung beberapa bulan lagi untuk sampai pada pemilihan pada tahun 2020 serentak dengan berbagai daerah lainnya yang juga melaksanakan perhelaktan sekali lima tahunna ini. Walaupun terhitung beberapa bulan lagi bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku badan penyelenggara resmi, belum membuka pendaftaran kepada masyarakat yang akan mendaftarkan dan mencalonkan diri sebagai bakal calon dan bakal calon wakil Bupati. Namun sepertinya masyarakat Humbang Hasundutan sendiri sudah tidak sabar bahkan sudah banyak yang flayer yang bertebaran dimedia sosial tentang para bakal calon yang dijagokan oleh para pendukungnya serta mengharapkan sang jagoan tersebut yang akan memimpin kabupaten Humbang Hasundutan ini selama lima tahun kedepan.

Demikian dengan beberapa mahasiswa yang serta merta ikut dalam mendukung salah satu tokoh masyarakat. Tentu tidak ada larangan dan sah-sah saja ketika mahasiswa mengaungkan nama si tokoh dan mendukung pilihannya tersebut dengan catatan tidak masuk didalam perguruan tinggi sesuai dengan maklumat Kemenrisetdikti. Hal ini juga membuktikan bahwasanya mahasiswa ikut serta dalam memirkan masalah daerahnya dengan menaruh harap kepada tokoh yang didukung untuk melanjutkan pembangunan dan membuat kemajuan Humbang Hasundutan sendiri.

Disisi lain menjadi kontradiktif ketika kemudian para mahasiswa membawakan nama “Forum Mahasiswa Humbang Hasundutan “ dimana hal tersebut seolah mendeskritkan mahasiswa yang lain yang tidak masuk dalam aliansi/forum ini seolah tidak peduli akan Humbang Hasundutan. Padahal kita tahu bersama begitu banyak mahasiswa yang berasal dari kabupaten Humbang Hasundutan yang sudah berdikari di berbagai Perguruan Tinggi di daerah-daerah yang ada di Indonesia.

Menurut saya tindakan yang seperti demikian akan membuat ciri dan budaya mahasiswa yang juga bagian dari kaum milenial yang kritis dan selektif seolah terpinggirkan. Hal ini dikarenakan para mahasiswa langsung menaruh harap pada sang tokoh dengan tidak melihat visi dan misinya. Pun kita mengamini semua yang nantinya menjadi calon pemimpin kabupaten Humbang Hasundutan adalah yang terbaik.

Namun tentu harus ada yang terbaik dari yang terbaik didalam memimpin Humbang Hasundutan. Alangkah baiknya memang ketika mahasiswa mengambil posisi sebagai katalisator untuk menjadi penenang dan menjadi pencerah kepada masyarakat didalam menentukan pilihannya nanti dengan ciri dan budaya mahasiswa yang kritis dan selektif dengan melihat trackrecord yang baik dan jelas, gagasan, ide serta solusi dari sang calon untuk kebaikan Humbang Hasundutan. Dengan demikian hal ini sudah menjadi bagian dari pendidikan politik dalam bentuk informal bagi masyarakat sendiri.

Penting memang ketika kita fokus dan membicarakan para bakal calon yang akan berkontestasi di Pemilukada Humbang Hasundutan 2020, disisi lain ada hal sutansi dan menjadi hal yang cukup fundamental yang juga harus menjadi fokus dan perhatikan kita bersama yaitu didalam pengawasan terhadap badan penyelenggara dan proses berjalannya Pemilukada.

Merujuk pemilukada 2010 dan 2015 menjadi bahan evaluasi dan pembelajaran bagi kabupaten Humbang Hasundutan, khususnya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Humbang Hasundutan selaku badan resmi penyelenggara pemilukada.

Melihat realitas pemilukada humbahas pada tahun 2015 yang dinilai melanggar UU Nomor 8 Tahun 2015, PKPU Nomor 9/2015 dan PKPU Nomor 12/2015 dengan meloloskan dua pasang calon yang diusung hanya dari satu partai saja, oleh berbagai pihak dinilai telah melanggar ketentuan yang ada bahkan sudah naik ke mahkamah konstitusi yang tentu menguras tenaga dan energi yang harusnya permasalahan ini dapat diselesaikan sebelum pemilukada terselenggara. Dengan adanya permasalahan tersebut dengan permasalahan yang lain selama proses pilkada dan pasca pilkada kiranya menjadi bagian dari dinamika dari pendidikan politik masyarakat Humbang Hasundutan agar semakin baik dan cermat didalam pemilukada Humbang Hasundutan 2020.

Tentu untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam Pilkada merupakan bagian penting dalam menegakkan demokrasi di daerah. Kehadiran masyarakat, mulai dari masyarakat umum, kaum intelektual, bahkan pemuda dan mahasiswa tidak saja dibutuhkan pada hari pemungutan suara saja melainkan disetiap tahapan-tahapan dari awal penyelenggaraan pilkada juga penting untuk diawasi dengan harapan tidak terjadi distorsi didalam proses pilkada berlangsung hingga pasca pilkada. Masyarakat juga harus menjadi mitra kritis bagi badan penyelenggara dengan memberi saran maupun kritik dengan segala keputusan yang diambil untuk kebaikan bersama tanpa mementingkan personal maupun golongan.

Diluar itu, partisipasi masyarakat sebagai badan penyelenggara ad hoc sangat menjadi salah penentu dalam kualitas proses dan hasil pemilihan. Tahapan-tahapan strategis pemilukada, seperti pemungutan dan perhitungan suara serta rekapitulasi suara, berada ditangan badan ad hoc yang dasarnya adalah anggota masyarakat setempat. Mendapatkan anggota badan penyelenggara ad hoc yang berintegritas menjadi tantangan tersendiri bagi badan peyelenggara. Keberadaan masyarakat yang sangat dekat dengan kontestasi politik yang akan berlangsung dan sudah menjadikan masyarakat kedalam ikata-ikatan politik. Tetapi kecenderungan yang terjadi pada masyrakat adalah adanya hal-hal yang bersifat primordial seperti kekerabatan, kesukuan, serta kesatuan marga dan hal-hal yang bersifat praktis politis seperti uang dan kekuasaan sepertinya sudah menjadi bagian dari masyarakat dalam pelaksanaan pemilukada. Didalalam situasi tersebut, KPU sebagai badan penyelenggara harus merekrut badan penyelenggara ad hoc yang dapat bekerja secara profesional dan berintegritas dengan menanggalkan hal-hal yang bersifat primordial tadi.

Partisipasi masyarakat adalah bagian penting yang harus terus digalakkan. Dengan partisipasi masyarakat akan memberikan dan menambah pengetahuan akan politik, selektif dan kesadaran memadai dalam pemilihan. Pun Dengan adanya partisipasi masyarakat akan menghadirkan demokrasi lokal yang berladaskan empiris dan rasional.

Akhirnya pemilukada kabupaten Humbang Hasundutan 2020 berjalanlah dengan sesuai koridor yang semestinya dengan perhatian dan kepudulian kita bersama. Kiranya pun didalam kontestasi lima tahunan ini kita berharap tidak ada yang menjadi catur politik dengan saling memakan satu sama lain hanya untuk kepentingan personal maupun kelompok, melainkan menjadi roda politik untuk bersama-sama dalam mengayun untuk bisa bergerak. Sebagaimana dinyatakan oleh Johannes Leimena yang menjadi satu-satunya orang yang menjabat sebagai menteri selama 21 tahun berturut-turut tanpa henti dan salah satu pahlawan Indonesia, yaitu Politik adalah Etika untuk melayani.*