ISTILAH Pokir ( pokok pikiran ) dan Reses yang terdapat di lembaga DPRD berkelok dan berliku dalam prosesnya. Akhirnya timbul istilah yang diplesetlan pokir buat getir, reses bikin stres.

Istilah tersebut pas untuk menggambarkan situasi rumit dan sulitnya merealisasikan program kegiatan dari aspirasi masyarakat yang terhimpun  pada pokir maupun kunjungan reses.

Reses adalah komunikasi dua arah antara legislatif dan konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala yang merupakan kewajiban anggota DPRD untuk bertemu dengan konstituennya secara rutin pada setiap reses. 

Hasil dari reses adalah himpunan aspirasi/ usulan berupa permohonan masyarakat berupa program kegiatan yang dapat berfungsi pelayanan dasar demi menghalau kemiskinan. 

Sedangkan pokir merupakan salah satu tugas dari banggar (badan anggaran) sebagaimana tercantum pada pasal 55 pada PP nomor 16 tahun 2010 yaitu memberikan saran dan pendapat berupa pokok- pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan ranperda dan belanja daerah paling lambat 5 bulan sebelum ditetapkannya APBDP.

Pokir berbicara secara makro, yang didalamnya ada program dan kegiatan hasil reses. Hanya saja pengertiannya menjadi tidak jelas ketika prosedurnya masuk di tengah jalan bukan dari perencanaan. Pokir disamakan dengan aspirasi reses. Keduanya berbeda subtansi tetapi sama barangnya.

Baca Juga: Riau Sambut Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI): ''Roda Politik Penguasa''

Proses penyusunan APBD jelas dengan pedoman yang ditetapkan oleh Kemendagri setiap tahun anggaran. Ada 10 langkah dari penyusunan RKPD, penyampaian KUA oleh kepala daerah kepada DPRD sampai penetapan perda APBD dan perkada penjabaran APBD sesuai hasil evaluasi. 

Mana pokir yang mana reses dalam prakteknya bercampur baur seperti gado- gado. Berkaca dari pembahasan  ranperda APBD, faktanya terjadi salah kaprah.  Akibatnya banyak muncul kasus gara- gara pokir atau disebut juga dana aspirasi jadi bermasalah dalam pelaksanaan . Bahkan tidak sedikit yang berujung ke pusaran hukum.

Contoh kasus yang mencuat ada di banyak tempat. Dari Lembaga DPR RI,  DPRD provinsi sampai DPRD Kabupaten/ kota. Kasus Damayanti, Budi Supriyanto anggota DPRRI, M Sanusi anggota Dewan DKI hingga 
menyerempet  pada pembahasan ranperda APBDP provinsi Riau tahun 2015. Kini sedang menghadapi proses di pengadilan Tipikor. Meski materi dakwaan tersebab indikasi gratifikasi tetapi KPK juga menelisik program kegiatan yang berasal dari pokir atau aspirasi lembaga DPRD.

Program kegiatanya  tidak salah, disana ada pembangunan jalan, jembatan, masjid dan kegiatan yang menyentuh langsung ke masyarakat. Menjadi problem ketika usulan itu muncul di tengah jalan apalagi diujung akan disyahkannya ranperda APBDP. 

Jika prosesnya demikian maka ada indikasi kongkalingkong antara eksekutif dan legislatif. Atau malahan saling sandera "nahan santing"  dijadikan bergaining - syarat disyahkannya APBD. 

Prosedur yang keliru berpeluang memunculkan fitnah. Sebagian beranggapan kegiatan tersebut milik oknum eksekutif atau legislatif. Pada akhirnya kegiatan- kegiatan itu tidak dapat dilaksanakan. 

Program dan kegiatan itu di akomodir oleh TAPD dengan tujuan ranperda APBDP cepat disyahkan. Namun cara mengambil hati yang seperti ini justeru menjadikan sakit hati  berujung hubungan yang buruk  antara eksekutif dan legislatif. 

Dan yang paling dirugikan adalah masyarakat. Kegiatan membangun infrastruktur atau bantuan hibah barang yang sudah tercantum pada buku APBDP itu tidak dapat direalisasikan. Eksekutif dalam hal ini SKPD juga turut mendapat getah yakni serapan anggaran menjadi rendah. Sementara anggota dewan juga mendapat makian dari masyarakat karena kegiatan yang sudah disosialisasikan ternyata batal. Kewajiban reses menjadi beban tersebab aspirasi yang disampaikan hanya menjadi bahan arsip desa. 

Bertambah berlarut ketika terjadi kasus yang kebetulan berbarengan dengan pengesahan APBD seperti yang dialami di Provinsi Riau. TAPD harus membuka arsip tebal karena diminta menjelaskan proses dari perencanaan sampai penganggaran. Begitupun anggota DPRD, seperti maju kena mundur kena. Mengusulkan kegiatan ditanya penyidik KPK, tak mengusulkan juga diperiksa.

Begitulah gambaran pokir dan aspirasi reses, meski proses APBD menjadi rutinitas tahunan, namun belum juga menapak secara pasti. Eksekutif tidak menempatkan legislatif sebagai mitranya. Begitu juga legislatif dengan ego lembaganya.

Bila kita tarik lagi ke proses awal terkait proses pembahasan ranperda APBD Provinsi Riau untuk tahun anggaran 2015, 2016. Aspirasi reses dan pokir berserakan karena penyusunan sampai penyerahan KUA PPAS ke lembaga DPRD mutlak kebijakan eksekutif. 

Meski diakui mekanisme sudah melalui musrenbang, tetapi tidak mengakomodir usulan kegiatan anggota DPRD hasil aspirasi masyarakat dari hasil reses. Program dan kegiatan yang dihimpun dan disampaikan anggota DPRD dari setiap Dapil pada rapat paripurna nyaris tidak ada bekas.

