RABU, tanggal 23, minggu ke empat bulan november. Gubernur Riau Arsyajuliandi Rachman bersama 4 pimpinan DPRD Riau didepan rapat paripurna resmi menandatangani KUA dan PPAS tahun anggaran 2017. KUA = kebijakan umum APBD adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang digunakan sebagai dasar untuk periode setahun.

Sedangkan PPAS = prioritas dan plafon anggaran sementara digunakan sebagai rancangan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang akan dikelola oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran (RKA) - SKPD sebelum mendapat kesepakatan DPRD.

Itulah dua komponen yang harus dipersiapkan setiap melakukan pembahasan ranperda APBD. Yang menjadi problem adalah mengapa pengesahan APBD selalu saja molor, apakah tidak mengacu pada pedoman penyusunan atau ada yang menyalah dalam prosesnya.

Mari kita lihat fakta yang terjadi dengan menyandingkan Permendagri tentang pedoman penyusunan APBD tahun 2017.

Jika kesepakatan KUA -PPAS diteken tanggal 23 november bermakna tahaban ini sudah kasep alias telat. Berpedoman pada penyusunan APBD 2017, tahaban ini seharusnya sudah terlaksana akhir bulan juli.

Kenyataaan ini jelas menunjukkan sangat belum konsisten pemprov dalam melaksanakan proses pembahasan. Dapat diketahui proses pembahasan APBD tahun 2017 dari uraian dan waktu serta lamanya ada 10 langkah .

Langkah awal, pada akhir bulan mei sudah selesai penyusunan di RKPD. Selanjutnya pada minggu pertama bulan juni oleh ketua tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) dalam hal ini Sekda menyampaikan KUA - PPAS kepada Gubernur. Maka dipertengaham bulan juni Gubernur sudah menyerahkan KUA - PPAS kepada DPRD.

Setelah itu berlanjut penandatangan Gubernur dengan pimpinan dewan untuk menyepakati KUA - PPAS di bulan Juli. Kemudian dilanjutkan penyusunan dan pembahasan RKA - SKPD. Pada tahab ini minimal dibutuhkan waktu 7 minggu.

Bandingkan dengan situasi yang terjadi saat ini. Betapa mepet dan cekak waktu yang dipakai untuk pembahasan RKA-SKPD oleh komisi- komisi. Terlalu hebat, waktu yang seharusnya 7 minggu dibuat super ringkas menjadi 3 hari.

Cekaknya waktu ini mengingatkan kembali, kisah lama pembahasan APBD tahun 2015. Di saat akan terjadi pergantian anggota DPRD Periode lama dengan anggota, Periode hasil pemilu tahun 2014. Hasilnya menimbulkan masalah bagi sebagian anggota legislatif dan eksekutif.

Disamping serapan anggaran yang tidak maksimal juga banyak program dan kegiatan yang asal- asalan. Pada akhirnya tak dapat direalisasikan.

Membahas APBD tahun anggaran 2017, sebenarnya tidak mesti terburu- buru seperti pembahasan tahun 2015 dan 2016. Karena anggota dewan tidak pada masa transisi pergantian. Hanya saja akibat tidak konsiten terhadap proses penjadwalan maka terjebak pada pola lama.

Apa yang terjadi, postur anggaran pendapatan, belanja dan pembiayanan dibahas secara instan. Tiba- tiba pendapatan serta merta berubah dari proyeksi yang disampaikan oleh TAPD. Mendongkrak pendapatan tidak melalui perhitungan kualitatif tetapi karena " gertakan " banggar. Bermakna proyeksi yang disampaikan tidak cermat jauh dari akurat.

Bagaimana dengan program kegiatan setelah dilihat RKA. Ternyata asal-asalan. Bagaimana tidak disebut asal buat, dalam rapat kerja antara komisi dan SKPD setelah dibongkar RKA ditemukan banyak hal yang unik dan menggelitik.

Pada kegiatan pengadaan alat tulis kantor (ATK) contohnya. Dalam satu Dinas atau Badan membeli barang dengan jenis yang sama bisa terjadi 5 perbedaan. Harga kertas HVS 70 gram - bidang satu harganya Rp 65 ribu, bidang dua Rp 70 ribu. Bidang lainnya bisa Rp 75 dan yang lain lagi Rp 50 ribu. Begitu juga harga gunting, meterai sampai bahan bakar minyak (BBM).

Masih soal ATK, secara hitungan matematika, kegiatan dengan angaran Rp 4 miliar maka akan memerlukan jumlah ATK yang berbeda pula. Anehnya kegiatan dengan anggaran Rp 150 juta ternyata ATK - juga sama dengan kegiatan yang Rp 4 miliar. Dari sekian banyak harga ATK yang konsisten hanya biaya foto copy Rp 200 perlembar.

Begitu juga dengan pembayaran pegawai honorer beragam nominalnya tanpa ada standarisasi. Di saat teknologi mengepung kehidupan ternyata untuk input harga belum bisa dilakukan oleh pemprov Riau. Input data by sistem baru sekedar rencana. Katanya ada E- planing itu juga masih wacana.

Disaat pembahasan anggaran yang mepet waktu, maka jawaban SKPD adalah belum ada standarisasi harga yang baru dari BPKAD. Inilah gambaran pembahasan APBD Riau tahun 2017 masih terjebak pada pola lama.

Lebih komplek lagi, ketika sesama anggota Banggar tidak satu suara dalam membuka bundelan laporan hasil pembahasan komisi- komisi. Malahan untuk melihat RKA di sekretariat DPRD, yang nota bene dapur milik 65 anggota DPRD sendiri perlu berdebat panjang.

Hari Rabu 30 November undangan rapat paripurna pengesahan ranperda pukul 21.30 wib. Tamu undangan sudah berdatangan, ternyata TAPD masih rapat dengan banggar.

Dapat dimaklumi, maksud hati ingin mengejar target agar pengesahan ranperda APBD tepat jadwal, yakni disyahkan paling lama 1 bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan. Atau dengan tergopoh-gopoh memaksakan hari terakhir bulan november, hasilnya rapat molor dan tamu undangan dibuat mengantuk di kursi.

Adapun ke sepuluh atau terakir tahab pembahsan pembahasan adalah penetapan perda APBD dan Perkada penjabaran APBD sesuai dengan hasil evaluasi - paling lambat akhir bulan desember, atau setelah 15 hari rancangan APBD di evaluasi Kemendagri.

Sebenarnya, proses pembahasan APBD merupakan kegiatan rutinitas setiap tahun. Tidak patut kalau tetap mengulang kekeliruan yang menahun. Namun optimisme menuju perbaikan untuk anggaran tahun 2018. Asalkan beriringan dengan komitmen untuk tidak lagi senang bermain- main APBD di ambang batas waktu mepet.

Setelah malam harinya gagal, undangan kembali dilayangkan Kamis tanggal 1 Desember pukul 9.30 pagi. Ternyata buku yang akan disyahkan belum siap. Maka mengulang kegagalan kali kedua, APBD tahun anggaran 2017. Gambaran sesuatu yang dikerjakan dengan buru- buru tidak akan menghasilkan buah yang ranum. ***

Bagus Santoso adalah anggota DPRD Provinsi Riau