Pengenalan

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan, tanpa pendidikan manusia akan kehilangan daya keseimbangan positif dalam hidupnya. Makna pendidikan bukan hanya mengedepankan bagaimana seorang guru mengajar murid, namun juga dapat bermakna luas, termasuk pendidikan di luar kelas, atau di mana saja.

Pada hakikatnya pendidikan merupakan kegiatan memanusiakan manusia.Dari hakikat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang tak bisa ditinggalkan. Pendidikan merupakan gerbang manusia dalam mencapai kesuksesan untuk masa depannya.

Kita melihat bahwa makna pendidikan selama ini menimbulkan problema, Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

Perkembangan pendidikan dewasa ini patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah Orang Melayu, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar penduduk kaya dan penduduk miskin. John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) meOrang Melayukan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan.

Dari makna dan peran pendidikan itu sendiri, telah memberikan dampak bagi Orang Melayu, terutama pola pikir dan pola tindak bagi Orang Melayu, yang boleh dikatakan sebagian besar penduduk banyak tinggal dan berdomisili di pedesaan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Orang Melayu yang tinggal di pedesaan, terpencil, terluar dan pedalaman, memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Akses pendidikan sangat dirasakan oleh Orang Melayu, dan Orang Melayu terlenan dengan kondisi dan situasi seperti ini.

Orang Melayu rentan dengan kehidupan kemiskinan biasanya aspirasi ini sangat rendah, akibatnya peluang mereka untuk menggapai masa depan menjadi sulit, mereka terpaku dengan kondisi apa adanya, serba kekurangan dan keterbatasan dalam banyak aspek. Kondisi dan situasi termarjinalisasikan oleh tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi membuat mereka tidur lelap dan bermimpi indah.

Berbicara tentang pendidikan bagi Orang Melayu Melayu tidak terlepas dari Paradigma Orang Melayu Melayu itu sendiri di dalam mengartikan makna, hakiki dan manfaat dari pada arti pentingnya pendidikan itu sendiri. Orang Melayu yang hidup di tengah-tengah hiruk pikuk kemegahan dan dunia global sebagian besar yang tinggal di desa-desa, seakan-akan tidak perduli dan bersikap acuh terhadap perkembangan dan kemajuan nuansa perkotaan. Mereka sibuk dengan tugas dan pekerjaan yang ditekuninya secara turun temurun. Pekerjaan dan profesi mereka baik sebagai nelayan, petani, pekebun, dan mencari hidup dari sumber daya hutan yang masih tersisa.

Fenomena ketidak mengertian dan rasa apatis yang masih melekat dari sebagian Orang Melayu bahwa pendidikan tidak akan dapat merubah nasib mereka sudah membaja di hatinya, bahwa pemahaman dan arti pentingnya pendidikan untuk merubah paradigma berfikir mereka, merubah kondisi ekonomi mereka, baik disampaikan oleh pemerintah, LSM, Mahasiswa dan stakeholder lainnya, tidak akan dapat meruntuhkan pendirian mereka.

Masih banyak di antara mereka belum menyadari arti pentingnya pendidikan sebagai sarana mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu untuk melakukan perubahan dan menjawab tantangan alam yang suatu ketika akan dapat memberikan dampak negative bagi keberlangsungan hidup dari pada Orang Melayu itu sendiri. Mereka puas dengan harta warisan dan profesi turunan orang tua mereka, sehingga mereka terbelenggu dengan pikiran sesaat dan tidak akan memberikan jalan keluar di dalam merubah tingkat hidup dan tingkat ekonomi mereka dalam menghadapi masa depan yang tidak memiliki kepastian.

Kekayaan sumber daya alam kita yang melimpah ruah, laut, sungai, danau, gunung, hutan, negeri kita yang kaya raya laksana ratna mutu manikam begitu istilah yang sudah melegenda di negeri kita ini. Tapi, itu dulu coba kita lihat dan saksikan kondisi dan situasi kini. Sumber daya alam yang kita sebutkan tadi sudah pupus dan sudah diluluhlantakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Hal inilah yang perlu kita tanamkan dan fahamkan kepada saudara kita ini, sehingga diharapkan dapat merubah paradigma dan cara berfikir positif mereka, sehingga baru sadar, bahwa negeri kita ini dalam kondisi kritis, dan perlu penanganannya serius oleh pengambil kebijakan, apakah itu pemerintah, perusahaan yang sudah mengambil keuntungan dari sumber daya alam tersebut, atau para stake holder lainnya yang memiliki perhatian luar biasa di dalam keberlangsungan hidup sumber daya alam yang kritis tersebut.

Pengambil kebijakan di sector pendidikan, kiranya sudah merancang dan mendesain upaya yang harus dilakukan di dalam menangani fenoemna orang Melayu yang hidup di dalam ketidakpastiannya, untuk dapat meningkatkan sumber daya manusianya. Jika, orang tuanya yang masih bersikeras dengan habitual profesinya, maka anak-anaknya harus diberikan kesadaran, betapa pentingnya pendidikan, dan melalui pendidikanlah manusia bisa merubah karakter pembangunan dalam mengelola sumber daya alam yang kritis ini ke arah yang lebih baik.

