IDUL FITRI merupakan puncak atau klimaks dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Idul Fitri sendiri sejatinya  memiliki keterkaitan-korelasi makna dengan tujuan akhir yang ingin diraih dari pelaksanaan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan. Idul Fitri secara etimologi, kerap diartikan sebagai hari raya kesucian atau kerap pula diartikan sebagai hari kemenangan: Karena orang yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan selain mampu menahan diri selama sebulan penuh, juga mampu melaksanakan semaksimal mungkin ritual-ritual yang ada di dalamnya, sebagai bagian tak terpisahkan. Kemenangan dalam konteks ini  adalah merupakan implementasi dari bentuk kemenangan dalam menggapai kesucian atau perwujudan diri kembali kepada keadaan  fitrah (Fitri). 

Kata Idul Fitri juga merupakan penggabungan dari kata "Ied" yang berarti hari raya dan "Fitri" yang berarti berbuka puasa. Dus Idul Fitri bisa pula diartikan sebagai hari berbuka secara massal oleh kaum muslimin pasca sebulan lamanya menjalankan pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan terlebih lagi menjelang berbuka puasa di waktu maghrib yang di rasakan penuh dengan kebahagiaan selama sebulan penuh  seakan dimanifestasikan dan terimplementasikan pada tanggal 1 Syawal di Hari Raya Idul Fitri. Tak pelak, Idul Fitri merupakan bentuk dari pengekspresian sebagai ”Iduna Ahlil Islam” (hari raya penganut Islam) sebagaimana sabda Rasulullah "yaumu aklin wa syurbin wa bahjatin", hari makan minum dan bersuka cita, sehingga diharamkan bagi umat muslim untuk berpuasa. 

Dari paparan singkat diatas, kata Idul Fitri atau kembali kepada fitrah dengan demikian merupakan pengertian yang sangat relevan dan berhubungan-korelasi dengan makna yang sebenarnya dari keberhasilan yang diraih setelah berakhirnya pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Bahkan idul Fitri juga kerap di analogikan dengan lebaran sebagai jalan menuju kepada keadaan fitrah manusia, laksana seorang bayi yang baru dilahirkan : Bersih tanpa noda dan dosa.

Bahkan Idul Fitri atau lebaran oleh sebagian umat muslim, khususnya di Indonesia kerap di identikkan dengan tradisi mudik, halal bihalal, pakaian baru, hidangan kue lebaran dan kesuka-citaan. Karenanya pula Idul Fitri dinamakan juga hari bersuka cita,  karena pada hari besar itu semua harus terbebas dari kesedihan dan  kesusahan. Makna sebenarnya dari hal tersebut adalah diwajibkan bagi umat muslim yang mampu untuk membayar zakat yang berupa zakat fitrah kepada fakir miskin sebagai bentuk dan implementasi dari kepedulian sosial dengan maksud berbagi kebahagiaan dari mereka yang tidak berpunya agar sama-sama bisa merasakan suka cita pada hari tersebut: Kegembiraan hari raya idul fitri bukan monopoli dan dominasi orang yang berkecukupan semata. Sebab, kewajiban zakat dan anjuran memperbanyak sedekah selain bersifat transendental, sejatinya juga memberi pesan kepada kita agar tidak semua hal dapat diukur dengan kebendaan atau materi.  

Di akui atau tidak, perkembangan peradaban manusia modern kontemporer telah berada pada suatu titik yang nyaris semua hal diukur dengan materi.  Bahkan terdapat kecenderungan yang begitu kental, bahwa orang semakin mengukur legitimasi aktivitas tindakannya berdasarkan harga. Terlebih lagi dalam arus deras globalisasi dewasa ini hampir semua urusan menjadikan uang dan kebendaan sebagai parameter meski diakui uang bukan segala-galanya, tapi segalanya di anggap memerlukan uang. Maka tak berlebihan kalau dalam konstelasi perekonomian dan perpolitikan kontemporer khususnya di Indonesia dikenal dengan istilah bahkan telah menjadi prinsip hidup para elite : “Tak ada makan siang yang gratis”!. Konsekuensi logis dari prinsip ini adalah seseorang baru mau mengerahkan tenaga, keterampilan, keahlian dan pikirannya untuk orang lain jika ada ganti atau kompensasi materi yang sebanding dengan kerja yang di berikan.

  Akhirnya siapa yang memiliki kekayaan akan materi dapat dengan mudah dan serta merta memanjakan dan memuaskan pelbagai keinginannya seraya mempunyai  banyak alternatife pilihan  gaya hidup yang tersedia dan dengan mudah dapat dipilih sesuai selera. Sementara pada bagian lainnya lagi begitu banyaknya hal yang diukur dengan parameter materi, maka semakin mengesampingkan, mengabaikan bahkan menghimpit orang miskin dari kehidupan dan di sinilah kesenjangan sosial atau kemungkaran sosial meminjam Muslim Abdurrahman, semakin menganga dan terbuka lebar. Pertanyaannya adalah, apakah sudah sedemikian rusak tatanan korelasi-interaksi sosial ditengah-tengah masyarakat kita, hingga semua hal dinilai dan diukur dengan parameter materi? Tidak adakah aneka amal perbuatan yang hanya berlandaskan pada prinsip ketulusan dan keikhlasan : Menolong dan membantu tanpa pamrih?

Dalam konteks inilah urgensitas dan krusialitas pembayaran zakat fitrah maupun sedekah dengan ikhlas sebagai penutup dari rangkaian pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan semakin penting, tidak saja mengandung makna secara vertikal : Amal ibadah puasa seseorang di gantungkan diantara langit dan bumi sebelum yang bersangkutan mengeluarkan zakat firah. Juga bagi mereka  yang membayar zakat serta memberi sedekah motifasinya adalah murni karena ibadah, niscaya akan mendekatkan diri kepada Allah selain mendapat ridho-Nya : Tak menuntut agar penerima zakat dan sedekah itu memberikan jasa balik entah berupa tenaga, ketrampilan maupun nilai manfaat lainnya. Tetapi juga mengandung makna secara horizontal yang acap kali diabaikan orang adalah memupuk solidaritas sosial yang tidak hanya sebagai ritual simbolik dengan ketulusan dan keikhlasan bermanfaat temporer-sesaat meringankan beban orang-orang miskin pada hari Idul Fitri dan lebih dari pada itu adalah menjadi simbolisasi perekat sosial yang merupakan bagian terpenting laksana jalinan ikatan mata rantai,  tak terpisahkan dari humanisasi ibadah. Semoga! 

Minal a’idin wal fa’idzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.***

Agusyanto Bakar, SSos MSi adalah Kabag Perekonomian Pemkab Meranti