DALAM sebuah perhelatan keluarga, aku bertemu dengan kaum kerabatku yang berdomisili di negeri jiran, karena sudah begitu lama tidak bersua kamI mengobrol dari soal keluarga, tentang kesehatan dan eknomi dan akhirnya berujung pada politik pemerintahan dan hukum.  Ia bertanya padaku ''pak Cik mengape bangse kite Melayu sekarang ni banyak sekali orang-orang yang kemaruk dengan duit banyak yang melakukan "koropsion", apekah salary mereke tu kecik-kecik betul?".

Aku terkesima dengan pertanyaannya. Sekilas bila aku berkata jujur, maka aku pasti akan membuka aib negeriku sendiri. Tapi apa aku harus berdusta dengan menipu diriku bahwa realitas kehidupan anak-anak negeriku sekarang ini memang demikanlah halnya, sehingga familiku yang jauh bermukim diseberang lautan dan telah pula menjadi anak bangsa jiran, telah turut "balasungkawa" dengan negeri asalnya.

"Nanda, masih banyak puak negeri kite Melayu ni yang masih santun menjalani titipan adat istiadat Melayu yang sopan, masih tetap menjage marwah warisan nenek moyang kite dahulu yang berpesan: "janganlah berlebihan mencari rezeki, janganlah kemaruk dengan harta". Bak kate orang tue-tue kite, sepohon mangge yang manis pasti ade yang busuk dan berulat. Aku masih mencoba meninggikan mertabat anak negeriku.

Mereka yang berbuat tidak senonoh dan korupsi itu, karena akal dan kalbunya telah tertutup dengan ilusi kekayaan dunia melimpah walaupun setiap waktu mereka bertawaduk pada sang Pencipta, tapi nurani mereka sudah tertutup nafsu keserakahan.

Tragisnya lagi, orang-orang yang diatas sana yang mempunyai kewenangan untuk berbuat, tidak peka melihat kehidupan politik,ekonomi, sosial masyarakat. Mereka berbuat hanya menurut kehendaknya sendiri. Hukum tidak lebih sebagai alat untuk mengukuhkan eksistensi kekuasaannya. Mereka para pemimpin berbuat dibawah payung partai yang mengusungnya. Mereka tidak lebih dari sebuah "bidak" permainan catur. Demi kekuasaan.

Dalam suatu tulisan, aku pernah berkata jika seorang Cabup/Cagub sudah terindikasi dengan perbuatan korupsi, sebaiknya mereka tidak usah dilantik, karena indikasi hukum itu biasanya jarang meleset (terutama KPK). Akibatnya sangat besar efeknye baik dari aspek hukum maupun politik dan ekonomi. Seorang Cabup/cagub yang terindikasi korupsi bila dilantik, dan pada satu saat kesalahannya terbukti, ia menjadi Napi, lalu apa perbuatan/putusan dapat dipandang sebagai suatu yang "legal", karena suatu perbuatan yang dilakukan seseorang tidak hanya terbatas pada saat diputusnya perkara, tapi rentetan perbuatan/kejadian sebelumnya merupakan suatu kesatuan yang tidak teputus/terpisah, yakni meliputi sejak awal ia melakukan kejahatan, semua rentetan kejadian merupakan kasus yang tetap terjalin dalam kasus. Maka seorang Bupati/Gubernur yang dilantik sedang ia terindikasi korupsi, apakah kita tidak menyadari putusan-putusan/tindakannya itu sama sekali tidak mengandung kekuatan hukum. Nah, realitanya akhirnya rakyat dipimpin oleh seorang pemimpin koruptor. Notabena semua putusan/penetapan yang dibuatnya adalah "nietig"(batal, tidak sah) atau nietig eo ipso (batal dengan sendirinya).