Orang Melayu yang tinggal di pedesaan belum menyadari bahwa ketersediaan sumber daya alam yang melimpah tidak akan menjamin untuk mampu menopang dan memberikan manfaat yang optimal secara berkelanjutan bagi hidup dan kehidupannya, jika tidak mendapat penanganan/pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan. Untuk dapat melakukan pengelolaan/pemanfaatan sumber daya alam secara efektif, optimal dan berkelanjutan akan sangat tergantung pada manusia sebagai pengelolanya. Jika sumber daya alam yang melimpah dikelola oleh manusia yang tidak memiliki kemampuan (pengetahuan dan keterampilan) yang memadai, maka dapat diprediksi bahwa sumber daya alam yang dikelola tidak akan mampu memberikan manfaat yang optimal dan berkelanjutan bagi masyarakat.

Sejalan pula apa yang dikatakan Ali Hanafiah (2011). Bahkan sebaliknya, suatu saat sumber daya alam tersebut akan menjadi musnah dalam waktu yang relatif cepat. Pada akhirnya, sumber daya manusialah yang akan menentukan karakter dan langkah pembangunan suatu bangsa/negara, bukan modal dan sumber daya alam lainnya.

Begitu penting dan strategis arti keberadaan sumber daya manusia dalam pembangunan nasional dan regional (termasuk daerah dan desa). Maka pengembangan kualitas sumber daya manusia harus mendapat perhatian yang utama dalam pembangunan bangsa. Jika tidak, maka Orang Melayu tersebut akan menjadi bangsa yang terbelakang dan selalu termarjinalisasikan atau paling tidak akan sulit meraih kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dapat dibendung.

Etimologi Melayu

Melayu merujuk kepada mereka yang bertutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat resam orang Melayu. Perkataan Melayu mungkin berasal dari pada nama sebuah anak sungai yang bernama Sungai Melayu di Hulu Sungai Batang Hari, Sumatera. Di sana letaknya ''Kerajaan Melayu'' sekitar 1500 tahun dahulu sebelum atau semasa adanya Kerajaan Srivijaya.

Sehubungan itu, dari segi etimologi, perkataan ''Melayu'' itu dikatakan berasal daripada perkataan Sanskrit "Malaya" yang bermaksud "bukit" ataupun tanah tinggi. Ada juga sumber sejarah yang mengatakan bahawa perkataan ''Melayu'' berasal dari ''Sungai Melayu'' di Jambi.

Istilah ''Melayu'' ditakrifkan oleh Unesco pada tahun 1972 sebagai suku bangsa Melayu di Pesisir Timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina, dan Madagaskar. Bagaimanapun menurut Perlembagaan, istilah ''Melayu'' hanya merujuk kepada seseorang yang berketurunan Melayu yang menganut agama Islam. Dengan kata yang lain, bukan semua orang yang berketurunan dari pada nenek moyang Melayu adalah orang Melayu.

Istilah ''Melayu'' untuk merujuk kepada nama bangsa atau bahasa adalah suatu perkembangan yang agak baru dari segi sejarah, yaitu setelah adanya Kesultanan Melayu Melaka. Walaupun demikian, tidaklah sehingga abad ke-17 bahwa istilah ''Melayu'' yang merujuk kepada bangsa semakin digunakan secara meluas. Sebelum itu, istilah ''Melayu'' hanya merujuk kepada keturunan raja Melayu dari Sumatera saja.

Penggunaan istilah ''Melayu'' muncul buat pertama pada kira-kira 100-150 Masihi dalam karya Ptolemy, Geographike Sintaxis, yang menggunakan istilah "maleu-kolon". G. E. Gerini menganggap istilah itu berasal daripada perkataan Sanskrit, yaitu malayakom atau malaikurram, yang merujuk kepada Tanjung Kuantan di Semenanjung Malaysia. Sebaliknya, Roland Bradell menganggap tempat itu merujuk kepada Tanjung Penyabung.

Istilah Malaya dvipa muncul dalam kitab Purana, sebuah kitab Hindu purba, yang ditulis sebelum zaman Gautama Buddha sehingga 500 Masihi. Dvipa bermaksud "tanah yang dikelilingi air" dan berdasarkan maklumat-maklumat yang lain dalam kitab itu, para pengkaji beranggapan bahwa Malaya dvipa ialah Pulau Sumatera. Istilah ''Mo-lo-yu'' juga dicatat dalam buku catatan perjalanan pengembara Cina pada sekitar tahun 644-645 Masihi semasa zaman Dinasti Tang. Para pengkaji bersependapat bahawa perkataan ''Mo-lo-yo'' yang dimaksudkan itu ialah kerajaan yang terletak di Jambi di Pulau Sumatera, serta juga Sriwijaya yang terletak di daerah Palembang.

