ADITYA Fadilah (4), seorang balita dari Palembang, Sumatera Selatan. Sebagaimana anak seusianya, ia pun menangis saat baru bangun tidur pagi itu, senin (21/11/2016). Malang, tangisan manja yang meminta perhatian dan pelukan hangat dari sang bunda justru membawa malapetaka. Sadis, sang Ibu yang bernama Siska (23) seakan kalap mendengar rengekan ananda. Bagai kesetanan, Siska memukul, mengigit lengan sang anak hingga berdarah, dan puncaknya ibu muda ini menendang ulu hati darah dagingnya yang suci.  Tak menunggu lama, malam harinya Aditya Fadilah menghembuskan nafas terakhir. Bocah ini merenggang nyawa di tangan Ibu kandungnya sendiri.

Aditya tidak sendirian. Kasus hilangnya nyawa anak di tangan Ibu kandung sudah banyak terjadi di negeri ini. Terus berulang, lagi, lagi, dan lagi. Sedemikian lemahkah naluri seorang ibu pada era global ini? Apa penyebab hilangnya fitrah Ibu sebagai sosok penyayang dan pelindung bagi buah hati? Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas hilangnya rasa kemanusiaan ini?

Demokrasi Mendekonstruksi Seluruh Sendi Kehidupan

Alasan yang sering muncul sebagai latar belakang terjadinya penganiayaan hingga berujung kematian oleh kaum ibu terhadap anaknya adalah ekonomi. Faktor ekonomi adalah pemicu terbesar dalam kerusakan sendi-sendi kehidupan, termasuk keluarga. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Aditya. Ia menjadi pelampiasan kemarahan ibunya tatkala sang ibu usai cekcok dengan ayahnya. Apa yang menyebabkan pertengkaran antara orang tua Aditya terjadi? Tidak lain adalah karena kesulitan ekonomi.

Tidak bisa dipungkiri, kehidupan pada era demokrasi saat ini semakin keras. Perekonomian semakin sulit dengan minimnya lapangan kerja dan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok untuk mempertahankan hidup. Hal ini terjadi karena prinsip dasar dari demokrasi adalah kebebasan. Setidaknya ada empat prinsip kebebasan yang mutlak ada dalam demokrasi. Yakni: kebebasan beragama,  kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkepemilikan. Semua prinsip kebebasan dalam demokrasi ini tidak membuahkan apa-apa kecuali dekontruksi atau penghancuran dalam tatanan keluarga, masyarakat, bahkan negara.

Prinsip Kebebasan Pembawa Kenestapaan

Kebebasan beragama dalam kaca mata demokrasi akan menjadikan manusia tidak peka dengan sebuah keyakinan atau akidah. Agama hanya akan dijadikan sebagai identitas semata tanpa menjadikannya sebagai aturan kehidupan. Wajar jika akhirnya banyak yang hilir mudik gonta ganti agama sesuka hatinya. Bahkan, hingga terbentuk sekte-sekte aliran sesat yang juga mengatasnamakan agama. Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan pandangan Islam.

Islam tidak pernah memaksa siapapun untuk memeluknya. Tapi, jika seseorang telah memeluk Islam maka ia berkewajiban untuk terikat dengan segala aturan di dalamnya. Termasuk aturan dalam hal pindah agama, maka ada sanksi tersendiri bagi mereka yang keluar dari agama Islam. apakah ini merugikan? Tentu tidak. Justru ini adalah bentuk kekonsistenan Islam dalam menjaga keyakinan manusia. Sehingga yang terjadi justru manusia akan hidup dengan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan jika mereka mau terikat dan menjalankan syariat Islam. bukan karena apapun, kecuali karena Islam adalah agama yang diturunkan oleh Rabb seluruh alam semesta untuk mengatur hidup manusia.

Kebebasan berpendapat juga tidak kalah merusak. Demokrasi memberikan kepada setiap manusia  kebebasan untuk berpendapat apapun. Tidak ada standar baku dalam hal ini kecuali hanya standar kepentingan antara satu dengan yang lain. Realitanya, jargon kebebasan berpendapat ini lebih sering digunakan untuk menjadi tameng para penebar kerusakan. Berpendapat bahwa miras, lokalisasi dan free sex harus dilegalkan, itu boleh. Tapi jika ada yang berpendapat bahwa syariat Islam harus diterapkan, ini tidak boleh bahkan bisa disebut dengan makar. Nah, loh! selain merusak ternyata jargon kebebasan berpendapat juga inkonsisten.

