Oleh: Ghustiva Liani, SS

Berapapun jumlah tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia versi data terpercaya pihak manapun-- mau ratusan, ribuan, puluh ribuan atau ratusan ribu – Terserahlah! karena bukan itu persolaan utamanya. Yang menjadi ketakutan kita semua ialah direnggutnya lapangan pekerjaan oleh TKA karena kualitas kompetensi mereka jauh lebih baik dari pribumi. 

Sesungguhnya inilah dampak dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau dalam bahasa Inggris-nya ASEAN Economic Community (AEC), turunan dari ASEAN Free Trade Agreement (AFTA). Perdagangan bebas, devisa bebas, dan persaingan bebas menuju ruang lingkup pasar global. Bak merpati lepas dari sangkarnya, bebas lepas nak hinggap di mana pun sesuka hati. Namun tentu tanpa bekal yang mantap, Sang Merpati hanya akan menjadi hiasan singkat langit biru. Maka bila sudah dalam perbincangan multilateral, siapapun tidak bisa menampik bahasa Inggris, solusi basis.

Apalah daya, “nasi sudah menjadi bubur”. Kepala Negara beserta antek-anteknya, mahligai tahta pembuat kebijakan pengambil keputusan, yang menginternalisasikan kegelisahan ini ke dalam relung hati kita semua. Tidak hanya pada SDM masyarakat, SDM aparatur pun merasakan imbasnya. Pemerintah Pusat meninggikan standar kualifikasi calon pejabat eselon II, III, dan IV, terutama kompetensi bahasa Inggris harus melampirkan sertifikat TOEFL dengan skor di atas 450.

Sayangnya sebuah jurnal terbitan kampus ternama di Indonesia yang berisikan analisis kompetensi bahasa Inggris para pejabat eselon II, III, dan IV di tingkat kementerian menampakkan fakta bahwa dari skala 1-10, nyatanya hanya duduk di nilai 6 yang dalam artian masih mulai memahami bahasa asing tersebut. Jadi jangan berpikir jauh-jauh dahulu untuk mengkursuskan para pekerja lokal, toh pejabatnya juga butuh dikursuskan. Bukannya mengesampingkan, hanya saja saat ini bukan berbicara peluang melainkan keterbatasan. Bagaimana bisa menopang yang di luar kalau yang di dalam belum sepenuhnya kokoh? Tegasnya, maju mundur suatu daerah ditentukan oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh para pekerja di dunia pemerintahan.

Inilah kelebihan raga kecil penuh nafsu yang bernama manusia, mampu membuat masalah sekaligus alternatif pemecahannya. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, baik pusat maupun daerah sudah melaksanakan kegiatan berfondasi sama, hanya nama saja yang berbeda: pendidikan dan pelatihan (diklat) peningkatan kompetensi bahasa Inggris ataupun diklat TOEFL. Tetapi sepertinya daerah-daerah “terkenal” saja yang sadar akan pentingnya diklat ini. Sebagian berkilah kalau di daerah mereka tidak didatangi investor atau wisatawan asing. Adapula yang beranggapan bahasa Indonesia mereka juga masih belum betul, lalu untuk apa belajar bahasa Inggris, untuk apa diklat TOEFL?

Tak boleh lupa, tadi sudah dikatakan ada tuntutan Pemerintah Pusat yang notabene harus ditaati. Lagipula, dari pada berkutat di kegiatan monoton dari tahun ke tahunnya, cobalah sesuatu yang solutif dan inovatif dengan menginput diklat TOEFL dalam rancangan kegiatan anggaran daerah.

Selain itu, para pesertanya juga akan mampu terjun ke dunia digital yang saat ini menerpa bahkan di kalangan balita. Banyak anak-anak kecil piawai memainkan gadgetnya, lengket di dunia online. Sejatinya orangtua, bukanlah sekadar menuntut melainkan menuntun, maka terjunlah ke dunia mereka dan tentu solusi basis ialah bahasa Inggris.

Jelas, diklat ini begitu positif. Lalu kekhawatiran apalagi yang muncul? TOEFL begitu sulit? Keliru besar, karena TOEFL bak kapal di lautan yang bila semakin kita dekati maka akan jelas terlihat likak likuk elok badannya, namun bila kita diami maka ia pun menjauh mengecil menghilang seiring sapuan senja menguning.