Konon Melayu diambil dari nama sebuah kerajaan tertua di Sumatera yang disebut Kerajaan Melayu, dimana kerajaan itu terletak ditepi Sungai Batanghari (sekarang masuk Propinsi Jambi). Lalu diperkuat dengan adanya prasasti Kedukan Bukit yang berasal dari Bukit Siguntang, Palembang. Prasasti yang diperkirakan merupakan catatan tertua tentang bahasa Melayu. Para petualang Cina juga menuliskan kata Mo-lo-yeu. Bahasa Melayu Kuno juga tumbuh subur di Kerajaan Sriwijaya yang menyebar hingga selatan Thailand dan Filipina, dan karena perdagangan serta perniagaan, bahasa Melayu mencapai bumi Papua. Ini dibuktikan bahwa sejak lama masyarakat Maluku dan Papua sudah mengenal bahasa Melayu sejak ratusan tahun silam.

Jadi dapat kita simpulkan Arti atau pengertian ''Melayu'' adalah suatu ras yang punya salah satu ciri fisik yaitu berkulit sawo matang. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa ras Melayu merupakan hasil pencampuran antara ras Mongolia yang berkulit kuning, Dravisa yang berkulit hitam, dan Arian yang berkulit putih. Dalam pengertian ini, semua orang yang berkulit coklat (sawo matang) di seluruh nusantara digolongkan sebagai ras Melayu. Dengan demikian masyarakat Indonesia yang sebagian besar berkulit sawo matang termasuk kelompok ras Melayu. Mereka tersebar di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Oleh karena itu sering terdengar sebutan-sebutan Melayu Aceh, Melayu Riau, Melayu Batak, Melayu Bugis, Melayu Dayak, Melayu Ambon, dan sebagainya.

Asal Usul Orang Melayu

Penakrifan orang Melayu merupakan satu pekerjaan yang sukar. Sekiranya menurut penakrifan orang Melayu sebagai orang yang bertutur dalam Bahasa Melayu, penakrifan ini merangkumi kebanyakan orang di Malaysia, Indonesia, dan sebahagian dari negeri Thai dan Filipina. Tetapi, di Indonesia moden, orang Melayu ditakrifkan hanya sebagai salah satu daripada beratus-ratus kaum/suku di negara itu.

Orang melayu dapat dipahami sebagai masyarakat yang mendiami pesisir Timur Sumatra. Orang-orang Melayu yang mendiami pantai Timur Sumatera menurut dugaan ahli arkeologi dan ahli sejarah termasuk kelompok Deutro-Melyu yang datang ke Riau sekitar abad ke tiga dan ke empat sebelum Masuhi sedangkan kelopok Proto Melayu datang lebih Kurang pada 2.500 tahun sebelum Masehi.

Orang-orang melayu berabad-abad telah bermukim di pesisir Sumatra bagian tengah dengan memeluk kepercayaan nenek moyang secara turun temurun yakni kepercayaan animisme dan dinamisme dan terdapat sebagaian yang memeluk Agama Hindu Akan tetapi setelah Islam datang, maka orang-orang Melayu terpengaruh dengan Islam, sehingga orang-orang Melayu banyak memeluk Islam. Setelah orang Melayu dipengaruhi oleh Islam, maka pandangan oran-orang Melayu dipengaruhi oleh sistem nilai dan budaya Islam.

Sistem nilai dan budaya Islam telah mempengaruhi pandangan hidup orang Melayu yang bermukim di pesisr pantai Timur dan sebagian tengah Sumatra, termasuk yang bermukim di Kabupaten Kabupaten. Atas dasar ini timbul suatu statmen ''Melayu Identik dengan Islam'', hal ini merupakan suatu proses enkulturasi. Dimana institusi kemaharajaan Melayu-Islam memegamg peranan yang teramat penting dalam proses enkulturasi yang sedang terjadi di dalam kehidupan orang Melayu pesisir pantai Timur dan tengah pulau Sumatra. Institusi kemaharajaan Melayu yang meletakkan konstruksi dan sistem nilai Islam telah mampu mengikis sistem Melayu lama yang merupakan keyakinan animisme, dinamisme dan animisme-Hinduisme ke dalam sistem nilai Melayu yang dipengaruhi oleh nilai –nilai dan budaya Islam.

Orang-orang Melayu telah mampu meletakan Islam di atas tradisi dan adat, ini memberikan gambaran struktur kehidupan orang Melayu telah berubah dari tradisi melayu lama kepada melayu bertradisi Islam. Dalan situsi demikian para Ulama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kedudukan raja, pemerintah dan pemuka adat, dukun dan pemuka adat. Para Ulama dalam sejarah kejayaan Melayu telah mampu memainkan peranannya sebagai pembuat kebijakan,hukum, ekonomi, budaya dan seni, sehingga seluruh kehidupan orang Melayu selalu berpegang kepada syari’at Islam.

Bahkan yang unik lagi, sebagian besar orang Madagaskar (pulau besar dilepas pantai Afrika) berciri fisik serupa dengan orang-orang Indonesia, ditilik dari bentuk wajah, rambut lurus, kulit kuning hingga sawo matang. Serta mempunyai bahasa yang mirip dengan Dayak Maanyan di pedalaman Kalimantan. Sedangkan masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Maluku merupakan percampuran antara ras Melayu dengan ras Melanesia. Filipinapun bisa dibilang ras Melayu.