Disinilah peran pimpinan dan sekwan dituntut tegas dan bernas. Himpunan reses mestinya sudah terkawal sejak di RKPD. Begitu juga SKPD melalui kepala Dinas/ Badan diminta atau tanpa diminta seyogyanya sudah mengakomodir kegiatan saat mereka mendengarkan usulan anggota saat disampaikan pada rapat paripurna. Hanya saja kasusnya, banyak kepala dinas/ badan yang enggan datang saat paripurna.

Jika saja usulan anggota DPRD dari hasil reses itu sudah terakomodir, maka sebenarnya tidak perlu lagi ada istilah pokir atau dana aspirasi. Sebab pada akhirnya ditafsirkan kurang elok.  

Sayang kemesraan antara eksekutif dengan legislatif terkesan baik kalau ada maunya. Dan buntutnya adalah kekecewaan. Pada posisi demikian semua pihak tidak juga berusaha duduk bersama. 

TAPD dalam hal ini, SKPD sudah merasa nyaman dengan program kegiatan yang disusun sendiri. SKPD  sudah lebih enjoy memasukkan program kegiatan copy paste tahun sebelumnya. Tanpa ada kreatifitas dan inovasi yang langsung dirasakan masyarakat.

Sikap SKPD ini jelas tidak betul, tapi itulah yang memberikan jaminan aman selama ini. SKPD mengejar penyerapan anggaran dari belanja tidak langsung dan berupaya terhindar dari temuan BPK. SKPD Lebih mementingkan kenyamanan. 

Pejabat SKPD yang punya wewenang memutuskan,  rata- rata sudah kenyang asam garam. Mereka lebih ulung dan jago "mengemas" masakan APBD, gulai asam pedas mana yang perlu ditaburi lempuyang dan nasi lemak mana yang cukup di taburi merica. SKPD sudah memiliki anggaran taktis serta taktik yang disaving pada belanja rutin.

Beda dengan anggota DPRD yang nota bene sama dengan karyawan kontrak ( 5 tahun ) maka perlu penyesuaian. Anggota DPRD berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman pekerjaan yang beraneka macam. Maka butuh waktu  beradaptasi. Mulai dari belajar dari perencanaan dan penganggaran. Sejujurnya, anggota DPRD mendapat kontrak lima tahunan. 

Dapat digambarkan sebagai berikut  ; pada 3 tahun pertama baru memahami tugas dan fungsinya. Tahun ke empat, memasuki fase - baru paham hak- hak dan kewajibannya,  tetapi sudah telat karena tidak fokus - mulai berkutat dengan partai - berebutan daftar caleg. Maka tahun kelima tidak lebih sebagai tahun penutup tanpa kesan berarti.

Tidak heran, jika pembahasan APBD di dominasi oleh SKPD. Kebijakan anggaran sudah menjadi mainan pejabat eksekutif. Teriakan anggota dewan cukup terpuaskan "terlipat" di pada berita koran. 

Padahal kalau kedua belah pihak berjalan seiring sebagai mitra, kebijakan anggaran dengan memegang teguh pedoman penyusunan APBD sejak dari terhimpunnya aspirasi, perencanaan dan penganggaran. Jika harmonis sangat mudah untuk membuat keputusan bersama.

Tersebab tidak taat mekanisme penyusunan APBD Riau dua tahun terakir 2015, 2016 seakan hanya menjadi penyenang diawal namun sakit hati dan mengecewakan pada akhirnya. Terbukti struktur APBD 2015 menghasilkan silPa yang sangat besar yaitu Rp 3,13 triliun.

Program kegiatan dimasukkan tetapi tidak dapat dilaksanakan. Kegiatan yang menjadi pokir dewan oleh SKPD entah ada unsur sengaja atau tidak menjadi sia- sia. Anehnya kegiatan yang dibuat oleh SKPD sendiripun tak dapat diselesaikan. 

Sebetulnya sebutan pokir yang berupa program dan kegiatan dewan tidak tepat disebut pokir. Melalui bantuan keuangan ( bankeu ) Pemprov Riau mengucurkan bantuan dana ke kabupaten/ kota. Kucuran dana itu sesuai dengan permintaan bupati/ walikota yang disampaikan melalui surat resmi dengan lampiran nama program dan kegiatan secara rinci. 

Maknanya, tanpa peran anggota dewan bankeu secara otomatis akan diberikan pemprov ke kabupaten/ kota. Maka yang berlaku pada penyusunan APBD  Riau pada dua tahun terakir belum semakna dengan sebutan aspirasi masyarakat.

Saat ini TAPD dan Banggar DPRD sedang membahas ranperda APBD tahun 2017. Seperti lagu lama masih juga berkutat tentang pokir dan bankeu. Melihat pembahaan yang terjadi maka proses pembahasanya tidak berbeda dengan tahun sebelumnya alias sami mawon.

Padahal jika alur pembahasan dilaksanakan sesuai pedoman, seiring dengan itu komunikasi Gubernur  dan pimpinan DPRD terbangun dengan bijak - berjalan sebelum bulan januari - maka dipastikan pembahasan rancangan KUA PPAS akan berjalan sesuai jadwal. 

Bersyukur, pada saat ini Sekda sudah definitif. Ketua Bapeda meski baru Plt tetapi sudah lumayan ditangan para ahli yang profesional. Jika semua pihak bersinergi maka penyusunan APBD diperkirakan baru akan runut pada tahun anggaran 2017. Semoga pengalaman dua tahun 2015, 2016 yang kurang baik, akan berubah menjadi tertib dan taat prosedur. ***

Bagus Santoso adalah Anggota Komisi D BIdang Pembangunan DPRD Provinsi Riau