ANAK adalah aset bangsa yang berharga. Perhatian terhadapnya tidak boleh lengah apalagi setengah-setengah. Agaknya, inilah yang melatarbelakangi adanya hari istimewa untuk anak. 23 juli 2016 adalah momen tersebut. Seluruh kalangan pun menyambut gembira hari ini dengan berbagai presentase capaian-capaian dari instansi masing-masing dalam menciptakan kesejahteraan pada anak. Euforia khalayak membludak sebagaimana di momen-momen besar yang pernah ada. Sayangnya, ini hanya bersifat sesaat. Seremonial. Formalitas semata. Tidak ada beda sebagaimana euforia khalayak pada hari kemerdekaan meskipun realitasnya bangsa ini terjajah di segala bidang. Euforia pada hari narkoba meskipun jumlah korban narkoba terus meningkat. Euforia di hari HIV/AIDS, meskipun jumlah pengidap HIV/AIDS terus melaju bak bola salju. Miris!

Di hari anak ini kita disuguhi bingkisan lemak. Arya, memiliki bobot fantastis, 190kg diusianya yang baru 10 tahun. Hal ini tentu menyedot perhatian berbagai kalangan. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa hal ini terjadi akibat kesalahan pola asuh orang tua. Hal ini ditengarai dari pembiaran orang tua terhadap asupan makanan Arya yang serba instan. Makanan instan. Cemilan instan. Minuman instan. Hasilnya gendut instan. Terus siapa yang memberikan izin adanya makanan dan minuman yang serba instan tersebut? Nah loh!

Tidak hanya bingkisan lemak, putus sekolah, kecanduan game,  pornografi, pornoaksi, kekerasan seksual, narkoba, minuman keras, pergaulan bebas, aborsi, bahkan HIV/AIDS terus meningkat menghiasi sederet episode  anak. Semakin hari persoalan anak semakin bertambah dan beragam. Bahkan terkadang sampai tidak tercerna oleh akal. Berbagai upaya pemerintah untuk membendung polemik anak belum terlihat membuahkan hasil yang signifikan. Nyatanya, semakin bertambah kejahatan pada anak, baik anak sebagai pelaku atau sebagai korban. Tentu, hal ini merupakan pemandangan nanar. Hari anakpun menjadi ‘memar’.

Harus kita sadari bersama bahwa persoalan anak tidak cukup dilihat dan ditangani dari permukaan saja. Tidak bisa hanya sekedar melihat masalahnya lantas membuatkan solusinya. Jika demikian, maka yakinlah bahwa masalah anak tidak akan pernah terselesaikan. Semestinya, sebuah masalah bisa dicarikan solusi ketika akar masalahnya telah terdiagnosa. Jika akar masalah telah jelas, maka solusi yang munculpun pasti totalitas. Masalah dijamin bablas.

Kasus obesitasnya Arya, pornografi, pornoaksi, pergaulan bebas dan sederet ‘kenakalan’ yang dilakoni mayoritas anak saat ini adalah penampakan masalah. Itu semua bersumber dari penerapan sistem kehidupan yang serba kapitalistik sekuleristik. Yakni sebuah sistem kehidupan yang menjadikan materi sebagai alat ukur perbuatan dengan memisahkan agama dari kehidupan. Maka, jangan coba-coba bawa halal-haram kecuali dalam ritual keagamaan. Inilah akar masalahnya. Jadilah tidak ada batasan perbuatan. Kebebasan menjadi eksis sebagai simbol kemerdekaan. Bebas berpendapat. Bebas berekspresi. Bebas memiliki. Bebas beragama. Apapun dan bagaimanapun! Bahaya, kan?

Gaya hidup liberal ini  tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali generasi yang lemah. Baik lemah akal ataupun fisiknya. Tentu kita tidak ingin, sepuluh tahun yang akan datang bangsa ini kehilangan generasi produktif. Bukan karena generasinya gugur di medan perang. Tapi karena semua generasi telah teler dengan asupan makanan dan minuman minus gizi yang beredar di pasaran. Generasinya lemah akal karena miras, narkoba, pornografi dan pornoaksi. Lebih pilu, generasi bangsa lelah dan lemah fisiknya karena harus mengejar ‘pokemon’ yang menyita waktu. Naudzubillah!

Maka dibutuhkan sinergi antara pemerintah dan masyarakat untuk mengawal tumbuh kembang anak bangsa. Hal ini dapat terwujud jika seluruh elemen bahu membahu untuk menghapuskan paham kapitalis sekulerisme yang melahirkan gaya hidup liberal di bangsa ini. Selanjutnya, semua pihak berkewajiban untuk bersungguh-sungguh mewujudkan sebuah sistem kehidupan yang mampu menyelesaikan berbagai problem kehidupan, tidak terkecuali problematika anak. Sistem tersebut adalah sistem Islam. Sebuah sistem yang telah teruji mampu melahirkan generasi cemerlang, dambaan, dan penoreh peradaban gemilang. Hal ini terlihat dari sosok ilmuan dan pahlawan Islam. tidak hanya ahli di bidang sains dan taktik perang, tapi juga  ahli di bidang agama. Sehingga menjadikan mereka, generasi yang hidup dalam sistem Islam, sebagai generasi yang benar-benar berkontribusi dalam menebar kemaslahatan. Tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi umat bahkan dunia. Sebut saja diantara mereka adalah Ibnu Shina sang ahli kedokteran dan Muhammad Al Fatih sang pembebas Konstatinopel. Inilah gambaran kesuksesan dalam menjamin kehidupan anak yang sebenarnya. Menghantarkan mereka menjadi generasi pencetak peradaban gemilang dengan ketundukan dan ketaatan hanya pada Rabbnya semata, bukan yang lainnya.

Dengan demikian, hari anak tidak akan hanya menjadi seremonial tahunan jika Islam yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.  Maka, mari kita bersama mewujudkannya. Agar masa depan generasi tak hanya sekedar euforia khalayak di hari anak. Wallahualam. ***