Sebenarnya siapa yang disebut Melayu? Mungkin pertanyaan ini membingungkan sekaligus menimbulkan pemahaman yang berbeda dalam setiap negara. Dalam pemahaman Malaysia, Singapura dan Brunei mungkin, yang disebut Melayu adalah orang yang berbahasa, berbudaya Melayu dan beragama Islam. Sedangkan suku-suku Bidayuh, Murut, Kadazan dll disebut sebagai Bumiputera juga. Disana juga pendatang-pendatang asal Jawa, Minangkabau, Bugis, Banjar, Buton, Madura dan Bawean (yang disana disebut Boyan) yang berasimilasi dengan Melayu juga disebut sebagai Melayu dan pada akhirnya anak cucunya menjadi Melayu betulan. Meski sebagian masih menerapkan beberapa adat istiadat leluhurnya.

Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Mungkin agak rancu, karena sebagian besar orang Indonesia tergolong ras Melayu. Menurut pemahaman yang saya ketahui, seperti kasus di pulau Kalimantan yang disebut Melayu ada dua kelompok, yakni:

1. Pendatang Melayu asal Sumatera, Kepulauan Riau dan Semenanjung yang bermukim di pesisir barat Kalimantan.

2. Penduduk asli (Dayak) yang menganut agama Islam, dan berpindah ke tepi-tepi sungai serta menganggap dirinya sebagai Melayu. Meskipun pada masa sekarang ini, orang Dayak yang masuk Islam tetap mempertahankan ke-Dayak-annya. Hal yang sama juga terjadi di Kepulauan Riau, dimana jika Suku Laut masuk Islam, maka dia disebut masuk Melayu dan mengadaptasi semua segi budaya Melayu. Meski sejatinya dari bahasapun mereka termasuk dialek Melayu.

Sedangkan pemahaman Indonesia Timur tentang Melayu berbeda lagi. Di masa silam, yang disebut Melayu adalah orang-orang setempat yang menganut Kristen dan mengadaptasi bahasa Melayu sebagai pengganti bahasa leluhurnya. Contohnya adalah kampung Melayu yang ada di Larantuka, Flores yang awalnya adalah pemukiman orang-orang penganut Katolik yang lari dari Makassar pada abad ke-17. Suku-suku yang disebut ‘Melayu’ di Kalimantan sendiri sebenarnya adalah keturunan suku-suku Dayak yang masuk agama Islam atau bercampur dengan pendatang-pendatang Melayu asal Sumatera dan suku Jawa. Percampuran Melayu, Dayak Bukit, Dayak Lawangan, Ngaju, Maanyan dan Jawa menghasilkan apa yang disebut sebagai Suku Banjar saat ini (terbagi atas 3 sub-suku seperti Banjar Hulu Sungai, Banjar Batang Banyu dan Banjar Kuala yang lebih ‘Melayu’). Sedangkan suku-suku hasil pe-Melayu-an Dayak lainnya selain Banjar adalah suku Kutai, Tidung, Pasir, Berau dan sebagainya yang berbudaya campuran Melayu dan lokal, berbahasa Melayu lokal serta masih berkerabat dekat dengan suku-suku Dayak sekitarnya. Kini, orang Dayak yang masuk Islam tetap dengan menyebut dirinya Dayak (semisal Dayak Bakumpai atau Lamandau), bukan lagi Melayu atau Banjar.

Sedangkan apa yang disebut ‘Melayu Betawi’ di Jakarta juga majemuk untuk dipertegas. Karena aspek-aspek kebudayaannya yang merupakan perpaduan berbagai daerah, sesuai dengan nenek moyang orang Betawi itu sendiri. Arab, Melayu, Sunda, Cina, Jawa dan Eropa membentuk warna budaya mereka, meski dari bahasa masih dapat ditelusuri kemelayuannya (namun sangat kental dipengaruhi bahasa Sunda dan Jawa) serta cerita-cerita rakyat yang masih berhubungan.

Sebagaimana Cape Malay di Afrika Selatan dan ‘Melayu’ di Sri Lanka, mereka adalah keturunan dari berbagai tempat di Indonesia dan Malaysia yang dibuang Belanda dari tanah leluhurnya. Mereka kemudian membentuk kelompok Melayu meskipun dari segi fisik mereka lebih mirip India atau Eropa karena perkimpoian campuran. Cape Malay sendiri banyak yang sudah tidak bisa bahasa Melayu, tetapi ikatan dengan tanah leluhur ini yang tetap membuat mereka sebagai ‘Melayu’.

Makna Orang Melayu sendiri kini lebih mengacu pada masyarakat yang menganut budaya Melayu, berbahasa Melayu dan beragama Islam. Mungkin jatidiri Melayu lebih terlihat di Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand Selatan dari di Indonesia yang mana di negara-negara tersebut menjadi bentuk manifesto politik. Sumatera notabene dikenal sebagai Pulau ‘Melayu’ meskipun ada pengecualian dibeberapa daerah yakni di Aceh, Pedalaman Sumatera Utara, Sumatera Barat, pulau-pulau lepas pantai barat Sumatera dan Lampung yang mempunyai bahasa dan budaya tersendiri meski sama-sama ras Melayunya. Yang disebut Melayu di Indonesia adalah juga orang-orang yang berbahasa Melayu dan berbudaya Melayu serta identik dengan Sumatera dan Kalimantan (Barat).

