KETIKA tumpukan sampah sempat menggunung selama lebih kurang satu bulan  di berbagai tempat di kota Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau, public langsung menyimpulkan bahwa Walikota Dr. Firdaus MT tidak sungguh-sungguh menanganinya. Kasus yang bermula dari mis-manajemen pihak PT Multi Inti Guna (MIG) yang tidak membayar gaji para petugas kebersihan yang dipekerjakannya berujung terjadinya aksi unjuk rasa para petugas di beberapa tempat strategis termasuk Kantor Walikota Pekanbaru. Selanjutnya, sampah-sampah yang biasa dikumpulkan di tempat pengumpulan sementara di tepi-tepi jalan kota dibiarkan menumpuk. Celakanya, tumpukan sampah yang menyebar bau busuk luar biasa itu terjadi di kawasan strategis jalan protokol seperti jalan Sudirman, Ahmad Yani, Tuanku Tambusai, Imam Munandar, Arifin Ahmad dan masih banyak lagi merata di seluruh kota.

Perbincangan masyarakat dari semua kalangan di ruang-ruang publik terbuka dan tertutup riuh rendah membahas polemik tumpukan sampah menggunung yang telah mengganggu kenyamanan dan ketertiban warga. Bahkan, sejumlah ruas jalan penting bagi lalu lintas warga seperti jalan Rajawali dan jalan-jalan kecil dan sedang lainnya terpaksa ditutup karena tumpukan sampah yang semula hanya di tepi jalan benar-benar menutupi semua permukaan jalan.

Situasi ini semakin diperburuk oleh publikasi pemberitaan oleh media cetak, media elektronik dan media online terkait situasi dan perkembangan sampah yang tak terurus dan menambah penderitaan warga. Analisis pun dilakukan dari seluruh sudut pandang mulai aspek kesehatan, politik, budaya, agama hingga hal-hal teknis berkaitan sosial ekonomi dan semacamnya.

Sejumlah kolega saya di luar Riau begitu membaca atau menonton layar kaca yang memberitakan tragedi sampah di kota Pekanbaru menyatakan keprihatinannya yang cenderung mempertanyakan kelambanan sikap Walikota Pekanbaru. Secara tanpa rekayasa, dalam sekejap citra kota Pekanbaru sebagai ‘Kota Sampah’ memenuhi rongga pikiran banyak orang yang sudah dicecoki oleh pemberitaan media.

Dalam ilmu komunikasi, ketika sebuah peristiwa yang berkaitan kepentingan public terjadi, perbincangan yang muncul di ranah publik itu bisa berubah menjadi sebuah ‘malapetaka baru’ yang bersifat non-teknis. Dimulai dari persepsi yang muncul kemudian menjalar ke citra sehingga apabila tidak ditangani secara bijak maka orang yang bertanggungjawab dalam hal penanganan sampah itu akan divonis dengan citra buruk. Kesan banyak orang melihat kelambanan Walikota Pekanbaru, Dr. Firdaus MT dalam menangani kasus sampah itu seolah-olah sang walikota sedang bergumul dengan citra ‘busuk’ yang buruk itu.

Isu dalam ranah komunikasi laksana lentingan percik apa yang kecil. Apabila cepat ditangani atau dipadamkan maka isu itu pasti tenggelam atau lenyap seketika. Tapi apabila lentingan api kecil ini cenderung dibiarkan atau diabaikan, api ini akan melumat rumput jerami dan daun-daun kering yang bisa meluluh-lantakkan ribuan hectare kawasan pemukiman dan hutan. Apabila situasinya sudah membesar begitu, pastilah isu tadi sulit dikendalikan apalagi dipadamkan. Dalam kasus sampah ini, sesungguhnya Walikota Firdaus sedang bermain api dengan citra ‘busuk eh, buruk (bad image) tersebut.

Persoalan citra buruk ini menjadi mengemuka disaat Walikota Firdaus MT selaku pejabat petahana walikota bakal maju dalam pertarungan Pilwako Pekanbaru tahun 2017 mendatang. Apa pun yang dilakukan Firdaus dengan segala kebijakan dan sepak-terjangnya selalu menjadi pusat perhatian dan intipan para pesaingnya yang berupaya menemukan titik-titik lemah Firdaus. Semestinya, tim sukses dan pejabat humas walikota benar-benar mengkritisi momentum ini agar situasi tak terkendali bakal meruntuhkan tingkat elektabilitas Firdaus.

