MASALAH bangsa Indonesia secara nasional masih belum beranjak dari kemiskinan dan kebodohan. Bahasa bukunya tertinggal dalam bidang ekonomi dan tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan. Bahasa pasarnya, sudahlah miskin bodoh pula lagi. Masalah ini dapat dilihat dari indikator, pertama, kualitas pendidikan nasional yang masih bermasalah. Yang kedua dari income perkapita masih rendah. Kompas Oktober 2016 menyebutkan mutu pendidikan kita masih rendah, 60% tamatan SD, sedangkan penduduk Indonesia masih 65% tamatan SD, 27% tamatan SLTP/SLTA, tamatan perguruan tinggi hanya 8%. Itupun mutu kelulusan perguruan tinggi sebagian besar hanya pas-pasan. Begitupula masih banyak perguruan tinggi dengan predikat GL (Gampang Lulus). Banyak pula perguruan tinggi hanya sekedar mesin pencetak ijazah (Kompas, April 2008). Lulusan  tahun 50-60an jauh lebih baik dari sekarang (Yusuf Kalla, Kompas Juli 2006).

Dari minat baca, Indonesia berada pada urutan ke 60 dari 65 negara yang disurvey (Ketua umum IKAPI pusat). Indikasi lain, Indonesia masih saja berpredikat Negara berkembang walau sudah 71 tahun merdeka. Kenapa? Karena syarat utama negeri maju adalah kualitas sumber daya manusia, dimana negeri kita justru disini pulalah masalahnya. Indikator berikut adalah wawasan anak bangsa masih jauh dari memadai, dapat dilihat dari mahasiswa-mahasiswa jika ditanya hal-hal yang umum sebagian besar tidak tahu dan tidak mengerti.

Sama saja jika ditanya pengetahuan umum termasuk ranah agama, apa itu agama, kenapa harus beragama, apa itu agama islam, apa tujuan beragama, apa tujuan ajaran islam, hampir semua mahasiswa tidak bisa menjawab. Hal yang sama dijumpai pula dijemaah-jemaah wirid pengajian. Barangkali saja dosen sekalipun banyak juga yang lemah wawasan. Hipotesis mengatakan bahwa: Pendidikan dan dakwah gagal total. Setuju atau tidak setuju mari kita jawab masing-masing dengan jujur.

Kondisi kebodohan ini dimanfaatkan dengan sempurna oleh segelintir orang-orang yang punya kepentingan, punya pengaruh terutama para politisi baik dari partai maupun birokrasi. Ketika pilkada dan pemilu, maka beraksilah mereka dengan menebar janji-janji. Bakal calon tak malu memuji diri sendiri dan mengatakan dirinya amanah, jujur, merakyat, kompeten, dst. Kenyataan setelah dipilih, jauh panggang dari api, perkataan pecah kongsi dengan perbuatan.

Yang penting bagi mereka : Janjikan sekaligus lupakan. Pertanyaannya, sampai kapan kita nikmati kondisi seperti ini? Jawabannya tentu tergantung kepada kita semua. Rakyat (pemilih) harus cerdas dan pintar memilih. Jangan memilih didasari oleh karena oleh karena, oleh karena ada uang, oleh karena sesuku, sekampung dst. Untuk itu kita harus berusaha agar tidak menjadi orang bodoh, harus berilmu dengan banyak belajar, banyak membaca, sekaligus berusaha pula untuk tidak mau dibodohi.

Para pemimpin maupun balon, hentikanlah pembodohan-pembodohan karena yang rugi adalah rakyat sekaligus bangsa yang kita cintai ini. Kebodohan memang merupakan pintu gerbang masuknya provokator-provokator atau pengadu domba baik diranah politik maupun diranah agama. Barangkali dengan begitu banyaknya aliran-aliran semakin terbuka pula aksi provokasi termasuk yang dibungkus agama. Justru diranah agama lebih sensitif lagi karena fanatik golongan, mengkultuskan ustad, dan sebagainya, akhirnya karena kebodohan gampang meniru-niru, gampang percaya, sampai-sampai meniru budaya asing padahal budaya kita tidak kalah bagusnya. Oleh sebab itulah sekali lagi kita harus berusaha untuk tidak menjadi bodoh dan tidak mau dibodoh-bodohi. Mudah-mudahan bangsa ini akan menjadi lebih baik dimana rakyatnya semakin cerdas sekaligus pemimpinnya semakin berkualitas dan berintegritas. Insya-Allah.***

Iqbal Ali - Ketua Sekolah Tinggi Sosial Ilmu Politik Persada Bunda