Orang Melayu merupakan sebutan untuk sejumlah kelompok sosial di beberapa negara Asia Tenggara, yang dalam beberapa aspek kebudayaannya, menunjukkan ciri-ciri persamaan. Di antara kelompok-kelompok sosial itu sampai sekarang ada yang dengan sadar menyebut dirinya sebagai orang Melayu, misalnya orang Patani di Thailand Selatan; orang Kedah, orang Perak, orang Kelantan, orang Pahang, orang Selangor, dan orang Johor, yang semuanya berada di Semenanjung Melayu (Malaysia); dan sejumlah kelompok sosial di Indonesia. Orang Melayu juga dapat diartikan sebagai suku bangsa. Oleh karena perkembangan sejarah dan perubahan politik, konsentrasi ras Melayu terbesar berada di negara-negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Filipina. Dalam kesatuan bangsa di masing-masing negara, Melayu tidak dipandang sebagai ras tetapi sebagai suku bangsa. Akan tetapi sukubangsa Melayu di Indonesia tidak sama pengertiannya dengan di Malaysia dan Singapura.

Jadi, siapa sebenarnya yang disebut Orang Melayu? Mungkin kalau diulik-ulik dari ras, ada dua kelompok Melayu yakni Proto Melayu dan Deutro Melayu. Diklaim selama ini orang-orang ras Melayu sudah datang dari Cina Selatan sejak ribuan tahun lalu. Proto Melayu adalah kelompok Melayu yang datang pertama kali, dan menempati kawasan-kawasan pedalaman Indonesia, contohnya adalah orang Dayak, Batak, Nias, Suku-suku Sakai, Bonai, Talang Mamak, Akit, hutan, dan Suku-suku pedalaman Sulawesi dan sebagainya. Sedangkan Deutro Melayu adalah kelompok yang datang belakangan dan menempati wilayah-wilayah pesisir. Kini yang disebut bangsa atau orang Melayu sekali lagi mungkin adalah orang-orang yang bersuku Melayu, berbudaya Melayu, berbahasa ibu Melayu dan beragama Islam. Jadi, dapat kita simpulkan hal ikhwal asal muasa suku atau Orang Melayu sebagai berikut:

Melayu Proto. Melayu Proto yang juga digelar Melayu asli atau Melayu purba adalah penutur Austronesia dari tanah besar Asia yang berpindah ke tanah Melayu dan kepulauan Melayu, dalam siri penghijrahan yang panjang di antara 2500 S.M dan 1500 S.M[]. The Encyclopedia of Malaysia: Early History, menunjukkan sejumlah tiga teori asal-usul Melayu:

Teori Yunnan, penghijrahan sungai Mekong (diterbitkan 1889). Teori Melayu Proto berasal dari Yunnan disokong oleh R.H Geldern, J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen, Slametmuljana dan Asmah Haji Omar. Bukti lain yang menyokong teori ini termasuk:

1. Peralatan batu yang ditemui di Kepulauan Melayu adalah sama dengan peralatan dari Asia Tengah. Kemiripan adat Melayu dan adat Assam. Bahasa Melayu & bahasa Kemboja ialah bahasa serupa oleh kerana tanah nenek moyang orang Kemboja berasal dari sumber Sungai Mekong. Teori New Guinea (diterbitkan 1965). Teori Taiwan (diterbitkan 1997).

Untuk maklumat lanjut, lihat Bahasa-bahasa Austronesia. Kajian saintifik terbaru oleh HUGO (Human Genome Organization) mengenai genetik bangsa-bangsa Asia menyatakan hipotesis penghijrahan tunggal Asia dari Asia Tenggara mengembara ke arah utara dan secara perlahan-lahan menduduki Asia Timur. Hipotesis ini bagaimanapun hanya berdasarkan bukti variasi genetik yang lebih banyak di kalangan bangsa Asia tenggara berbanding bangsa Asia timur, tanpa mengambil kira sejarah sosio politik kedua-dua rantau tersebut. Kekurangan variasi genetik di kalangan bangsa Asia timur berkemungkinan besar adalah kerana rantau tersebut telah lama bersatu di bawah satu kuasa politik tunggal contohnya di China, Korea dan Jepun yang menyebabkan interaksi manusia yang lebih kerap berbanding di Asia Tenggara. Melayu Proto dipercayai bangsa pelaut yang mahir dalam oseanografi dan pertanian. Mereka berpindah dari pulau ke pulau dalam jarak besar di antara New Zealand dan Madagaskar, dan mereka berkhidmat sebagai penunjuk arah, kakitangan dan pekerja buruh kepada pedagang India, Arab, Parsi dan China untuk hampir 2000 tahun. Bertahun-tahun kemudian mereka menetap di pelbagai tempat dan menyerap pelbagai budaya dan agama.

