PEMBERITAAN berbagai media mengenai petinju legendaris Muhammad Ali, selama ini melukiskan sebagai pribadi yang aneh-aneh (nyeleneh). Kata-katanya kasar, suka memandang enteng lawan tandingnya di atas ring.

Begitulah karakter yanga ditampilkan di muka publik.Namun kesan itu berbeda jauh, ketika Wartawan Sinar Harapan dan kemudian Suara Pembarun, Agnes Samsoeri mewancarainya.

Peristiwa itu terjadi di Jakarta tahun 1983 ketika Muhammad Ali bertanding dengan petinju Rudy Lubbers, menampilkan suasana lain. Meski cuma Pertandingan non title, akan tetapi memuaskan penonton. Hasilnya draw. Padahal dari sisi teknik bertanding Muhammad Ali tampil di atas lawannya. Akan tetapi pukulan jab straight dengan kecepatan tinggi, tidak disaksikan penonton.

Bagi Rudy Lubbers yang dapat penilaian sendiri, hasil yang diraih tidak jelek. Akan tetapi yang menarik dalam wawancara yang berlangsug di Hotel Indonesia (ketika itu),kesan tenang Ali berbeda jauh dari pemberitaan di media.

“Dia santun dan sikapnya baik. Duduk di kursi berbeda, tidak kelihatan Ali menopang kaki. Gayanya normal,” kata Agnes.

Sang legendaris, menjawab berbagai pertanyaan selama satu jam, diselang selingi minuman juice dan makanan ringan. Ali terkesan dengan keindahan alam Indonesia dan penduduknya yang ramah.

Selama percakapan, nyaris tidak bicara soal “boxing” dengan lika likunya.

“Ternyata alam Indonesia indah. Penduduknya ramah,” begitu kalimat tersebut diulang-ulang. Meski tidak ada acara makan bersama, suasana kedekatan dan keramah tamahan(hospitality) bisa dinikmati. Mungkin jika di atas ring tinju, petinju yang dahulu bernama Casius Clay itu seperti over kompensasi guna menekan rasa tegang terhadap lawan tandingnya. Pariwisata merupakan industri yang kini mendunia.

Jadi dia bisa menampilkan ke publik seni bertinju, menghibur dan sekaligus berbisnis. Sebab bayaran yang diraihnya jumlahnya tidak kecil. Agnes Samsoeri pernah meliput perang Iran-Irak dan mewawancarai mantan Presiden Irak Saddam Husein. Pertemuan selama satu jam dengan Muhammad Ali menyenangkan. Pertemuan berakhir dengan mengesankan, karena dengan sopan ia disalami Ali. “thankyou for your coming,” ujarnya seraya tersenyum.

Muhammad Ali bagi wartawan merupakan sisi lain menarik dalam tugas jurnalistik. Apalagi jika hal itu terkait dengan penugasan. Agnes mewawancara Ali, atas “assignment” Redaktur Olahraga Suryanto Hadisaputro. Beberapa wartawati Indonesia seperti Rosianna Silalahi, sukses mewawancara Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush. Pertanyaan yang di ajukan cukup galak.Begitu pula wartawan MetroTV Andini Effeendi, “mengcover”perang saudara di Libya. Ketika itu sauasana tidak menentu, karena sulit membedakan kawan dan lawan. Sedangkan kekerasan mewarnai pertempuran di berbagai tempat. Prseiden Libya berada di bawah Kolonel Muammar Gaddafi yang represif. Tokoh pers Indonesia Rosihan Anwar megatakan, wartawan Indonesia agar mau ke luar kandang. ''Jangan mau terkenal di kampung halaman''.

Hari Jumat (10/6) waktu Amerika Serikat, legendaris tinju Muhammad Ali dikebumikan bersamaan dengan bulan ramadhan 1437H. Turut hadir mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton. Presiden Turki Erdogan dan sederet nam a tokoh populer lainnya. Mereka menghantar ke tempat peristirahatan terakhir Muhammad Ali, yang dikebumikan secara Islam. Kalangan alim ulama dan tokoh lintas agama, ikut melepas keberangkatan tokoh yang saat ini tidak mau dipanggil “the greatest”.” Saya cuma hamba allah, dibawah perintah sang maha kuasa dan pencipta,” kalimat terakhir Ali. ***

Mulyadi adalah wartawan senior tinggal di Pekanbaru.