“Tik Tok Diblokir, Alhamdulillah.” SEORANG teman menuliskan kalimat itu dalam status di aplikasi WhatsAppnya. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia, secara resmi memblokir aplikasi Tik Tok, Selasa 7 Juli 2018. Beberapa teman yang memasang aplikasi itu di gawainya pun mencoba membuka aplikasi tersebut pada pukul 23.49 WIB, Selasa malam. Hasilnya, gelap. Hanya ada tulisan network error. Aplikasi asal Cina ini dibangun oleh Zhang Yiming dan meluncur pada September 2016. Tik Tok adalah sebuah aplikasi jejaring sosial berbagi video, yang didukung dengan suara latar (back sound) berupa musik, lagu maupun potongan-potongan suara. Kemudian dilengkapi dengan kanal komentar dan like/love. Aplikasi ini belum/tidak didukung dengan kemampuan siaran langsung (live). Untuk menggunakan aplikasi ini pertama pengguna memilih suara latar, kemudian aplikasi mulai merekam apapun yang mereka lakukan, selama 60 detik. Lalu video bisa dibagikan.

Disitasi dari Wikipedia, hingga Juni 2018, aplikasi Tik Tok memiliki 150 juta pengguna aktif harian di seluruh dunia. Aplikasi ini menjadi aplikasi terpopuler di Asia, dan menghasilkan banyak video viral di dunia maya. Tak jarang, selebritis pun terlibat sebagai penggunanya. Pengguna internet di Indonesia, mungkin salah satu penyumbang terbesar yang memasang aplikasi Tik Tok. Baik yang memasangnya sebagai pengguna aktif, ikut memproduksi dan membagikan videonya. Maupun pengguna pasif, yang hanya menjadi konsumen dari video yang tersimpan di aplikasi itu.

Fenomena “Aisyah” dan “Bowo Alpenlibel”

Penulis sendiri baru mendengar keberadaan Tik Tok, dalam ceramah seorang ustadz pada Ramadan 2018. Pada ceramah sebelum pelaksanaan Salat Tarawih itu, Sang Ustadz bercerita tentang jamaah masjid dekat rumahnya yang kemarin malam mengusir beberapa anak remaja karena kedapatan merekam video Tik Tok di masjid.

“Tik Tok itu mengajarkan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Masak ada kata-kata, Aisyah cinta Jamilah. Ini kan mengajarkan LGBT,” kata Sang Ustadz. Ucapan Sang Ustadz ini pun membuat sejumlah kaum bapak dan ibu jamaah masjid, saling melihat. Beberapa remaja yang juga mendengar sepintas terlihat senyum-senyum.

Beberapa hari setelahnya, penulis mencoba menanyakan aplikasi itu pada beberapa teman. “Masak abang tak tahu Tik Tok,” kata teman itu. Ternyata, sudah ada beberapa teman yang memasang aplikasi itu di ponsel pintarnya. Kembali bertanya soal ‘Aisyah cinta Jamilah’ di Tik Tok. Dua nama ini tentunya berpretensi feminim dan lazim digunakan sebagai nama anak perempuan. “Ada musik latar di Tik Tok, yang liriknya seperti itu bang,” kata teman yang lain menjelaskan. Musik latar ‘Aisyah cinta Jamilah’ ini bergenre musik elektronik. Jika dicari di aplikasi Youtube, ada banyak akun yang mengunggah video musik berjudul ‘Aisyah’ tersebut.

Entah dengan pengguna Tik Tok di negara lain, tapi pengguna Tik Tok di Indonesia luar biasa atau diluar kebiasaan. Dari pengakuan beberapa pengguna Tik Tok, yang ditanyai penulis, mengakui banyak video Tik Tok yang seksi, bahkan terlalu seksi, serta menjurus pada pornoaksi dan pornografi. Misalnya, salah satu video yang dilihat penulis sepasang perempuan, berjoget ria, gayanya sensual, berpakaian minim, meliuk-liuk menunjukkan bentuk tubuh mengikuti musik latar ‘Aisyah cinta Jamilah. Selain video yang berbau pornografi, banyak konten videonya juga cukup negatif terutama untuk anak-anak dan remaja.

Contoh konten lain di Tik Tok adalah fenomena Bowo Alpenlibel. Bocah berstatus pelajar SMP ini, cukup terkenal sebagai artis Tik Tok. Video yang dibuatnya viral, hingga dia terkenal dan fenomenal. Sampai-sampai, dia nekat membuat acara meet and greet, yang mewajibkan orang untuk membayar Rp80.000. Dalam fenonema ini, realitas sosial-siber sesungguhnya kemudian Bowo menjadi korban cyberbullying. Karena banyak komentar netizen yang mencaci, menghinanya. Mirip seperti fenomena Nurrani, yang menyebut dirinya sebagai isteri Iqbaal Ramadhan eks Cowboy Junior. Tapi sepertinya, mereka mulai menikmati ‘keterkenalan’ itu.

Regulasi dan Produk Budaya Komunitas Virtual

Kementerian Kominfo resmi melakukan pemblokiran delapan DNS (domain name server) Tik Tok. Dikutip dari CNNIndonesia.com, selama sebulan terakhir, Kominfo telah mengawasi Tik Tok dan menerima laporan dari masyarakat sebanyak 2.853 laporan. Di samping itu, terdapat juga sejumlah petisi di situs change.org yang meminta Kemenkominfo untuk memblokir Tik Tok. Menurut pantauan hingga Selasa (3/7/2018) sore, salah satu petisi memiliki sekitar 124 ribu pendukung, dan masih terus bertambah.

Harus disadari, ada banyak akun mengunggah aksi-aksi serupa di Tik Tok. Mayoritas pengunggahnya berusia remaja. Ironisnya, banyak juga yang merekam video negatif di Tik Tok masih dengan seragam  sekolah. Kalau mau menguliknya lebih dalam, ramai video sejenis di aplikasi Tik Tok. Tanpa disadari, memang pengguna Tik Tok, sebagai entitas dunia virtual menciptakan realitasnya sendiri. Rulli Nasrullah (2007) menyebutnya realitas yang mengoneksi antarentitas di dunia virtual, atau realitas sosial-siber. Yakni realitas yang dihasilkan dari proses interaksi (dan koneksi) inter dan antarentitas di dalam jaringan serta menjadi kebiasaan di antara entitas tersebut. Dalam bahasa sederhana ini disebut sebagai produk budaya dari sebuah komunitas di internet.

Setelah diblokir, tentu tidak ada lagi pengguna Tik Tok yang bisa merekam dan mengunggah videonya dari aplikasi ini. Tapi bagi Anda yang aktif berselancar di internet, video-video Tik Tok dengan mudah masih bisa ditonton. Pengguna internet masih bisa menyaksikan kompilasi video Tik Tok dari Youtube atau bertebaran di media sosial. Meski sudah mendapatkan pengaduan masyarakat lalu regulasi ditegakkan dengan aksi blokir ini, Kemenkominfo agaknya masih membuka peluang untuk aplikasi Tik Tok bisa digunakan lagi di Indonesia. Dengan syarat, penyedia layanan aplikasi ini membersihkan konten dan menjamin untuk terus menjaga kebersihan kontennya. Tapi, sebelum memutuskan itu nantinya, Kemenkominfo bolehlah  mempertimbangkan efek, apa jadinya jika produk Tik Tok ini menjelma menjadi sebuah produk budaya anak-anak dan remaja Indonesia.(*)

Penulis: Fakhrur Rozi, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FIS, UIN Sumatera Utara