2. Melayu Deutero. Orang Melayu terawal kemudiannya secara perlahan-lahan diganti oleh peneroka-peneroka Melayu Deutero dalam gelombang kedua penghijrahan dari tanah besar Asia di sekitar 300 SM. Secara antropologi, etnik Melayu yang kini mendiami semenanjung tanah Melayu dan kawasan pantai kepulauan Melayu adalah dari golongan Melayu Deutero yang berkulit lebih cerah, berbadan lebih besar, dan berambut lebih lurus, berbeza dengan orang Melayu Proto. Masyarakat ini juga memiliki taraf budaya yang lebih tinggi, teknik pertanian dan pengetahuan tentang besi yang lebih maju.] Mereka tidak hidup secara nomad tetapi dalam kampung-kampung yang merupakan unit utama masyarakat. Penempatan utama Melayu Deutero biasanya terletak di lembah-lembah subur, tebing sungai atau pesisir pantai, dan kegiatan utama adalah ekonomi sara hidup yang ringkas berasaskan penanaman padi dan perikanan. Menjelang kurun terakhir sebelum Masihi, penempatan-penempatan di kawasan pantai ini mula terlibat dalam perdagangan dengan dunia luar.

Kemunculan kelompok Melayu Deutero ini secara tidak langsung menyebabkan kumpulan Melayu Proto dan penduduk asli berundur ke pedalaman dan hulu sungai. Kumpulan Melayu Proto yang terkenal hari ini adalah dari suku asli (Sakai, Talang Mamak, dll di Riau, Moken, Jakun, Orang Kuala, Temuan dan Orang Kanaq.

Fenomena Pendidikan bagi Orang Melayu

Fenomena yang menarik untuk disikapi yang menjadi tradisi turun menurun, dan factor-faktor yang ikut memberi dampak negative terhadap arti pentingnya pendidikan bagi Orang Melayu. Isjoni (2007) menyebutkan bahwa beberapa faktor diantaranya yaitu, faktor ekonomi, faktor lingkungan dan faktor keluarga.

Faktor Ekonomi

Kurangnya informasi dan anggapan penting pengetahuan menjadikan pola ekonomi masyarakat pesisir yang stagnan (tetap pada posisi), sehingga perkembangan ekonomi masyarakat pesisir juga kurang berkembang, cara mendapatkan penghasilan yang singkat yang dalam hal ini adalah sebagai seorang nelayan, (untuk mendapatkan penghasilan tanpa harus membutuhkan ijazah atau legalitas dari akademika) dan penghasilan yang selalu digantungkan setiap hari, sehingga mempengaruhi pola keluarga dalam mengatur keuangan keluarga secara sederhana (satu hari dapat satu hari habis) hal ini karena pola pemikiran kekayaaan laut yang masih tersedia setiap hari. Pola tersebut sehingga susah untuk dikembangkan secara jangka panjang atau diinvestasikan. Dengan pola seperti diatas kebutuhan pokok akan pengeluaran keuangan lebih dipentingkan kebutuhan pokok/sampingan keluarga (properti) di banding dengan kebutuhan pendidikan, kurang pentingnya anggapan pendidikan juga dipengaruhi dengan masa depan pekerjaan yang sudah pasti bagi pandangan masyarakat pesisir (bekerja sebagai seorang nelayan), selain hal tersebut, kurangnya perkembangan ekonomi keluarga juga memicu anak-anak untuk mandiri dalam mendapatkan hasil keuangan dibandingkan dengan pentingnya pendidikan.

Faktor Lingkungan

Dalam bagian ini akan diuraikan sedikit tentang pengaruh lingkungan terhadap pendidikan masyarakat pesisir. Dunia pendidikan yang banyak dialami pada anak-anak menjadi fenomena terbalik ketika dihadapkan pada masyarakat pesisir. Lingkungan masyarakat yang sudah mengenalkan cara mendapatkan uang dengan mudah bahkan anak-anak pun ikut andil dengan mudah untuk mendapatkannya, merubah perilaku anak-anak yang seharusnya mengemban dunia pendidikan di balikan menjadi perilaku selayaknya orang dewasa pada umumnya, hal ini dipacu dengan kemampuan mereka untuk menghasilkan uang sendiri. Sehingga pada hal ini lingkungan anak-anak lebih terbiasa untuk melakukan perilaku orang dewasa. Pola seperti ini mengarahkan anak anak untuk mengisi kesibukanya dengan kegiatan kegiatan orang dewasa dari pada mengisi keseharianya dengan menemban pendidikan. Lebih frontalnya kebiasaan kebiasaaan orang dewasa yang belum bisa di saring oleh anak-anak juga akan mempengaruhi mereka untuk bertindak kriminal.

Faktor Keluarga

Dalam tulisan ini akan dijelaskan bagaimana kurang pentingnya peran keluarga dalam melihat pendidikan sebagai hal penting terhadap masa depan anaknya. Di dalam masyarakat pesisir, orang tua menganggap pendidikan itu kurang penting. Hal ini dapat dilihat ketika anak-anak yang sudah menginjak usia produktif atau 17 tahun ke atas banyak yang disuruh untuk bekerja ketimbang melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola pandang orang tua yang secara turun-temurun yang lebih mementingkan mencari uang. Selain itu, faktor ekonomi yang pas-pasan membuat orang tua pikir-pikir dalam hal menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

Pendapat lain juga menyebutkan bahwa rendahnya minat dan kesadaran orang tua di masyarakat desa (sebagian besar Orang Melayu) terhadap pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor misalnya, faktor pribadi (tingkat kesadaran), faktor ekonomi, faktor sosial budaya (social cultur), dan faktor letak geografis sekolah.

