UNDANG-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) telah  mengamanatkan kepada lembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk melakukan pengawasan terhadap semua tahapan pelaksanaan Pemilu termasuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sesuai amanat UU No.7/2017 itu, lembaga Pengawas Pemilu terdiri dari Bawaslu RI di tingkat Pusat, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam), Panwas Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS (Tempat Pemungutan Suara).

Tugas, Wewenang dan Kewajiban Panwas

Tugas, wewenang dan kewajiban Pengawas Pemilu (Panwas) berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu adalah sebagai berikut :
Mengawasi penyelenggaraan Pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya Pemilu yang demokratis. Tugas tersebut meliputi: Mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu; Mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu; Mengawasi pelaksanaan Putusan Pengadilan; Mengelola, memelihara, dan marawat arsip/dokumen; Memantau atas pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu; Mengawasi atas pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu; Evaluasi pengawasan Pemilu; Menyusun laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu; Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan wewenang Pengawas Pemilu adalah:
Pertama, menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; Kedua, menerima laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dan mengkaji laporan dan temuan; Ketiga, merekomendasikannya kepada yang berwenang; Keempat, menyelesaikan sengketa Pemilu; Kelima, membentuk, mengangkat dan memberhentikan Pengawas Pemilu di tingkat bawah; Keenam, melaksanakan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara Kewajiban Pengawas Pemilu adalah sebagai berikut: Pertama, bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; Kedua, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pengawas Pemilu pada semua tingkatan; Ketiga, menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; Keempat, menyampaikan laporan hasil pengawasan sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan; Kelima, melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Pelanggaran Pemilu
 Pelanggaran menurut arti katanya dapat didefinisikan sebagai perbuatan atau perkara yang melanggar peraturan yang ditetapkan.Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran dapat dilakukan banyak pihak bahkan dapat dikatakan setiap orang memiliki potensi untuk melakukan pelanggaran. Dalam kegiatan Pemilu pelanggaran secara konsep didefinisikan sebagai perbuatan pidana atau dapat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar peraturan dan perundang-undangan terkait Pemilu. Potensi pelaku pelanggaran Pemilu menurut Undang-Undang Pemilu antara lain:
Pertama, penyelenggara Pemilu yang meliputi Anggota dan jajaran staf sekretariat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pengawas Pemilu di semua tingkatan.
Kedua, peserta Pemilu meliputi pengurus Partai Politik, Calon Anggota DPR, DPD, DPRD, dan Tim Kampanye.
Ketiga, pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.
Keempat, profesi yang mengelola media massa, pelaksana pengadaan barang dan distributor. Kelima, pemantau dalam negeri maupun asing.
Keenam, masyarakat pemilih, pelaksana survey/hitung cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.
Tahapan yang sangat rentan terjadinya pelanggaran adalah pada tahapan kampanye yakni kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta Pemilu atau pasangan calon. Khusus pasangan calon  dapat membentuk tim kampanye yang membantu penyelenggaraan kampanye serta bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis penyelenggaraan kampanye.
Kemudian tahapan masa tenang. Biasanya
3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara. Waktu 3 (tiga) hari tersebut merupakan masa tenang dimana semua simbol, atribut dan kegiatan kampanye tidak diperkenankan lagi.
Dalam pelaksanaan kampanye dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menghina seseorang, agama, suku, ras, dan antargolongan; Menghasut atau mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat; Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau Partai Politik; Mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum; Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah; Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain; Menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah; Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; Melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kakidan/atau dengan kendaraan di jalan raya.
Selain itu, dalam kampanye, pasangan calon atau tim kampanye dilarang melibatkan:Hakim pada semua peradilan, pejabat BUMN/BUMD, pejabat struktural danfungsional dalam jabatan negeri, dan Kepala Desa dan perangkatnya. Pasangan calon dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing, penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD.
Apabila pelanggaran tersebut dilakukan maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Pemilu.
Secara garis besar Undang-Undang Pemilu membagi bentuk pelanggaran dalam pemilihan umum menjadi 3 yakni: pelanggaran administrasi Pemilu (perdata), pelanggaran pidana Pemilu, dan perselisihan hasil atau sengketa Pemilu.
Pelanggaran Administrasi didefinisikan sebagai perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana Pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan kata lain, semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidanaPemilu, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Contoh pelanggaran administratif misalnya tidak memenuhi syarat menjadi peserta Pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untukberkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau Pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
Tindak Pidana Pemilu mengatur tentang tindak pidana yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam Undang-Undang Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana Pemilu antara lain, sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu (Penegak Hukum Pidana Pemilu).
Berbeda dengan perselisihan hasil Pemilu. Yang dimaksud dengan perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta Pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil Pemilu sesuai tingkatan. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan suara (kursi) peserta Pemilu.
Sesuai amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenaihasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di MK. Satu jenis pelanggaran yang menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (Undang-Undang KPU) menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran Pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks Pemilu dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalamsatu pasal tersendiri (pasal 129 Undang-Undang 12/2003). Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasilsuara, Undang-Undang 10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya.Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU.

