DINAMIKA politik yang terjadi dalam menghadapi Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI bergerak dengan cepat, bahkan bisa berubah sekonyong-konyong dari skenario yang telah dirancang. Awalnya Ahok yang didukung untuk jalur independen (perseorangan) harus bersaing dengan calon-calon dari beberapa partai politik yang ada. Maka terjadilah persaingan antara partai-partai politik dengan independen. Jika Ahok awalnya bersikukuh ingin maju melalui jalur independen, sebaliknya partai politik ramai-ramai bersatu melawan gubernur incumbent tersebut. Sikap partai-partai politik ternyata bisa berubah di tengah jalan. Partai-partai politik yang menjadi penentang Ahok yaitu PDIP (28 kursi), Gerindra (15 kursi), PKS (11 kursi), PPP (10 kursi), Demokrat (10 kursi), Golkar (9 kursi), PKB (6 kursi) dan PAN (2 kursi). Sedangkan Hanura (10 kursi) dan Nasdem (5 kursi) mendukung Ahok.

Dengan demikian bisa diketahui peta kekuatan sementara berdasarkan perolehan kursi di DPRD DKI. Akan tetapi yang namanya partai politik sikapnya bisa saja berubah, tergantung dari kepentingan. Misalnya Golkar yang cuma mempunyai 9 kursi tiba-tiba mendukung Ahok. Sementara PDIP yang menjadi partai mayoritas sikapnya masih ''wait and see''. Hal ini berdasarkan perkembangan yang bergerak cepat. Sedangkan Ahok dengan dukungan independen (teman Ahok) berhasil mencapai 1 juta KTP menurut situs temanahok.com. Target melalui jalur independen minimal 1 juta KTP.

Yang menjadi permasalahan menarik saat ini, koalisi vertigo merupakan kekuatan tersendiri yang mencoba ikut pemilihan Gubernur DKI. Istilah tersebut muncul karena pengertian vertigo adalah gerakan kepala pusing yang terasa berputar-putar. Vertigo sendiri berasal dari perkataan vertere (bahasa Yunani). Koalisi partai-partai tersebut ternyata tidak kompak, Gerindra adalah partai yang sejak awal menentang Ahok. Akan tetapi, Golkar ada kecenderungan mendukung Ahok. Begitu juga partai-partai lain yang tadinya ikut nimbrung melawan Ahok, bukannya mustahil berubah arah ditengah jalan. Sementara dua partai lainnya yaitu Nasdem dan Hanura, dengan tegas mendukung Gubernur Petahana tersebut. Pendukung Ahok sejak awal merupakan kelompok independen, yang tidak bergabung dengan partai manapun. Dari gambaran itu kelompok Ahok yang terdiri dari kalangan independen (Teman Ahok) bisa disebut Ahok Cum suis. Cum suis sendiri berasal dari bahasa Latin, yang artinya ''dengan kawan-kawan''.

Dari kalkulasi politik yang ada, ternyata koalisi vertigo sesuai dengan namanya merupakan kelompok yang berputar-putar arah. Artinya mereka tergantung kemana arah angin bertiup, sehingga mereka merupakan koalisi yang tidak konsekuwen. Masyarakat menanti kejelasan koalisi vertigo untuk menentukan arah kelompok yang ditujukannya. Sementara Ahok Cum suis atau kelompok independen, harus membuktikan dalam pemilihan Gubernur DKI merupakan kekuatan solid. Hal ini dapat dilakukan melalui cara-cara yang positif. Sehingga jangan sampai tercium gambaran adanya oknum-oknum pendukung Ahok yang menyalahi prosedur yang berlaku. Ibarat sebuah pertunjukan, kedua kelompok yang bersaing tersebut harus mampu bermain dengan cara-cara sportif. Masyarakat menjadi saksi apakah pemilihan Gubernur DKI tahun 2017 nanti berlangsung dengan baik atau sebaliknya.

Semuanya tergantung kepada aturan yang harus dipatuhi. Biarlah masyarakat yang memilih calon sesuai dengan hati nurani mereka, apakah kelompok koalisi vertigo atau pun Ahok Cum suis. ***

H Mulyadi adalah wartawan nasional, tinggal di Pekanbaru