HUJAN sembako di masa tenang, tumpukan sembako menumpuk di kantor DPC PPP di Jagakarsa. Ratusan ton beras dijadikan alat money politik menjelang pilihan gubernur DKI Jakarta. Jor- joran pengerahan masa dan tabur sembako menjadi berita utama hampir di setiap media. 

Alam demokrasi mengubah pandangan dan sikap seseorang dalam menentukan pilihan. Sayang seribu kali sayang, semua pemilihan dari Pilpres, Pilkada, memilih Ketua Parpol, Direktur perguruan Tinggi hingga BUMN, Pimpinan Lembaga sampai coblosan kepala desa, tak terkecuali calon legislatif merata memakai jurus sebar 'ranjau' money politic - membuat demokrasi yang terjadi di Indonesia menunjukan pada kondisi dan suasana menyesakkan dada. 

Demokrasi yang oleh Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln didefinisikan sebagai Goverment of the people, by the people, for the people. Demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat saat ini berbelok ke jalan sesat ke ajang 'demokrasi dagang' jual beli suara.

Situasi yang berubah bukannya kita tidak tahu, semua sadar dengan apa yang terjadi. Dalam penelitian atau survey untuk menetapkan pilihan masyarakat tanpa beban dan merasa tak berdosa setuju dengan politik uang (money politik). 

Menurut peneliti senior Founding Father House (FFH) Dian Permata, makna politik uang kini mengalami pergeseran. Saat sekarang anggapan orang ramai, bahwa calon presiden, gubernur , Bupati, Wali Kota, Dewan Perwakilan Rakyat, yang membagi- bagi uang atau bantuan barang dianggap sebagai sedekah. Dengan jurus sakti pantang larang menolak rezeki.

Hasil survei yang diperoleh sangat mencengangkan sekaligus mengkawatirkan,  sebab dipastikan tidak membawa kepada demokrasi yang berkualitas . Terbukti  68,4 persen masyarakat mau menerima politik uang dan hanya 18,8 persen menolaknya. Sedangkan 12,8 persen sisanya memilih tidak tahu.

Kini, politik uang sudah banyak berbentuk barang seperti sembako yang memang dekat akan kebutuhan rakyat. Sementara tidak ada informasi, penjelasan, tausyiah yang cukup agar masyarakat mengerti benar akan keberadaan politik uang tersebut.

Maka, bagaimana akan melahirkan  kualitas demokrasi jika hasilnya dari menebar sembako serta menyebar duit. Minimnya informasi yang memadai dari ustadz, tokoh masyarakat, pimpinan parpol, LSM, wartawan semua pihak membuat money politik berlabel 'halal' untuk itu masa sekarang tabu bicara tentang kualitas demokrasi.

Menjadi rahasia umum, sikap dan peran lembaga dan aparatur sampai tingkat kelurahan, desa yang seharusnya menyampaikan sumber informasi pilkada justeru terlibat mendukung salah satu kelompok baik secara sembunyi maupun terbuka. Lihatlah, banyak kasus turunnya dana CSR perusahaan, kementerian, BUMN/ BUMD sampai dana desa yang berbarengan dengan pilkada serentak. Teranyar menjelang Pilkada putaran kedua di DKI jakarta. Tidak hanya sembako dan duit tetapi sudah sampai pada sapi.

Kenapa cairnya penggunaan dana- dana tersebut baik berupa bantuan hibah, bansos, sampai kegiatan jalan semenisasi dan program lainnya berbarengan dengan pilkada serentak. Meskipun akan dijawab sudah sesuai mekanisme tapi jelas ada benang merah yang melintang kearah kepentingan golongan tertentu.

  Pemerintah yang seharusnya sebagai wasit dan mengecek penggunaan dana-dana tersebut. Agar tidak berhubungan dengan politik uang dalam kampanye, faktanya  malahan ikut terlibat di pusaran keberpihakan.

Maka ada istilah siapa kuat finansial dialah yang menang. Jadilah kelompok money politik berhasil memenangi sebuah pemilihan pilkada maupun pemilu. Kenyataan ini sesuai dengan data survey bahwa rentang waktu tujuh tahun terakhir (2010-2016), masyarakat masih setuju dengan adanya money politic.

Dengan data tersebut kita menjadi prihatin sebab tingginya money politic membuat demokrasi yang berkembang menjadi tidak berkualitas. Masyarakat memilih seseorang bukan karena program kerja namun karena suaranya diperjual belikan dengan uang atau bentuk material lainnya. 

Dengan demikian maka pihak yang mempunyai bekal banyak, ia mempunyai peluang untuk memenangan pemilihan umum, Pilpres, Pilkada, Pileg, Pilkades, dan pemilihan-pemilihan lainnya.  Tak peduli dari mana asal muasal duit diperoleh dan bagaimana nantinya akan mengembalikannnya.

Mengapa terjadi money politik; karena yang memilih dan dipilih sama- sama berkepentingan. Meskipun tidak semua orang tergoda tetapi jumlahnya hanya 18, 8 persen. Disamping banci dan tidak berfungsinya lembaga yang seharusnya menjadi pengawas.

Kemiskinan dan pengangguran sangat rentan terhadap penyakit yang terasa sedap sesaat. Orang-orang yang hidupnya pada garis kemiskinan mudah tergoda dengan rayuan uang. Wajar mereka memilih yang memberi uang sebab ia tidak mempunyai penghasilan yang tetap. 