Merekam Pelanggaran Pemilu

Setiap warga negara berhak mengawasi pelaksanaan atau pelanggaran Pemilu dengan cara merekam dengan kamera atau alat perekam lainnya yang dapat didokumentasikan sebagai petunjuk terjadinya suatu pelanggaran.
Seperti dipaparkan terdahulu jenis pelanggaran Pemilu cukup beragam bentuknya mulai dari tahapan pemutakhiran data pemilih masa kampanye, masa tenang, saat pemungutan suara, penghitungan suara hingga saat penetapan hasil Pemilu. Bentuk-bentuk pelanggaran Pemilu itu bisa diperhatikan, diamati dan direkam dengan kamera handphone atau alat perekam lainnya. Dokumentasi perekaman tersebut bisa dilaporkan kepada Pengawas Pemilu terdekat.
Petugas Pengawas Pemilu akan membuat berita acara penerimaan laporan, kronologi pelanggaran dan pelaku pelanggaran. Setelah ditelisik dan diplenokan Pengawas Pemilu selanjutnya diserahkan ke Sentra Gakkumdu sesuai tingkatan.
Langkah Bawaslu yang menggelar lomba membuat Video Blog (Vlog) berhadiah jutaan rupiah bagi masyarakat umum sangat diapresiasi sebagai bentuk pendidikan dan ajakan kepada masyarakat luas untuk ikut terlibat dalam pengawasan Pemilu. Persyaratan lomba Vlog dapat dilihat di www.bawaslu.go.id.  Batas waktu pengiriman Vlog tertanggal 8 April 2018. Agar kesempatan masyarakat untuk ikut serta terlibat secara lebih luas, diharapkan batas waktu pengiriman Vlog dapat diperpanjang lagi hingga selesai pemungutan suara di TPS, sehingga efektifitas pengawasan yang dilakukan masyarakat makin optimal. Jika tidak memungkinkan diperpanjang, Bawaslu bisa membuat Beranda Khusus Pengaduan di Website Bawaslu secara real-time 24 jam.

Pemilu Jurdil

Pelaksanaan Pemilu yang Jurdil (Jujur dan Adil) merupakan amanat undang-undang sekaligus harapan semua pihak.
Jujur dalam pelaksanaan Pemilu artinya penyelenggara harus jujur tidak boleh ada data yang dimanipulasi, baik DPT (Daftar Pemilih Tetap) maupun hasil perhitungan suara untuk kepentingan partai atau calon tertentu. Jika media massa, LSM dan perorangan aktif dalam pengawasan Pemilu, kecil kemungkinan terjadinya pelanggaran atau kecurangan.
Adil dalam Pemilu artinya, jajaran penyelenggara mulai dari KPU/Bawaslu Pusat sampai tingkat pelaksana lapangan harus adil, tidak berpihak pada calon atau partai tertentu.
Agar pelaksanaan Pemilu baik Pilkada serentak 2018 dan Pemilu Legislatif serta Pilpres 2019 dapat berlangsung Jurdil, kepedulian rakyat ikut serta melakukan pengawasan Pemilu sangat diharapkan demi kualitas demokrasi yang beradab dan bermartabat serta untuk masa depan  Indonesia yang lebih baik. Semoga.