PADA tanggal 10 Mei nanti genap setahun sudah pengungsi etnis Rohingya dari negara Myanmar terdampar di Aceh Utara. Setahun juga kami dari lembaga kemanusian global Aksi Cepat Tanggap (ACT) hadir untuk ikut secara langsung menangani mereka. ACT hadir pada hari ketiga mereka tiba di daratan Aceh Utara, setelah diselamatkan sejumlah nelayan Aceh.

Pada tahap emergency (darurat) kami merekrut sejumlah relawan lokal untuk membantu mereka yang terusir dari negerinya ini. Kondisi mereka saat itu sungguh sangat memprihatinkan, setelah berbulan-bulan terapung di tengah laut.

Ketika masa emergency itu berlalu, konsentrasi terbesar kami saat itu adalah untuk membangun sebuah lokasi hunian yang layak, jauh dari kesan barak darurat. Sebuah hunian yang terintegrasi dengan semua fasilitas utama yang dibutuhkan pengungsi, seperti klinik kesehatan, ruang belajar, rumah ibadah, dapur umum, taman bermain, MCK dan fasilitas lainnya.

ACT pun mendapat kepercayaan dari Pemerintah Daerah Aceh Utara untuk membangun kawasan hunian yang kemudian didirikan di Desa Blang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara di atas lahan seluas 5 hektar milik pemerintah daerah setempat.

Hunian dengan 120 kamar itu rampung dalam waktu satu bulan. Lengkap dengan segala fasilitas yang disebutkan di atas. Integrated Community Shelter (ICS) Rohingya di Desa Blang Adoe ini pun kemudian disebutkan banyak pihak sebagai tempat hunian terbaik yang dibangun untuk Rohingya, dibanding dengan tempat hunian serupa yang ada di beberapa negara lain.

Bersama lembaga internasional, nasional dan lokal, ACT masih terlibat hingga saat ini. ACT juga menjadi bagian dalam ‘working group’ yang menangani pendidikan anak-anak dan pelatihan keterampilan pengungsi. ACT bahkan masih menjadi penyedia kebutuhan listrik dan air minum bagi pengungsi Rohingya. Sedangkan program pemberdayaan yang masih berjalan adalah pelatihan menjahit. Program ini juga melibatkan masyarakat sekitar dari Desa  Blang Adoe.

Kami merasa bangga bisa terlibat selama setahun penuh dalam menangani pengungsi Rohingya.  Para pencari suaka yang mengalami penderitaan begitu hebat di negari asalnya. Mereka orang-orang Myanmar dari etnis Rohingya, yang disebutkan PBB sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia. Pemerintah Myanmar tidak mengakui etnis muslim minoritas Rohingya ini di antara 134 etnis resmi Myanmar.

Namun keterlibatan ACT dalam menangani pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh telah dimulai sejak tahun 2007, ketika sejumlah etnis Rohingya terdampar di Sabang. Pada tahun 2013,  ACT bahkan turun langsung ke Myanmar untuk membangun ratusan barak di Kamp Setha Ma Ghi, Sitwee.

Atas nama lembaga, kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh donatur, masyarakat dan pemerintah yang telah membantu kami, sehingga bisa berperan demikian besar dalam membantu saudara-saudara muslim Rohingya di Aceh. ***

Zainal Bakri, Media Relations KNSR/ACT Aceh