Usai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri pada 1 Syawal. Rona ceria nampak pada wajah setiap orang. Suasana seperti ini umum kita temui pada momen Idul Fitri. Tapi, ada satu tradisi yang khas di Indonesiapada momen Idul Fitri ini, tradisi halal bihalal.

Sejarah yang paling populer mengenai asal-usul tradisi halal bi halal ini yaitu sebuah tradisi yang dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, yang ketika itu memimpin Surakarta mengumpulkan para punggawa dan prajurit di balai istana untuk melakukan sungkem kepada Sang Raja dan Permaisuri setelah perayaan Idul Fitri. Hal ini dilakukan untuk menghemat tenaga dan biaya.

Sejak saat itu, kunjungan terhadapi orang yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi untuk meminta maaf pada perayaan Idul Fitri menjadi tradisi tersendiri.

Sejarah lainnya tentang halal bi halal digagas oleh KH. Wahab Chasbullah. Kisahnya adalah: Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.

Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.

Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”“Itu gampang”, kata Kyai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’”, jelas Kyai Wahab.

Dari saran kyai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kyai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Uniknya istilah halal bi halal hanya ada di Indonesia.