BULAN Ramadan dimana diwajibkan atas umat Islam berpuasa sebulan penuh di dalamnya akan berakhir tatkala hilal bulan Syawal sudah terlihat pada petang terakhir Ramadan. Ketika itu umat Islam telah mengakhiri ibadah puasanya dan merayakan Idul Fitri. Sebagai ungkapan kemenangan dan rasa syukur yang mendalam kepada Allah swt atas nikmat yang diberikan berupa kondisi kefitrahan (kesucian) diri kembali melalui mujahadah (perjuangan lahir dan batin) dan pelaksanaan amal ibadah selama bulan suci Ramadan yan baru berlalu, setiap umat Islam disunahkan untuk mengumandangkan takbir (ungkapan pengagungan) dan tahmid (ungkapan pujian) yang diperuntukkan kepada Allah swt. ''Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu semoga kamu bersyukur (kepada-Nya).'' (QS. al-Baqoroh : 185) Takbir sebenarnya merupakan ungkapan lazim dan sangat akrab di kalangan umat Islam; tidak hanya pada saat hari raya saja, tapi pada beberapa momen lainnya dalam Islam, takbir juga sering dikumandangkan seperti saat masuk waktu sholat, saat sholat akan didirikan, saat memulai sholat, saat bayi lahir, saat menyembelih hewan, saat di medan laga perjuangan dan lain-lain. Ungkapan takbir pada intinya merupakan manifestasi pengagungan asma Allah swt.

Karena inti takbir itu pengagungan asma Allah swt, maka seyogyanya takbir diungkapkan dengan penuh khidmat dan penghayatan yang mendalam tidak hanya sebatas ungkapan di bibir saja apalagi kalau sampai dibumbui dengan unsur-unsur senda gurau dan permainan. Itulah sebabnya para ulama lebih menganjurkan agar kaum muslimin bertakbir hari raya di rumah-rumah ibadah (masjid/Musholla) dan pada saat keluar dari rumah menuju tempat sholat ‘id pada keesokan harinya. Cara bertakbir seperti ini lebih menciptakan suasana khidmat dan penghayatan secara personal. (Wahbah Zuhaili, 2009: 510)

Idul fitri secara etimologis berarti ''kembali kepada kesucian (diri)''. kembali kepada kesucian (diri) ini secara implisit terkandung makna di dalamnya bahwa setiap manusia dahulunya pernah mengalami kondisi kesucian itu, yaitu pada saat ia terlahir ke atas dunia ini. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad s.a.w. Yang menyatakan, ''Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang menyebabkan ia beragama Yahudi, atau Nasrani atau Majusi (H.R. Bukhari).

Akan tetapi karena perjalanan kehidupan anak manusia yang demikian panjang dan penuh dengan lika-liku, godaan dan bisikan yang mendorongnya untuk berbuat dosa dan maksiat, maka kesucian diri manusia itu menjadi ternodai dan kotor. Melalui puasa, ibadah yang mengandung pesan-pesan pensucian diri (tazkiyat al-nafsi), maka orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dengan baik dan benar, ia akan meraih fitrah itu kembali sebagaimana keadaannya semula. Pesan inilah yang bisa ditangkap dari sabda Rasulullah s.a.w, ''Siapa yang berpuasa ramadan penuh dengan keimanan dan ihtisab, maka diampunkan dosa-dosa yang telah lalu (H.R. Bukhari).

Setelah kondisi kesucian yang diperoleh melalui pendidikan selama Ramadan, tugas penting selanjutnya adalah mempertahankan atau memelihara kondisi fitrah itu agar tetap abadi (permanen) dalam diri pribadi seseorang sepanjang masa. Inilah sebenarnya perjuangan yang paling berat setelah Ramadan berakhir. Jangan sampai Ramadan yang baru saja dilalui nanti tidak berbekas sama sekali pada diri seseorang, jangan sampai setelah Ramadan berakhir, nafsu seseorang kembali liar tak terkendali sehingga ia terjebak untuk kesekian kalinya dalam perbuatan dosa dan maksiat.

Idul fitri ini mengingatkan seseorang kembali akan pentingnya ajaran agama dalam kehidupan manusia karena fitrah yang melekat pada diri manusia itu sejalan dengan fitrah agama yang hanif. Karena itu, perayaan idul fitri seharusnya mendorong seseorang untuk konsisten dalam berpegang teguh pada ajaran agama. Wallah A'lam. ***

Amrizal adalah Ketua MUI Bengkalis dan Dosen STAIN Bengkalis