Adanya faktor lingkungan sosial budaya sebagai fenomena rendahnya partisipasi, motivasi dan kesadaran orang tua terhadap pendidikan ini berawal dari sebuah teori empiris dari Jhon Locke, seorang ahli filsafat Inggris pada tahun 1632-1704. Ia mengatakan bahwa anak lahir seperti kertas putih yang belum mendapat coretan sedikitpun. Akan dijadikan apa kertas itu terserah kepada yang menulisnya. Teori Jhon Locke ini disebut pula dengan teori tabularasa.

Menurut teori Jhon Locke, manusia tidak memiliki pembawaan. Seluruh perkembangan hidupnya sejak lahir sampai dewasa semata-mata ditentukan oleh faktor luar atau faktor lingkungan, seperti lingkungan keluarga dan masyarakat. Artinya, jika orang tuanya sadar dan faham arti pentingnya pendidikan, maka warisan profesi turunan tidak akan terjadi, ini bermakna orang tua akan memberikan waktu dan kesempatan seluas-luasnya kepada anak-anaknya untuk mengikuti pendidikan.

Jika Orang Melayu sadar dan faham arti pentingnya pendidikan, maka keinginan dirinya agar nasib dan kondisi yang serba keterbatasan yang dialaminya, tidak terjadi pada anak-anak dan keturunan selanjutnya. Anak-anaknya akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi unggul dan percaya diri, dan mereka tidak akan merasa rendah diri bila mana bergaul dan berinteraksi dengan teman sebayanya.

Fenomena yang terjadi di masyarakat desa itu sendiri juga kita lihat antara keluarga terdidik dengan tidak terdidik, keluarga mampu dengan tidak mampu, anak-anak kota maupun desa terjadi perbedaan dan stratifikasi sosial.

Kesadaran orang Melayu di perkotaan tidak kita ragukan lagi, karena semua tergantung sejauhmana tingkat pendidikan dan ekonomi mereka. Mereka akan berlomba-lomba untuk memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikan, bahkan kemana saja keinginan anak-anaknya sebagai orang tua tentu akan mengabulkan dan berupaya untuk menyiapkan dana berapapun besarnya.

Rasa pesimistis orang tua terhadap sekolah juga menjadi pemicu motivasinya untuk menyekolahkan anaknya adalah sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai, gurunya yang masih banyak kurang, infrastruktur yang banyak tidak layak, belum lagi gurunya yang malas mengajar dan sering bolos mengajar. Hal ini disebabkan oleh tempat tinggalnya jauh dari lokasi sekolah, bahkan keluarganya masih banyak tinggal di perkotaan.

Jika diamati, perilaku dan sikap anak-anak Melayu yang tinggal di kota dengan anak-anak Melayu yang tinggal di desa banyak terdapat perbedaan. Sejalan yang dikatakan Dalyono (2008), “Anak-anak yang dibesarkan di kota pola pikirnya berbeda dengan anak di desa.” Pada umumnya anak yang tinggal di kota lebih bersikap aktif dan dinamis, bila dibandingkan dengan anak desa yang selalu bersikap statis dan lamban. Itulah sebabnya, perkembangan dan kemajuan anak yang tinggal di kota jauh lebih pesat daripada anak yang tinggal di desa.

Fenomena lain juga terjadi bagi anak-anak Melayu yang tinggal di desa, kalaupun orang tuanya member kesempatan kepada anak-anaknya bersekolah pada tingkat Sekolah Dasar, jalan pikiran dan tujuan dari orang tuanya hanya setakat sudah bisa tulis baca. Tidak perlu lagi harus melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama, karena pada umumnya di desa sebagian besar belum tersentuh SMP. Selain itu, biaya untuk melanjutkan ke tingkat SMP lebih banyak dibanding SD.

Sejalan dengan penelitian Firdaus (2005) menyebutkan bahwa rendahnya minat orang tua untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke Sekolah Menengah Pertama disebabkan: Pertama, faktor sosial budaya sebesar 87,3%. Kedua, faktor kurangnya biaya pendidikan (ekonomi tidak mampu) diperoleh sebesar 86,0%. Ketiga, faktor kurangnya tingkat kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan (faktor orang tua) diperoleh sebesar 59,1%. Keempat, letak geografis sekolah sebesar 50,8%.

Data di atas menunjukkan bahwa Orang Melayu kecewa dengan kualitas pendidikan. Orang Melayu ‘yang berpikiran sempit’ memandang bahwa pendidikan formal tidak begitu penting. Asumsi ini lahir karena Orang Melayu beranggapan bahwa menyekolahkan anaknya di pendidikan formal hanya menambah jumlah pengangguran. Hal ini disebabkan oleh keluaran para lulusan sekolah lanjutan belum mampu memenuhi dunia kerja. Akibatnya, selalu terjadi penumpukan tenaga kerja setiap tahunnya (Tirtarahardja dan La Sula, 2000).

