HAJI Rosihan Anwar merupakan sosok wartawan yang konsekuen dalam berjuang melawan korupsi. Almarhum adalah pejuang pers yang gigih. Sebagai seorang jurnalis murni, keteladanannya benar-benar merupakan simbol perjuangan dalam membela kebenaran. Seorang wartawan senior, Atmadji Sumarkidjo mengatakan apa yang dilakukan Rosihan Anwar adalah cermin seorang wartawan.

"Ia tidak mengenal kompromi terhadap penyelewengan di berbagai bentuk. Bahkan ia anti sogok dalam menjalankan tugas". Begitulah  profilnya sebagai wartawan, bisa menjadi contoh positif terhadap mereka yang ingin mengabdi dalam bidang jurnalistik dengan benar. Tutur Admadji dalam percakapan pertelepon hari Selasa tanggal 20 Desember 2016

Karena itu profesi wartawan adalah mulia, berani memperjuangkan rakyat yang masih menderita dan memerlukan perhatian. Rakyat harus diselamatkan. Ini adalah ideologi pers. Seperti pernah dikemukakan dalam buku panduan Hari Pers Nasional Indonesia beberapa tahun yang lalu. Almarhum lahir pada tanggal 10 Mei 1922  di Kubang Nan Dua, Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Ia meninggal dunia pada usia 88 tahun, setelah menempuh perjalanan hidup sebagai wartawan dengan berbagai tantangan. Salah satu pesan yang perlu dicantumkan saat ini, meskipun hidup di alam globalisasi, wartawan generasi muda jangan lupa pada tradisi kaum tertindas. Hal itu diungkapkan ketika menerima Live Time Achievement Award PWI Pusat, 13 Mei 2007. Ia mengikuti berbagai warkshop di dalam dan luar negeri, antara lain Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Ia juga mendapat penghargaan Bintang Mahaputra III. Meski sarat dengan pengalaman dan pengetahuan, tokoh pers ini tetap menaruh respek kepada Adinegoro. Baginya Adinegoro merupakan figur pers yang patut dihormati. Sebab ikut merintis kemajuan dan cakrawala pers Indonesia.

Di era pers bebas dan DPR yang punya kewenangan luas, menurutnya perlu diwaspadai. Apalagi DPR saat ini begitu mempunyai kewenangan yang luar biasa luasnya. Ada istilah yang sering dikemukakan yaitu Diarrhea of mouth yang melanda DPR. Secara seenaknya oknum anggota DPR mengeluarkan kata-kata kasar dan tidak santun di dalam persidangan. Akan tetapi dari perjalanan sejarah, terdapat pula pribadi-pribadi anggota DPR yang santun.

Dengan demikian pers Indonesia yang baru mengalami perubahan atmosfir harus pandai-pandai memanfaatkannya. Sehingga tidak terjebak dalam pemberitaan yang condong kesalah satu pihak. Pers tetap harus menjaga kaidah jurnalistik dengan mengemukakan perimbangan berita, tidak bersikap spekulatif. Pers adalah mata, mulut dan telinga masyarakat yang harus dijaga kewibawaannya sehingga benar-benar merupakan dambaan publik.

Di era kebebabasan pers, ada beberapa hal yang harus dihindarkan agar pers tidak terjebak dalam isu SARA. Karena jika sampai terjadi hal itu, sangat mengancam kewibawaan kebebasan pers. Saat ini apa yang dikemukakan Ketua Dewan Pers Indonesia, Profesor Bagir Manan agar pers merupakan urat nadi dan kontrol masyarakat secara adil serta berimbang. Sangat disayangkan saat ini banyak yang menyebut dirinya wartawan tetapi hanya sekedar instan. Ada juga yang ingin mencoba mengalihkan profesi wartawan untuk tujuan-tujuan lain seperti bisnis dan proyek. Bahkan sekarang ini bermunculan oknum-oknum wartawan yang tidak pernah menulis berita. Padahal mereka memiliki kartu pers dan organisasi kewartawanan.

Seorang pengamat pers, mengingatkan agar pers Indonesia tidak malas dan berhenti menulis. "Kalau hal yang berkaitan dengan dunia jurnalistik sudah ditinggalkan wartawan, meskipun menganggap telah bertugas lama. Namun karena tidak punya naluri dan kepedulian sebagai wartawan jadilah dia oknum wartawan tukang ngobrol."

Hari Pers Nasional (HPN) yang akan berlangsung tanggal 11 Febuari 2017 di Provinsi Maluku, hendaknya menjadi bahan perenungan. Karena yang dihadapi pers semakin kompleks dan sulit. Apalagi disaat era globalisasi sekarang ini yang muncul dengan cepat serta dengan perkembangan teknologi yang begitu canggih.***