TIDAK dapat ditampik lagi, sudut-sudut ruang kosong hiburan masyarakat kini telah diambil alih seluruhnya oleh karya seni audio, visual dan waktu yang berbentuk sebuah film. Bagai air mengalir, kini film sangat diterima kehadirannya oleh para penikmat seni. Tak ayal para pebisnis memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan dan mengorbankan rasam masyarakat Indonesia.

Ditambah lagi dengan masuknya film-film luar yang berbeda budaya dengan Indonesia, seakan masyarakat dipaksa untuk menikmati budaya luar dengan minimnya filtrasi. Sebagai masyarakat awam, mereka hanya melihat hasil sebuah film tanpa melihat prosesnya. Ini seolah menjadi cambuk bagi pegiat seni film yang ideologinya masih bersih, mereka yang masih berpikir untuk menciptakan masyarakat yang berbudaya melalui film.

Dalam masalah budaya di film ini, lagi negara ini menunjukkan keunikannya dengan terus membebaskan budaya luar masuk dengan leluasa ke wilayah NKRI dan meninabobokan masyarakat untuk terus menikmati film tanpa memberi wawasan untuk memberikan batasan dalam setiap frame yang terjadi di film-film luar budaya Indonesia. Akhirnya masyarakat Indonesia lupa dengan jati dirinya bangsanya.

Seorang kritikus film pernah bercerita perfilman kita saat ini begitu bertumpu pada darah dan doa, pada gerilya dan spekulasi buta. Kita bersiasat dan berupaya sebisa mungkin untuk melempar film ke tengah publik, lalu berdoa sebesar-besarnya pada Yang Maha Kuasa supaya ada penonton. Pola semacam ini lazim terjadi di kalangan yang berkarir dalam industri maupun yang bergerilya di luarnya, baik oleh pembuat film yang konon katanya hanya mencari keuntungan.

Seiring dengan perjalanann perfilman Indonesia yang kian hari kian menunjukkan kemajuan, banyak film-film diproduksi untuk diperdagangkan ke masyarakat, pasar perfilman Indonesia mulai menarik banyak pengusaha untuk masuk ke dunia perfilman tanah air. Pasalnya setiap film yang diproduksi akan menghasilkan keuntungan yang lumayan besar.

Kita contohkan semisal film Ada Apa dengan Cinta 2. Menurut liputan6.com, film yang bermodalkan sekitar Rp10 miliar ini  mampu menghasilkan pendapatan kotor Rp133,2 miliar dengan penghasilan bersih kepada pihak produksi sebesar Rp53 miliar. Lebih 40% dari total pendapatan kasar. Hal inilah yang tidak disia-siakan mereka. Dengan menggunakan kekuatan modal besar, mereka bisa menguasai pasar perfilman negara ini yang saat ini persentasenya 13% dari populasi masyarakat Indonesia.

Kebutuhan akan film sudah masuk ke dalam ruang hidup masyarakat Indonesia, tak tinggal diam bioskop terus menerus memesan film-film ke para production house Indonesia. Namun tidak senada dengan permintaan bioskop, para production house hanya mampu membuat 3-4 film dalam setahun. Mereka harus terus membuat memompa diri dalam bekerja untuk membuat 6-7 film dalam setahun, dengan mengesampingkan esensi dan pentingnya sebuah film dalam mencerdaskan masyarakat Indonesia.