Kamus Webster’s Ninth Collegiate memberikan definisi citra adalah sebuah gambaran yang terlihat dan bisa dilihat, inkarnasi (penjelmaan). Sebuah bentuk ilustrasi. Dan sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Citra adalah gambaran yang bersifat umum diperhitungkan melalui media massa. Hal ini mengasumsikan pandangan yang lebih pasif terhadap peranan penerima pesan (receivers).

Bernstein menjelaskan bahwa image adalah realitas. Oleh karena itu, program pengembangan dan perbaikan citra harus didasarkan pada realitas. Jika salah (citra tidak sesuai dengan realitas) dan kinerja tidak baik, itu adalah kesalahan kita dalam berkomunikasi. Jika citra itu benar dan merefleksikan kinerja kita yang buruk, itu berarti kesalahan kita dalam mengelola organisasi.

Upaya memperbaiki citra buruk dalam kasus sampah oleh Walikota Pekanbaru tak lain harus lebih dahulu memperbaiki realitas atau fakta yang ada. Perintah Firdaus kepada jajaran Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) agar bisa membersihkan semua tumpukan sampah dalam waktu dua hari sudah tepat. Namun disayangkan, perintah walikota itu sudah sangat terlambat. Citra ‘buruk’ itu secara tba-tiba terbentuk di ranah publik. Tentu saja publik masih tetap menunggu bagaimana kelanjutan penanganan sampah setelah Pemko Pekanbaru memutus kontrak kerja PT MIG.

Situasi yang tidak menguntungkan bagi pihak walikota pun terjadi ketika persoalan pokok menggunungnya sampah yang mencoreng keindahan wajah kota justru beralih ke persoalan-persoalan ikutan. Sebutlah, sebagaimana mencuat dalam pemberitaan media, Walikota Firdaus justru menunjukkan ‘perang mulut’ dengan Kepala DKP terkait siapa yang mestinya bertanggungjawab.

Kepala DKP yang kemudian diganti oleh Walikota Pekanbaru ketika puncak kasus sampah terjadi cenderung menyerahkan persoalan kontrak Pemko dengan PT MIG pada sang walikota. Sementara Firdaus MT sendiri tampak geram dan kemudian menyudutkan Kepala DKP. Hal ini tercermin dari pernyataan Firdaus sebagaimana dimuat dalam berita LKBN Antara sebagai berikut:

"Yang punya kontrak itu kepala dinas, termasuk yang dapat memutuskan, Walikota tidak bisa," kata Firdaus tegas. Ia juga mengingatkan jika memang DKP sudah memutuskan selanjutnya kebersihan kota dipikul oleh DKP. Sementara Walikota hanya penanggungjawab utama, dan pelayan, termasuk pemangku kebijakan. Tetapi secara teknis hubungan kerja itu kepala SKPD.”

Persoalan lain yang secara komunikasi kurang menguntung ketika Firdaus justru sibuk melaporkan para pendemo dari aktivis HMI ke Polresta Pekanbaru yang sempat menimbun tumpukan sampah di depan jalan pintu masuk rumah dinasnya. Publik cenderung menilai sikap membela diri seakan-akan hanya pengalihan isu belaka.

Padahal, apabila Walikota Pekanbaru ingin cepat membenamkan isu panas kasus sampah di saat-saat menjelang Pilwako Pekanbaru tahun 2017, semestinya tumpukan sampah yang mengotori wajah kota mesti cepat dibereskan. Apalagi, kota Pekanbaru ternyata sudah tujuh kali meraih Piala Adipura yang dominan diraih pada kepemimpinan walikota, Herman Abdullah, pejabat senior yang ikut membesarkan Firdaus namun kini seakan-akan tak sehaluan lagi dengan Firdaus. ***

Fakhrunnas MA Jabbar adalah Pakar Komunikasi Politik dan Dosen Universitas Islam Riau (UIR)