KPU sebagai lembaga otonom yang mempunyai hak/wewenang hanya "textbook thingking", tidak dapat mencerna hakekat dari Sbh UU. Jika seorang yang sudah terindikasi korupsi seharusnya dicoret dari daftar calon. Saya dapat mengerti baik Mendagri ataupun KPU selalu bersandar pada asas "presumbtion of innocent". Tapi tidak mendalami asas "praduga tidak bersalah " itu dalam arti yang supstansiel. Sehingga terjadilah kegamangan dikedua lembaga itu, yang sangat berpengaruh jalannya roda pemerintahan.

Pengalaman, dan bukti menujukan bahwa setiap kasus korupsi yang sudah ditangani KPK apalagi sudah dijadikan tersangka, jarang sekali/tidak pernah lepas dari jeratan hukum di PN. Mengapa Pemerintah / KPU tidak percaya dengan indikasi yang sudah dilontarkan olh KPK. Lembaga KPK tidak mengenal apa yang disebut dengan SP2, artinya jika seorang sudah jadi tersangka maka terhadapnya tidak pernah ada penetapan dihentikan penuntutannya. KPK baru berani mengajukan kasus itu ke pengadilan, jika telah mempunyai bukti permulaan yang sempurna. Yaitu dua alat bukti yang
sah menurut hukum. Pengadilan memutuskan suatu perkara jika telah memenuhi sedikitnya dua alat bukti. Kecuali bila didalam persidangan terbukti perbuatan seorang terdakwa dapat menghapuskan tuntutan/dakwaan karena overmacht, nootweer axses. Maka putusannya, terdakwa dilepaskan dari tuntuntan hukuman atau dibebaskan dari dakwaan. Adalah sangat tipis kasus korupsi seorang yang sudah dijadikan tersangka/terdakwa oleh KPK akan terdapat perbuatan yang menjumpai sifat menghapuskan hukuman. Mengapa karena KPK tidak mengenal adanya SP2 diatas tadi.

Lembaga eksekutif tidak diperkenankan memberi penafsiran suatu putusan/penetapan hukum dari badan Judukatif (Kejasaan. KPK dan Pengadilan). Bila seorang yang sudah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka hendaknya pencalonan/pelantikan Cabup / Cagub segera dianulir/dihentikan oleh Mengadri / KPU, tidak perlu diinterpretasi dengan bermacam alasan, seperti penetapan KPK itu belum mempunyai kekekutan hukum. Penetapan Itu adalah produksi hukum bukan politik. Satu dan lainnya untuk menghindari masalah hukum yang berlarut-larut yang menjadi handikap roda pemerintahan. Karena harus menujuk PLT untuk dilantik dengan mengundang pejabat-pejabat. Apakah semuanya itu tidak menghilangkan menimbulkan efek waktu/biaya yang terbuang percuma.

Lalu kapan lagi negeri ini melangkah lebih jauh meninggalkan keterbelakangannya, jika masalah-masalah demikan itu timbul disetiap Pilkada. Negeri tetangga tertawa melihat/mendengar negeri besar yang tidak mempunyai kemauan besar untuk berubah.

Kesimpulan/saran: marilah kita membenahi negeri ini terutama daerah Riau. Orang-orang yang pintar dan berdedikasi tinggi membangun negerinya masih banyak. Mereka yang beriktikad buruk dengan hanya berkiblat pada mengumpul kekayaan dan kekuasaan semata, janganlah dilirik lagi. Masih banyak orang jujur. Mereka cuma belum ada kesempatan, karena mereka tidak mau mengemis dengan terjun ke arena politik untuk diorbitkan jadi pemimpin. Mereka menyadari isi kepalanya belum mampu berbuat banyak. Inilah yang sebagian masyarakat / orang atau pemimpin, yang tidak sadarkan diri, selain emosionil dan ambisius tidak mampu mengendali diri untuk mencapai kedudukan. ***

Iman Parwis Syafiie adalah Pensiunan PNS asal Riau (Bengkalis), kini berdomisili Jakarta.