POLITIK anggaran atau juga disebut kebijakan anggaran ialah kebijakan yang digunakan pemerintah untuk mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau yang diinginkan dengan cara mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Melihat tiga tahun terakhir politik anggaran dari proses perencanaan, penganggaran sampai pelaksanaan dan realisasi yang dapat dikerjakan. Sampai berapa target tercapai? Lalu Sekuat apakah pertumbuhan ekonomi di Riau.

Pemerintah Provinsi Riau, selama ini memilih kebijakan defisit. Yang bermakna posisi pengeluaran lebih besar daripada posisi penerimaan. Terasa aneh memang, apabila kita hubungkan dengan data. Bahwa Pemprov Riau mendepositokan duitnya sekitar Rp 3 triliun setiap tahun di bank. Anehnya dalam menyusun APBD memilih kebijakan defisit pada politik anggaran.

Sangat disayangkan duit Rp3 triliun ditidurkan di brankas bank - jelas hanya menjadi iddle fund alias hepeng nganggur. Pemprov sepertinya sudah merasa puas dengan mengutip bunga bank uang hanya secuil - Rp 500 juta lalu dijadikan komponen pendapatan asli daerah (PAD) setiap tahun anggaran.

Padahal dana yang super besar ini, akan menjadi kekuatan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi di Riau. Jika saja dengan serius difungsikan pada komponen program dan kegiatan yang mulia yaitu ; menyediakan pelayanan dasar masyarakat Riau dan mengatasi kemiskinan.

Namun entah karena kurang cermat atau karena semangat yang loyo. Maka Rp3 triliun tak mengena ke tujuan menggerakan roda perekonomian. Padahal dengan memacu kegiatan pembangunan pelayanan dasar dapat dijadikan indikator ukuran penyerapan anggaran.

Anggaran terserap bermakna kegiatan sukses. Kegiatan terlaksana sama dengan memenangkan kebutuhan masyarakat. Maka roda pertumbuhan ekonomi bergerak.

Tidak heran sekarang ini, semua kalangan usaha barang dan jasa menjerit, mengeluh kesakitan dalam menjalankan usahanya. Warung kedai kopi sepi, sopir taxi susah mengejar setoran, toko kelontong melompong.

Buruh, pegawai, karyawan status negeri atau swasta tersengal-senggal membayar kredit. Grosir banyak gulung tikar, pemilik restoran tak sanggup beli bahan baku, tukang bakso, tukang tempe tahu sampai pelaku pabrik cetak surat kabar tak terkecuali properti banyak yang terhenti atau diam menahan diri.

Semua itu akan terus berlanjut, jika pada tahun-tahun kedepan tahun 2017 seterusnya. Pemprov masih tetap merencanakan pendapatan asli daerah dari bunga deposito Bank. Sama maknanya gubernur masih menginginkan saldo SilPa tinggi atau menyimpan lagi duit di brankas bank.

Jika demikian maka akan tercatat dalam sejarah Riau masa Pemerintahan Gubernur Riau yang buruk. Dan untuk saat ini pertumbuhan ekonomi terendah. Azab lagi Riau akhirnya tidak mendapatkan dana-dana segar dari Jakarta.

Sememang sejak 3 tahun terakhir, mulai masa transisi peralihan Gubernur Rusli Zainal ke Annas Ma'mun berlanjut ke Arsyajuliandi Rachman ada sejumlah faktor yang turut andil pada berkurangnya serapan anggaran. Serapan anggaran berkurang = roda ekonomi melemah.

Diantara faktor tersebut adalah adanya pejabat eksekutif dan legislatif di Provinsi Riau yang berurusan dengan proses hukum. Ada yang terbabit hukum karena perkara turut bersama dalam kerugian negara (korupsi), kolusi maupun sebab lainnya.

Diakui atau tidak faktor ini turut serta mempengaruhi menurunnya serapan anggaran. Tidak hanya di provinsi tetapi merata sampai kabupaten dan kota. Banyak kalangan diliputi kecemasan dan ketakutan, meski pada tataran bahasa hukum mengatakan tidak ada orang yang tidak bersalah dihukum, tetapi dalam prakteknya orang lebih memilih menghindar.

Sikap kewaspadaan atau kehati-hatian yang berlebihan akhirnya berubah menjadi ketidakmampuan. Program kegiatan yang sudah tercantum dan disahkan bersama, antara eksekutif dan legislatif. Pada tataran SKPD masih ragu atau tidak berani melaksanakan.

