BANYAK pendapat menyatakan bahwa minimnya praktik beracara di ranah pengadilan terhadap mahasiswa Fakultas Hukum menjadi penyebab lemahnya hukum di Indonesia. Minimnya praktik menyebabkan kurangnya pengalaman. Sementara pendapat lain mengatakan, mahasiswa yang belum lulus atau belum memiliki gelar sarjana tidak dibolehkan beracara di pengadilan. Karena belum bisa mendapatkan Surat Izin untuk beracara di pengadilan.

Sesuai PP Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, memperkokoh dasar pendampingan oleh dosen, mahasiswa dan paralegal.

Mahasiswa Fakultas Hukum sebenarnya boleh menjalankan praktik litigasi dan non litigasi dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan pengadilan. Ini program bantuan hukum yang anggarannya disediakan pemerintah.

Tetapi litigasi itu sendiri terdapat syarat yang harus dipenuhi. Dalam Pasal 13 ayat (4), mahasiswa FH harus lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan paralegal. Namun tidak disebutkan apakah nilai kelulusan harus A, B atau C. Dan apakah yang dibolehkan itu untuk semua hukum acara atau cukup acara pidana dan perdata saja.

PP menyebutkan, litigasi pada dasarnya dilakukan oleh advokat yang menjadi pengurus organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH) atau advokat luar yang direkrut PBH. PBH boleh merekrut mahasiswa Fakultas Hukum jika jumlah advokat yang terhimpun dalam wadah PBH tidak memadai.

Mahasiswa tersebut baru bisa beracara dengan melampirkan bukti tertulis pendampingan dari advokat, baik advokat PBH atau advokat dari luar yang direkrut untuk menangani kasus tertentu.

Dalam konteks penyelenggaraan bantuan hukum untuk warga miskin, kehadiran mahasiswa FH sebenarnya sangat penting, terutama di daerah-daerah yang jumlah advokat, dosen hukum dan paralegal tidak memadai.

Itu sebabnya, dalam proses pembentukan UU Bantuan Hukum dan peraturan teknisnya, berharap lebih dari sekadar pendampingan oleh advokat. Di daerah minim advokat seharusnya mahasiswa dan paralegal diperbolehkan membantu warga miskin dalam proses litigasi. Syaratnya, tetap perlu mendapat izin dari pengadilan setempat.

Di daerah-daerah minim advokat, mahasiswa juga bisa menjalankan tugas memberi bantuan hukum non-litigasi. Termasuk cakupan non-litigasi tersebut adalah peyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat dan drafting dokumen hukum.

Di daerah-daerah bencana, mahasiswa, dosen dan paralegal juga bisa memberikan bantuan hukum kepada para korban. PP Nomot 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial memasukkan bantuan hukum sebagai bagian dari perlindungan sosial. Beleid ini memberi ruang kepada warga yang mengalami kerentanan sosial mendapatkan bantuan hukum.

Timbulah pertanyaan dikalangan masyarakat apakah bisa seseorang (bukan advokat) beracara di dalam persidangan pidana maupun perdata? Tidak ada kewajiban untuk mewakilkan kepada advokat saat seseorang ingin beracara di peradilan perdata.

Sesuai pasal 118 HIR, bahwa suatu gugatan dapat dimasukkan oleh penggugat atau kuasa hukumnya. Jadi, apabila seseorang ingin beracara di peradilan perdata, Ia tidak harus mewakilkan kepada advokat.

Sedangkan untuk peradilan pidana, kita harus merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 54 KUHAP mengatakan bahwa guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini.

Jadi, apabila seseorang ingin beracara di pengadilan pidana untuk dirinya sendiri, hal ini dapat dilakukan. Akan tetapi, dia dapat juga menunjuk penasehat hukum untuk membela dirinya.

Pengecualian dari kebolehan beracara untuk diri sendiri seperti diatur pasal 54 di atas adalah apabila dakwaan yang dikenakan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih (pasal 56 KUHAP). Dalam hal ini, tersangka atau terdakwa wajib didampingi penasehat hukum.

Untuk mahasiswa yang masih berstatus sebagai mahasiswa aktif Fakultas Hukum, ternyata juga difasilitasi oleh negara untuk juga dapat beracara layaknya seorang Advokat.

Mahasiswa dapat beracara di Pemberi Bantuan Hukum (PBH) manapun di Indonesia, sekiranya atau setidak-tidaknya kita dapat memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik mungkin. Sehingga ilmu yang didapat di Fakultas Hukum selama ini dapat juga dipraktikkan bahkan dapat dinilai dan disimpulkan apakah antara teori dan praktik koheren atau tidak.

Kembali ke ilmu dasar bahwa antara Das Sein dan Das Sollen seharusnya sejalan dan sinergis. Hanya mahasiswa yang sudah terjun ke dalam dunia praktik yang dapat menilai.***

Muhammad Yavad Vashogi adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 14/362925/HK/19860