GAGASAN agar Daerah Riau melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah suatu gagasan selain tidak terkonsepsional dengan matang tapi juga bersifat sangat sentrisme kedaerahan yang kaku. Kepada penggagas saya ingin mencoba memberikan sedikit ilusi, mungkin dapat dijadikan referensi berpikir jangan terlalu emosional. Poin-poin berikut ini mungkin dapat meredam imanjinasi untuk berpikir yang lebih positif. Walaupun saya menyadari saya bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa, tapi setidaknya saya menang didalam pengalaman sebagai orang yang lebih tua.

Tulisan ini sekadar pertanyaan/pernyataan ringan kepada komunitas penggagas Riau Merdeka itu, sebagai berikut:

1). Apa anda tahu tetesan darah yang mengalir dari nenek moyang para pejuang Riau, merebut dan mempertahankan kemerdekaan dahulu untuk ''Kemerdekaan Riau'' atau NKRI. Mereka berjuang untuk kemerdekaan NKRI. Kalau sekarang para turunannya ingin melepaskan diri dari NKRI, apakah mereka merasa tidak berdosa / berkhianat pada perjuangan nenek moyangnya.

2). Seharusnya para penggagas merasa bangga rakyat / masyarakat Riau masih hidup dengan berkecukupan. Lihat saja, para pemimpin Riau dan sebagian besar rakyatnya berkehidupan relatif makmur, tidak melarat seperti versi penggagas. Coba anda menjenguk pada daerah-daerah lain, diluar Riau. Mereka hidup dalam kemalaratan yang dominan.

3. Bila dikatakan kekayaan Riau, telah berhamburan keluar, hingga masyarakat / rakyat Riau ''melarat'', apakah dapat dipersalahkan kepada NKRI. Otonomi daerah penuh yang diberikan oleh pemerintah malah telah menimbulkan raja-raja kecil di daerah. Mereka menganggap merekalah penguasa, merekalah power, merekalah satu-satunya penguasa tanpa salah.
Mereka merekrut famili-famili, koloni-koloni, isteri, anak dan memantu, lalu apa yang terjadi? Mereka meraup, menumpuk kakayaan. Apakah itu kesalahan pemerintahan NKRI. Mari kita berpikiran realistis. Masih ingatkah kita, belum terlalu lama, negeri Melayu yang kita banggakan ini telah menjadi hitam kelabu oleh pemimpin-pemimpin kita yang berlagak bermarwah dan santun, tapi tidak lebih dari seorang penyamun.

Saya masih ingat suatu teori / ajaran yang dilemparkan oleh Sir Thomas More, dalam buku yang berjudul Utopia. Memang sudah terlalu uzur teori itu, tapi kita harus sadar, teori-teori yang didengungkan oleh pemikiran abad-abda yang lalu masih segar di otak manusia kini. Ajaran negara demokrasi lahir pada abad XV itu, masih bersinar di alam abad XXI. Buku Utopia menggambarkan keadaan masyarakat pulau Samudera Atlantik. Kata Utopi asalkata dari ''OU'' (tiada) dan "TOTOS" (tempat)- jadi sejatinya adalah ''tiada tempat'', menggambarkan dari masyarakat yang tidak ada. Kemudian artinya ''suatu masyarakat'' yang tidak ada, tidak lain bermaksud sebagai gambaran umum yang dipergunakan untuk mengdestrepsikan suatu masyarakat yang tidak ada untuk menggambarkan suatu masyarakat yang lebih baik dari pada masyaralat yang temporer. Kalau ini yang dimaksudkan pengagas Riau lepas dari NKRI, maka gagasan itu tidak lebih dari suatu perbuaan ''sebagai menggantang asap''.

Inilah mungkin Negara Utopis yang dimaksukan oleh Sir Thomas More didalam bukunya itu, yaitu: Orang yang Mempunyai Rencana Impian-impian akan Sesuatu yang Ideal, Pembaharuan-pembaharuan yang tidak mungkin tercapai, berwujud cita-cota atau khayalan semata, tak mungkin akan terlaksana.

Semoga tulisan ini ada gunanya. Sebuah rumah yang telah dibangun dengan kukuh, kemudian penghuni yang ada didalamnya tidak dapat menjaganya dengan baik dan membasmi, memusnahkan elemen-elemen yang merusak, koloni rayap-rayap atau anai-anai, tikus-tikus yang telah mengerat tonggak kayu yang kokoh, sehingga menjadi bolong.
Apakah kita harus menyalahkan anemer yang mendesain, membangun dan mendirikan rumah dan bangunan itu. Berpikiran rasional mungkin dapat menyerap skeptisme yang berlebihan. ***

Iman Parwis Syafiie adalah Pensiunan PNS asal Riau (Bengkalis), kini berdomisili Jakarta.