Banjir adalah bencana langganan yang kerap melanda Kota Medan. Jika hujan turun, banjir takkan terelakkan di beberapa wilayah tertentu. Tak hanya rumah warga yang terendam, kendaraan yang melintasi genangan air di jalan juga terkena imbasnya karena mogok. Tak jarang fenomena pengendara motor mendorong kendaraannya secara berjamaah menambah keibaan mata untuk memandangnya.

Banjir juga dapat membahayakan keselamatan warga. Masih ingat beberapa tahun lalu seorang warga yang terseret arus banjir ke dalam got hingga menewaskan nyawanya. Itu salah satu bukti banjir bahwa banjir merupakan problema yang harus ditangai dengan serius dan cepat oleh Walikota Medan.

Belum lagi warga yang sibuk memindahkan barang-barang berharganya ke rumah tetangga yang tidak terkena banjir akibat rumahnya yang sudah digenangi air hingga selutut orang dewasa. Televisi, kulkas, komputer, kursi, alat elektronik dan perkakas rumah tangga lainnya satu persatu dipikul mereka. Tentu miris melihat keadaan seperti ini.

Pasca surutnya banjir menambah masalah lagi. Masyarakat juga disibukkan dengan pembersihan rumah-rumah yang baru saja terkena banjir. Lumpur dan kotoran akan menyelimuti seisi ruangan rumah. Tentu ini menambah waktu libur masyarakat untuk bekerja dan beraktivitas. Yang sudah pasti akan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat yang menggantungkan nasibnya dengan berjualan dan jasa.

Kita sebagai warga kota tentu kaget kalau di Medan ini ternyata ada 90 titik atau lokasi yang rawan banjir dan belum pernah terdengar upaya penanganannya agar jumlah itu berkurang, misalnya tinggal 70 titik atau 50 titik. Jangan-jangan malah jumlah itu sudah lebih ke hampir atau lebih dari 100 titik. Soalnya, kawasan yang sebelumnya aman dari banjir, tempo hari malah sudah ikut tergenang, apalagi kalau ruang terbuka hijau (RTH) Medan sebagai objek resapan air saat ini cuma di bawah 10 persen dari yang seharusnya  30 persen. Hal ini disampaikan Rony Tuah Purba praktisi lingkungan kepada pers di Medan beberapa waktu lalu.

Kota yang disebut-sebut sebagai yang terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya masih saja akrab di pemberitaaan permasalahan banjir. Tampaknya pihak Pemko belum mampu mencarikan solusi terkait banjir yang tiap waktu mengancam warga ketika hujan turun. Pengadaan dan perbaikan drainase yang selama ini menjadi program menangkal banjir belum menemui titik terang mengantisipasi banjir. Dan program ini juga belum berjalan sesuai rencana. Malah menambah kecarutmarutan lalu lintas di lokasi yang sedang diperbaiki drainasenya. Pengendara menjadi terlambat pergi bekerja karena kemacetan yang disebabkan ada pengerjaan drainase tersebut.

Pemko Medan harus menyiapkan tenaga buruh pengorek drainase yang lebih banyak lagi, dengan jumlah saat ini hanya 400 orang, untuk mengatasi seluruh drainase yang ada di tiap sudut Kota Medan masih membutuhkan sekitar 3000 orang tambahan agar proyek drainase segera terealisasi dan menekan banjir jika hujan kembali turun. Harapannya dari dana APBD 2016, jumlah buruh bertambah dengan rincian 200-an orang perkecamatan agar drainase lebih rutin dan berkala dilakukan perawatan.

Hal ini senada dengan yang disampaikan Anggota DPRD Medan dari Komisi C Godfriend Effendi Lubis yang dikutip dari pemberitaan Analisa (8/902016), ia mengatakan guna mengatasi bencana banjir sudah seharusnya Pemko Medan lebih meningkatkan biaya perawatan drainase dibandingkan dengan biaya pembangunan baru drainase.

Ia mewakili DPRD Medan mengusulkan perbandingan rasio 70:30 persen antara  perawatan dengan pembangunan drainase baru. Selama 3 bulan terakhir ini sudah tiga kali Kota Medan dilanda banjir. Ia juga menyayangkan solusi yang dilakukan  Pemko Medan yang hanya memberikan bantuan bagi  korban banjir tanpa memikirkan dan mengambil tindakan serius terhadap antisipasi banjir di kemudian hari.

Ruang Resapan Air

Pemko juga harus mengawasi dan menerapkan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) yang bertujuan untuk memberi ruang resapan air hujan pada bangunan yang terkena curah hujan. Sehingga air hujan tidak langsung luber ke jalanan jika drainase tak mampu menampung volume air, melainkan teralirkan ke ruang resapan hujan tadi.

Jika KDB dipatuhi, otomatis akan mengontrol ruang resapan air hujan  di tanah, taman, atau pekarangan. Sehingga ancaman banjir sedikit terantisipasi. Selain itu setiap rumah juga menyediakan ruang resapan air seperti sumur. Hal ini diperlukan partisipasi masyarakat secara menyeluruh agar nantinya tidak mengeluh karena rumahnya kebanjiran, padahal upaya peanggulangannya sudah diinformasikan. Hanya saja tidak diterapkan di rumah masing-masing.

Padahal ruang resapan air dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk mencuci kendaraan, menyiram bunga dan keperluan lainnya. Selain dapat menampung debit air hujan yang turun cukup banyak secara temporer untuk menahan sementara air agar tidak langsung menuju selokan yang pada akhirnya menyebabkan banjir.
Terkait ruang resapan air ini disampaikan oleh arsitek dan urban designer, Boy Brahmawanta Sembiring,  pada pemberitaan Harian Analisa Kamis (8/9/2016) berjudul Medan banjir, Pemerintah Minim Awasi KDB.

Konektivitas Ke Sungai

Drainase dan kanal yang menjadi perantara aliran air hujan menuju sungai harus benar-benar diperiksa secara berkala dan komprehensif. Karena drainase dan kanallah jalan satu-satunya untuk mmaksimalkan aliran air hujan menuju sungai. Jika drainase dan kanal tidak terkoneksi dengan baik, tentu polemik banjir tidak akan pernah selesai di saat musim hujan.

Badan Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II harus bekerja sama dengan Pemko Medan terkait harus bekerjasama melakukan peninjauan ulang ke setiap kanal-kanal yang terhubung langsung ke sungai yang ada di Medan. Setelah dilakukan peninjauan akan lebih mudah titik permasalahannya sekaligus memecahkan solusi yang akan diambil terkait konektivitas drainase dan sungai sebagai ruang aliran air hujan.

Kemungkinan kanal-kanal tidak terhubung langsung ke sungai yang memicu terjadinya banjir. Bahkan fakta terburuknya kana-kanal yang ada di Medan sudah rusak sehingga air meluap kepermukaan. Hal inilah yang harus segera ditinjau agar banjir tidak semakin parah melanda Kota Medan.

Kepedulian dan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di parit maupun sungai merupakan upaya penanggulangan banjir. Karena sampah yang kita buang sembarangan akan menimbulkan penumpatan dan penyumbatan yang mengakibatkan terhambatnya air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sehingga volume air menjadi meningkat karena tidak sebanding dengan daratan yang mungkin lebih rendah. Akhinya banjir tidak dapat terelakkan.

#Penulis adalah alumni Pendidikan Guru MI (SD) UIN SU dan alumni Lembaga Pers Mahasiswa Dinamika UIN SU.