Berikutnya adalah kebebasan berekspresi. Kebebasan jenis inilah yang kemudian melahirkan bermacam jenis gaya manusia dalam menjalani kehidupan. Mulai dari yang bergoyang di atas panggung-panggung hiburan hingga  berperan dalam film porno demi mereguk popularitas, ada. Dari yang kumpul kebo, gonta ganti pasangan, hingga yang LGBT demi mengekspresikan rasa cinta (katanya), juga ada.  Semua kerusakan ini berlindung di balik jargon kebebasan berekspresi.

Setidaknya, tiga prinsip kebebasan di atas telah cukup mengurai benang kusut di hadapan kita, kenapa manusia hari ini hidup dalam nestapa? Kerusakan moral, hilangnya naluri kemanusiaan, yang tersisa hanya kepentingan diri sendiri. Ini semua terjadi karena eksisnya prinsip kebebasan ala demokrasi tersebut. Lebih nestapa lagi, dikontribusikan oleh jargon prinsip kebebasan berkepemilikan. Siapapun bebas memiliki apa saja, berapa saja, di mana saja, asal ia mampu membayarnya. Tidak peduli, apakah yang memiliki adalah individu atau perusahaan. Apakah swasta lokal atau asing. Juga tidak peduli, apakah yang dimiliki adalah milik rakyat secara umum atau tidak. Prinsipnya, Punya uang (modal), maka silahkan miliki apa yang Anda mau.

Siapa mereka yang beruntung? Tentu bukan mayoritas penduduk negeri. Melainkan segelintir orang yang memiliki modal, atau perusahaan-perusahaan yang notabene adalah milik asing yang kita kenal dengan kapital (pemilik modal). Maka, jargon prinsip kebebasan berkepemilikan ini telah melahirkan sistem perekonomian kapitalis. Kapitalisme, adalah sebuah sistem yang akan terus menciptakan kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Sehingga tidak heran, ribuan warga di suatu desa yang melimpah sumber air bersihnya, kesulitan mendapatkan air bersih. Kenapa? Karena sumber air bersihnya telah dikuasai oleh mereka yang bermodal, yakni perusahaan-perusahaan raksasa yang berbisnis air mineral kemasan, dll. Maka tinggallah rakyat hidup dengan kenestapaan.

Ini segelintir realita saja. Sisanya bisa kita lihat sendiri bahkan hanya dengan bertelanjang mata, semua kegilaan dari ‘kebebasan berkepemilikan’ terlihat begitu transparan. Termasuk hilangnya nyawa Aditya, juga merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme yang telah menciptakan kemiskinan di segala lini kehidupan.

Inilah kenapa dikatakan bahwa demokrasi telah sukses mendekonstruksi seluruh sendi kehidupan. Empat pilar kebebasan dalam demokrasi telah mampu memporak porandakan ketahanan keluarga, masyarakat bahkan negara. Manusia yang tidak teratur lagi dalam hal beragama, berpendapat, berekspresi dan berkepemilikan maka akan menjadi brutal. Hukum rimba yang akan merajalela. Kerusakan dan kriminalitas akan meningkat tanpa melihat sisi kemanusiaan. Karena kebebasan dalam sistem demokrasi melahirkan jiwa-jiwa yang kering dari keimanan, gersang dari mengasihi sesama. Sebaliknya, yang ada hanya memenuhi hasrat dan kepuasan diri semata.

Patut kita renungi, apakah kita akan mempertahankan sistem yang sudah jelas-jelas menyengsarakan ini? Sudah selayaknya kita akhiri nestapa ini dengan kembali pada syariat Islam, hukum yang bersumber dari Illahi Rabbi. Wallahualam.***

Penulis adalah Anggota Lajnah Fa’aliyah MHTI Pekanbaru, Wilayah Riau