Oleh Tgk Helmi Abu Bakar*

Mencium tangan merupakan salah satu sunnah Rasulullah dan para sahabat. Mereka melakukannya dalam setiap kesempatan dan waktu untuk saling mendahului mencium tangan sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan.

Salah satu tradisi orang timur termasuk Indonesia adalah mencium tangan, budaya tersebut sudah lama menjadi tradisi umat Islam di Nusantara ini. Sebagai salah satu bentuk simbol penghormatan kepada mereka yang lebih tua, baik dalam kedudukan, keilmuan maupun dalam nasabnya. Mencium tangan para ulama, orangtua dan lainnya merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam perspektif agama. 

Adab atau etika itu lebih tinggi derajatnya dari ilmu pengetahuan. Seorang tanpa etika tapi berilmu masih dianggap sebuah kecacatan sehingga lahirlah ungkapan ”al-adabu faiqa al-ilmi” (adab atau etika itu berada di atas ilmu). Terkadang sebuah pemandangan yang umum terlihatdan sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita seorang anak itu untuk merealisasikan salah satu bentuk takriman (penghormatan) kepada orang tua adalah dengan menciumtangannya.

Tetapi jarang terlihat dan mungkin langka sebuah manifestasi akhlak seorang orang tua yang mencium tangan anaknya. Seolah-olah hanya pihak maqam rendah yang wajib beradab kepada maqam tinggi. Baik kah itu muallim(guru), orangtua atau lainnya sebagai maqam tinggi kita yang ‘wajib’ dihormati dan itu wajar, namun jarang kita mendakwahkan diri sendiri untuk juga menghormati mereka yang berada di bawah kita sesuai etika yang telah di gariskan oleh syara’.

Menciumi tangan orangtua suatu perintah dan keharusan yang harus dilakukan oleh seorang anak dan ini lazim terjadi dalam masyarakat. Puteri Rasulullah Fatimah ketika masuk mendapati dan bertemu Rasulullah SAW, beliau berdiri dan terus mencium tangan baginda Rasulullah SAW. (HR. Abu Daud, no. 5217).

Namun sesuatu hal yang jarang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya dengan menciumi sang buah hati. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap anaknya Fatimah, disebutkan bahwa apabila saidatina Fatimah R.A masuk bertemu Rasulullah SAW, Baginda terus berdiri dan mengambil tangan puterinya dan menciumnya serta duduk bersamanya di dalam satu majlis. (HR. Imam Turmudzi, no. 3872).

Bayangkan bagaimana mulianya akhlak Rasulullah mencium tangan anaknya Ketika hal itu dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dalam membangun rumah tangganya, adakah terlintas dalam pikiran kita untuk meneladani beliau dalam mewujudkan keluarga “ baiti Jannati”.(rumahku surgaku).

Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Abu Bakar Ash-Siddiq ketika mendapati puterinya Aisyah RA demam, lantas beliau mencium puterinya, menandakan ciuman tersebut bukan hanya kepada sang puteranya saja. (HR. Abu Daud, no. 5222). 

Fenomena di atas merupakan salah satu bentuk metode untuk membangun komunikasi dalam keluarga dengan pendekatan psikologi yang harus diteladani oleh orang tua untuk memberi semangat dalam penyembuhan sambil berobat. Salah satu ibrah lainya yang dapat dipetik dari keangungan akhlakul karimah baginda Rasulullah SAW dan sahabat beliau Abu Bakar di atas, anak mencium tangan orang tua sebagai wujud realisasi birrul walidain kepada mereka.

Sedangkan ciuman orangtua kepada putera dan puterinya sebagai wujud aplikasi rasa kasih sayang dan belaian mahabbah (kecintaan) yang selama ini prakrek itu sedkit demi sedikit telah hilang dan terkikis oleh gemuruh riuh “tsunami” akhlak di era globalisai dan teknologi yang menggilas nilai-nilai akhlakul karimah yang telah diajarkan oleh assabiqul awwalun. Semoga kita dapat selalu mengintropeksi diri sendiri menuju keridhaan Ilahi.

* Tgk Helmi, dosen di Institus Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen.
   Email: lamkawe82@gmail.com