Bila sudah menyangkut persoalan perut maka tidak ada kompromi lagi. Tidak ada uang sama dengan tidak akan makan, dan kalau tidak makan akan kelaparan. Dalam kondisi yang demikian, maka akan menjual apa saja yang dimiliki, termasuk di antaranya adalah menjual suara. 

Masyarakat yang masuk dalam katagori seperti demikian, tidak akan sanggup untuk berpikir jangka panjang apalagi bicara tentang keberpihakan pembangunan. Dirinya menjadi tidak peduli pada masa depan yang penting hari ini bisa makan. Sayangnya kondisi masyarakat yang demikian terkesan tetap di pelihara, Belajar dari catatan sebuah pengalaman, seorang pengusaha religius, pada putaran pertama Pilkada Jakarta 2017 pilihannya si A, namun ketika dibujuk rayu oleh tim sukses B, serta diberi orderan barang dan jasa, akhirnya pengusaha itu berganti memilih B bahkan menjadi tim suksesnya. Model orang seperti pengusaha itu banyak sehingga mudah dimanfaatkan oleh tim sukses peserta pemilu.

Money politic tidak hanya menghinggapi orang-orang miskin namun juga menghinggapi  Orang-orang pintar berlatar belakang akademisi, praktisi, pengamat politik, bintang film atau artis tak ketinggalan media.

Orang -orang dari kalangan berpendidikan setelah bergabung dengan tim sukses - menjadi tim pemenangan. Dengan keahlian perannya masing-masing membolak-balikkan ilmu dan idealisme, objektif menjadi subjektif, dengan tujuan untuk memenangkan calon yang mau membayarnya. 

Setelah mendapatkan bayaran, artis yang dulunya selalu kritis menghasilkan karya, seperti kerbau yang di 'keloh' dicocok hidungnya  menjadi membabi buta, pembela tuan besar yang membayar. Kelompok profesional sanggup menjauhi kaidah ilmiah, ilmunya yang didapat dari kampus mentereng, dilanggar dan dikhianati demi calon yang membayarnya.

Pelaku money politic berikutnya berasal dari media. Media apa saja dari televisi, radio, koran serta online. Harus  kita akui, sejak demokrasi di Indonesia berkembang, media juga menjadi pelaku penerima money politic. Mereka secara terang-terangan menjadi tim sukses dari salah satu calon yang ada. Akibat dari menjadi tim sukses maka berita yang disebarkan menjadi alat propaganda, membesar-besarkan salah satu calon di satu pihak, dan menjelekan pihak lain di sisi yang lain. Bahkan media massa menjadi black campaign dan negatif campaign.

Media massa itu menjadi tim sukses tentu tidak gratis, mereka pasti melakukan perjanjian-perjanjian dengan pihak calon dengan imbalan bermacam-macam, bisa dari iklan, advertorial, berlangganan bulanan, bisa pula pemiliknya diberi iming-iming jabatan atau proyek. Maraknya media menjadi tim sukses membuat berita yang beredar di masyarakat menjadi over subjektif dan menyalahi etika jurnalistik.

Pihak yang menerima money politic tidak hanya orang per orang namun juga bisa lembaga resmi negara dan pemerintah. Secara diam-diam, lembaga-lembaga negara, lembaga penyelenggara pemilu, bahkan aparat menjadi tim sukses salah satu calon.

Mereka diam-diam tapi terlihat menjadi tim sukses bisa jadi karena kedekatan dengan parpol  atau elite politik. Mereka bisa duduk di lembaga tersebut karena didukung oleh parpol sehingga untuk membalas budi, mereka melakukan pemihakan. Akibat yang demikian maka dengan teknologi dan tata kelola administrasi yang ada, lembaga-lembaga resmi itu akan berupaya memenangkan salah satu calon yang didukung. 

Jadi selama ini kalau tuduhan money politic hanya dialamatkan kepada orang-orang yang tidak mampu, miskin, dan tidak berpendidikan, itu salah besar. Money politic juga menyasar kepada orang-orang pandai, seperti akademisi, peneliti, ilmuwan, bahkan kelompok media massa serta lembaga resmi pemerintah dan negara. Tentu money politic yang diberikan kepada mereka tidak sama dengan yang diberikan kepada masyarakat miskin yang berupa amplop berisi uang ratusan ribu, dari Rp100 ribu hingga Rp500 ribu, namun berupa uang ratusan juta bahkan jabatan-jabatan strategis seperti menteri, Dirut atau Komisaris, pimpinan lembaga, serta jabatan lainnya.

Money politic bisa terjadi karena kemiskinan dan situasi jangka pendek tetapi bisa juga karena mental masyarakat yang sakit. Demi money politic, akademisi mengorbankan idealisme keilmuan; demi money politic, seniman mengorbankan idealismenya yang berpihak pada universalitas; demi money politic birokrat, aparat, dan pimpinan lembaga negara, mengingkari keadilan dan kenetralan.

Money politic apapun alasannya adalah kegiatan jahat, harus dilawan. Money politic secara jangka pendek memang menguntungkan, bisa membuat oarang kenyang dan kaya, namun secara jangka panjang akan merugikan demokrasi.  Demokrasi yang diperoleh menjadi palsu, tak bermutu. Sebab kelahirannya tidak berlandaskan pada kerakyatan namun pada pemilik modal . Dalam demokrasi yang penuh money politic bukan rakyat pemenangnya namun pemilik modal para cukong dan toke besar yang akan menjadi pengendali demokrasi. Maka pemimpin yang terpilih hanya menjadi boneka cantik yang siap dipermainkan dan di kendalikan sang majikan.? ***

Bagus Santoso adalah Anggota DPRD Provinsi Riau