SYARIAH, istilah yang sedang naik daun beberapa waktu belakangan ini. ketika sepuluh tahun yang lalu masyarakat begitu asing dengan istilah syariah, kini mendadak semua orang demam syariah. Seolah berlomba, segala macam bentuk usahapun mulai berembel-embel syariah. Perbankan syariah, penggadaian syariah, asuransi syariah, kredit syariah, property syariah, dan sebagainya.  Bahkan trend fashion masa kinipun turut bersuka cita menggunakan lebel syariah, sampai-sampai ada brand fashion tertentu yang berstempel halal dari Majelis Ulama Indonesia. Hal ini tentu layak untuk diapresiasi. Maknanya, masyarakat semakin  yakin bahwa syariah membawa banyak manfaat bagi kehidupan. 

Secara historis, tidak ada keraguan bahwa syariah Islam sejatinya pernah diterapkan dalam panggung kehidupan. 13 abad syariah yang mulia ini menebar semerbak keelokannya, hingga dirasakan oleh seluruh umat manusia. Tanpa memandang warna kulit, suku, ras, bahasa, ataupun agama. Sebagaimana yang dinyatakan oleh intelektual barat, Bernard Lewis dalam bukunya What went wrong?, “Islam merupakan kekuatan militer yang paling besar di dunia, dan ekonominya adalah kekuatan ekonomi terdepan di dunia. Islam telah mencapai tingkat tertinggi selama ini, dalam sejarah manusia. Dalam seni dan ilmu pengetahuan”. Masyaallah, begitulah keagungan sejarah Islam dalam penerapan syariahnya hingga intelektual barat sekalipun sulit untuk tidak mengungkapkannya. Maka tidak aneh jika masyarakat saat ini, khususnya umat islam, merasa senang dan nyaman dengan hal-hal yang bernuansa syariah.

Sayangnya, semangat untuk terus melangkah pada syariah belum sampai pada tataran kaffah atau menyeluruh. Padahal, kegemilangan sejarah islam  adalah buah dari penerapan syariah itu sendiri secara kaffah. Tidak hanya dari sisi sanksi saja, melainkan dari segala sisi. Sehingga terwujudlah kesatuan pemikiran, perasaan, dan peraturan Islam di antara masyarakat, kota  bahkan Negara. Jika sudah demikian, barulah masyarakat, kota, atau negara tersebut dapat disebut Islami. Inilah syariah Islam yang sesungguhnya. Menyeluruh dan tidak setengah-setengah.

Maka kita patut bertanya tentang hasil penelitian Maarif Institute mengenai Indeks Kota Islami (IKI) yang baru-baru ini menggegerkan jagad media. Melalui surveinya, Maarif Institut menempatkan Denpasar diperingkat tertinggi sebagai kota terislami, (Liputan6.com. 18/5). Hal ini tentu kontradiktif dengan realitas yang ada. Faktanya, Denpasar dikenal dengan kota yang intoleran terhadap Islam. Bahkan siswi muslimah dilarang mengenakan kerudung jika mereka hendak bersekolah di sekolah Negeri. Lantas dimana letak islaminya?

Ternyata, IKI ini hanya didasari oleh tiga indikator yang sangat sederhana. Sebuah kota dinilai islami oleh Maarif Institute hanya dengan indikator sejahtera, aman, dan bahagia.  Sungguh, ini adalah pandangan yang menyesatkan. Bagaimana mungkin istilah islami yang sakral dan agung disematkan hanya berdasar pada indikator tersebut. Apakah masyarakat yang merasa sejahtera dari bisnis narkoba, merasa aman dengan pergaulan bebas yang merajalela, merasa bahagia dengan banyaknya turis telanjang di sepanjang kota juga layak disebut islami? Sungguh sulit untuk dicerna!.

Survei ini seolah ingin berpesan kepada umat Islam, bahwa untuk menjadi islami tidak perlu menerapkan Islam. Selanjutnya, akan gencar slogan-slogan nyleneh  semisal “lebih baik tidak berkerudung, tapi bersih hatinya”, “Jangan mementingkan simbol, tapi lihatlah substansinya”, dan slogan-slogan ngawur lainnya. Ini terlihat dari pernyataan Ahmad Syafii Maarif, pendiri Maarif Institut yang menyatakan bahwa parameter IKI bukan pelaksanaan syariah, tapi tegaknya nilai-nilai moral islam di lingkungan masyarakat kota tersebut. Umat hendaknya tidak hanya tertarik pada simbol, tetapi harus melihat lebih dalam pada subtansinya, (REPUBLIKA.CO.ID, 21/5). Maka, sah-sah saja tidak bersimbol islam asalkan nilai-nilai yang ditegakkan bernuansa islam. Hal ini jelas bentuk kebiri terhadap istilah islami serta sejalan dengan semangat liberalisasi, harus diwaspadai!.

Syeikh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitabnya Peraturan Hidup dalam Islam menyatakan bahwa Islam adalah agama yang Allah S.w.t turunkan kepada nabi Muhammad S.a.w. untuk mengatur perbuatan manusia. Islam terdiri dari dua aspek yang tidak bisa terpisahkan, yakni aqidah dan syariah. Aqidah menuntut manusia untuk yakin, beriman. Sedangkan syariah adalah aturan yang menuntut manusia untuk melaksanakannya.

Maka, sebuah masyarakat dapat disebut islami ketika keyakinan dan aturan mereka adalah Islam, begitupun sebutan islami bagi sebuah kota bahkan negara. Simbol dan substansi islam tidak bisa dipisahkan, keduanya harus menyatu dan bersamaan. Sebagai contoh, muslimah yang taat ia harus menutup aurat dengan simbol berkerudung dan berjilbab. Tidak cukup hanya dengan simbol tersebut, melainkan ia harus menyempurnakannya dengan menjaga lisan, menundukkan pandangan, menjaga pergaulan dan seluruh aturan-aturan islam yang berkaitan dengan kehidupan, itulah substansinya. Begitupun dengan sebuah kota atau negara. Kota atau negara islami adalah yang meyakini islam sebagai sebuah agama yang mengatur kehidupan, maka Islam harus diwujudkan secara praktis dalam tatanan kehidupan bernegara.  Bukan hanya pada tataran parsial, tapi menyeluruh meliputi seluruh aspek kehidupan. Sehingga terwujud pemikiran, perasaan dan peraturan islam di Negara tersebut. Wallahualam.

Penulis adalah ibu rumah tangga, trainer remaja, penulis dan pemerhati pendidikan.