Rendahnya minat anak dan tidak mendapat dukungan orang tua untuk melanjutkan ke SMP sungguh sangat memperihatinkan semua pihak. Imbasnya, hal itu banyak terjadi di desa-desa atau di pelosok daerah yang tergolong terpencil. Ini terjadi karena masih banyak Orang Melayu yang kurang menyadari akan penting pendidikan. Meskipun pemerintah telah memberikan sosialisasi tentang pendidikan, tetapi masih ada sebagian anak terpaksa tidak bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Kondisi ini terjadi karena masih banyak Orang Melayu yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan. Gunawan (2000) mengatakan bahwa, “Sekolah sebagai lembaga pendidikan sangat berperan dalam proses sosialisasi individu agar menjadi anggota masyarakat yang bermakna.” Melalui pendidikan akan terbentuk kepribadian seseorang yang diukur dari perkembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor seperti terdapat dalam teori Bloom. Jadi, Orang Melayu yang tidak menyadari pentingnya pendidikan akan menjadi Orang Melayu yang minim pengetahuan, kurang keterampilan, dan kurang keahlian. Mereka akan menjadi Orang Melayu yang tertinggal dan terbelakang. Dalam persaingan, mereka akan kalah bersaing dengan etnis lain yang pendidikannya sudah maju, terlebih-lebih bersaing pada era globalisasi dan informasi pada saat ini. Yang akan terjadi di kemudian hari, anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan akan menjadi beban bagi Orang tua Melayu bahkan sering menjadi pengganggu ketenteraman orangtuanya dan masyarakat.

Paradigma Orang Melayu Terhadap Pendidikan

Paradigma yang harus di bangun dan diberikan kesadaran bagi orang Melayu tentang arti pentingnya pendidikan, sehingga akan menjadikan mereka dapat merubah paradigm negative yang selama ini melingkupi alam pikiran mereka. Hal itu sudah terjadi secara turun temurun, jika ayahnya nelayan, maka anaknya juga menjadi nelayan, jika orang tuanya petani, maka semua anaknya harus menjadi petani.

Untuk lebih memahami apa itu paradigm, maka kita kemukakan beberapa pengertian dari paradigma. Salim yang mengacu pandangan Guba. Denzin & Lincoln menyimpulkan paradigma merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Atau seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah. Dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma didefinisikan sebagai sejumlah perangkat keyakinan dasar yang digunakan untuk mengungkapkan hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. paradigma sebagai ''teori dasar'' atau ''cara pandang'' yang fundamental, dilandasi nilai-nilai tertentu, dan berisikan teori pokok, konsep asumsi, metodologi atau cara pendekatan yang dapat dipergunakan para teoritis dan praktisi dalam menanggapi sesuatu permasalahan baik dalam kaitan pengembangan ilmu maupun dalam upaya pemecahan permasalahan bagi kemajuan hidup dan kehidupan kemanusiaan''. (Mustopadidjaja AR. 1985).

Berikut paradigma dan sudah menjadi karakteristik Orang Melayu yang sebagian besar masih melekat, bahkan sebagian sudah melegenda di dalam pemahaman tentang arti pentingnya pendidikan, kerdil jiwa dalam menghadapi masa depan, terkesan pasrah, serta sikap rendah dalam menangkap aspirasi dan inovasi yang terjadi di masyarakat, yaitu :

Perceived limited good, yaitu suatu karakteristik di mana sebagian Orang Melayu memiliki pandangan yang sempit, sehingga hal-hal baik dan kesempatan untuk maju selalu terbatas. Hal ini tampak sebagaimana terlontar dari ungkapan”hidup tergantung nasib sendiri-sendiri”. Ungkapan ini menggambarkan seolah-olah mereka tidak bisa maju, kalau bukan karena nasib. Akibatnya timbul rasa pasrah pada nasib, karena ingat pepatah ''setinggi-tinggi terbang bangau kembali juga ke lumpur.''

Dalam pendidikan ada ungkapan seperti pada Orang Melayu Melayu yang banyak tersebar di pedesaan di Riau yang masih terdengar di telingan kita bahwa ''sekolah ya makan, tidak sekolah ya makan juga''. Ungkapan lain bagi Orang Melayu, masih juga kita terima dan masih melekat ''setinggi-tingginya sekolah, ya ke dapur juga.'' Ungkapan-ungkapan tersebut menggambarkan sempitnya pandangan Orang Melayu pedesaan akan pentingnya pendidikan. Hal ini perlu diubah melalui penyuluhan dan pemberian pengetahuan. Fatalism, yaitu karakteristik yang menggambarkan rendahnya wawasan untuk menanggapi atau merencanakan masa depan mereka serta masa depan keluarga secara keseluruhan. Hal ini dapat berdampak pada rasa pesimisme, sikap menerima, sikap penyabar serta sikap penurut. Sikap ini berakibat pada perilaku mereka yang hanya maubergerak apabila ada kekuatan dari luar yang memaksa mereka. Kekuatan dari luar ini tentunya ada pada mereka secara tradisional mereka akui memiliki pengaruh yang besar terhadap mereka.

Limited Aspiration, yaitu suatu sikap dengan aspirasi serta keinginan yang rendah atau terbatas untuk menggapai masa depan. Tinggi rendahnya aspirasi sosial, misalnya, dapat diketahui dengan menanyakan kepada mereka sampai sejauh mana keinginan mereka menyekolahkan anaknya. