PENGANGKATAN Jonan dan Arcandra sebagai Menteri dan Wakil Menteri ESDM menimbulkan banyak kritik. Ternyata keduanya mempunyai persoalan kepegawaian yang tidak tuntas. Jonan sebelumnya adalah Menteri Perhubungan, yang entah apa sebabnya tiba-tibanya diganti. Begitu juga Arcandra Tahar pernah menduduki jabatan Menteri ESDM yang tidak sampai satu bulan. Ternyata ia memiliki dwi kewarganegaraan yakni Indonesia dan Amerika Serikat. Bahkan ia pernah mengucapkan sumpah setia pada Negara Amerika Serikat. Dengan demikian baik Jonan maupun Arcandra dinilai tidak pantas lagi diangkat menjadi menteri. Jonan saat ini sudah diangkat kembali menjadi Menteri ESDM. Sedangkan Arcandra Tahar beberapa minggu yang lalu pernah menyandang status dwi kewargaaan. Tetapi tiba-tiba dalam waktu singkat ia memiliki kewarganegaraan Indonesia. Sehingga menjadi tanda tanya, mengapa ia begitu cepat mendapat kewarganegaraan Indonesia.

Anehnya lagi segala sesuatu proses Arcandra menjadi kewarganegaraan Indonesia seperti bim salabim. Para pakar hukum, politik dan sosial menilai peristiwa yang dialami Jonan dan Arcandra sangat tidak layak dicontoh. Yang menjadi persoalaan serius keduanya harus membenahi Kementerian ESDM, yang sedang dililit masalah. Karena Kementerian ini merupakan sumber pendapatan negara.

Kontroversi pengangkatan Jonan dan Arcandra sungguh mengejutkan. Mungkin inilah yang disebut "politik Abu Nawas". Segala sesuatu bisa diubah dengan cepat, sesuai dengan keinginan pemilik kebijakan dengan dalih hak prerogratif presiden.

Menurut sebuah sumber, Arcandra banyak mengetahui lika-liku mafia perminyakan di Amerika Serikat. Ia bersedia melaporkan hal-hal yang menyimpang dari sejumlah perusahaan yang beroperasi. Bahkan menurut sumber, ia bersedia bekerja sama membongkar skandal perminyakan yang lama terjadi. Tentu saja informasi tersebut masih harus dibuktikan, karena belum ada bukti-bukti jelas mengenai mafia perminyakan. Demikian juga seperti dikatakan Presiden Jokowi bahwa Jonan dan Arcandra adalah orang-orang yang keras kepala. Mustahil rasanya menyatukan dua orang pimpinan dalam satu organisasi yang mempunyai karakter sama-sama keras kepala.

Dimasa lalu mantan Presiden Soekarno, dengan alasan hak preogratif pernah mengangkat seorang konco preman copet bernama Letkol Syafei. Ia diangkat menjadi Menteri Keamanan Khusus. Tapi ternyata tidak berusia lama, karena situasi keamanan tidak tertolong lagi. Permasalahan serupa terjadi di masa Orde Baru (Orba). Presiden Soeharto secara mengejutkan, mengangkat putri sulungnya yaitu Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri Sosial. Selain itu Muhammad Hassan (Bob Hassan) diangkat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Baik Siti Hardiyanti Rukmana maupun Bob Hassan, akhirnya mundur dari jajaran kabinet. Karena disebabkan dengan tekanan situasi politik reformasi.

Ada yang sangat menarik lagi, ketika Presiden Jokowi mengangkat Budi Gunawan (BG) yang dua kali gagal menjadi Kapolri, malah diangkat menjadi kepala BIN. Peristiwa tersebut membuktikan bahwa hak prerogratif dapat saja berjalan yang tidak sesuai dengan aturan dan keinginan publik. Semuanya bisa ditipis dengan alasan hak prerogratif presiden.

Kita berharap hal-hal yang seperti diatas tersebut, tidak akan terulang lagi. Jangan sampai politik Abu Nawas ikut campur dalam mengubah kebijakan hak prerogratif presiden. ***

H Mulyadi adalah wartawan senior tinggal di Pekanbaru, Riau