Paket proyek - kegiatan terulur-ulur masuk diproses menuju lelang. Celakanya setelah dilelang tidak ada rekanan/ kontraktor mengajukan penawaran. Atau setelah terpilih pemenangnya rekanan tidak mengambil uang muka. Apa pasal? Prosedurnya mudah - tapi tidak tahan dengan panjangnya laci yang dilewati (pungli birokrasi ).

Maka, hingga tutup buku, masih ada saja paket proyek yang gagal lelang. Kegiatan yang sudah direncanakan melalui konsultasi dan rapat dengan dibiayai duit pajak, nyaris hampa tidak dapat dinikmati masyarakat. Karena kegiatan tidak jalan.

Proses pelelangan juga ''kemak'' penuh problem. Akan lebih parah jika kepala dinas melalui kelompok kerja (pokja) tidak sehaluan dengan badan pelelangan. Berbagai dalih digunakan dari dokumen yang belum lengkap, sampai yang paling krusial masing- masing membawa kepentingan dalam penentuan pemenang.

Kepala dinas dan badan lelang juga dibuat pusing. Sebab, di zaman yang katanya serba transparan, masih ada gaya preman dan titipan. Paket tunjuk langsung (Pl) bisa saja tidak dikerjakan karena banyak kelompok atau oknum minta jatah dan main ancam.

Akibatnya sangat fatal, kegiatan yang seharusnya untuk pelayanan atau memberangus kemiskinan terpaksa stop tidak jalan karena ketakutan. Uang itu menumpuk menjadi SilPa sampai Rp3 triliunan.

Itulah potret politik anggaran yang terjadi di Riau. Komunikasi yang macet sesama Tim Anggaran Pendapatan Belanja Dearah (TAPD) memperburuk dan memperlambat tahaban pembahasan anggaran daerah. Belum lagi rumit dan berlikunya kemitraan yang seyogyanya dilakukan antara ekesekutif dan legislatif.

Mencermati pengesahan APBDP tahun 2016 yang diketok siang kemarin (14/10). Dari Laporan SKPD realisasi pelaksanaan program dan kegiatan di pos belanja tidak langsung maupun di belanja langsung masih sangat minim.

Hal ini dapat dilihat dari data Penyerapan belanja daerah yang loyo yaitu di bawah 50 persen. Maka pada tahun 2014 menumpuk SilPa hampir Rp4 triliun tepatnya Rp3.981 miliar. Berikutnya tahun 2015 , masih diatas Rp3.131 miliar.

Akibatnya pertumbuhan ekonomi Riau anjlok dibawah target yang ditetapkan oleh amanah Permendagri nomor 52 tahun 2015 tentang pedoman penyusunan APBD tahun anggaran 2016 yakni sebesar 6.6 persen.

Secara berturut-turut empat tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Riau tanpa migas hanya mampu di kisaran rendah yaitu pada tahun 2013 ; 5,47 persen, 2014 ; 5,92 persen, 2015 ; 2,01 persen, dan 2016 ; 3,79 persen.

Artinya Riau gagal mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen, sebagaimana yang diamanatkan Permendagri Nomor 52 tahun 2015 tentang pedoman penyusunan APBD tahun anggaran 2015. Riau hanya mampu meringis di angka 3,79 persen.

Sebuah kenyataan pahit menimpa Pemprov Riau. Pertumbuhan ekonomi Riau terus mengalami penurunan.

Melemahnya pertumbuhan ekonomi di Riau tidak terlepas dari menumpuknya SilPa anggaran yang mencapai hitungan triliunan rupiah. Turut serta didalamnya di depositokannya duit di brankas bank Riau.

Kita masih berharap, meski hitungan realitisnya akan susah dicapai. Dengan telah di ''diketok palu'' pengesahan Perda APBDP tahun 2016 hari Kamis 13 Oktober akan ada keajaiban yakni terlaksananya kegiatan dan serapan anggaran hingga mencapai 99 persen.

Hanya Dengan cara inilah pertumbuhan ekonomi di Riau bergerak naik sehingga Rakyat Riau dapat merasakan hasil nyata makna dari politik anggaran, Amin.

Pekanbaru, Kamis 13 Oktober 2016

* Bagus Santoso adalah anggota DPRD Provinsi Riau, Fraksi PAN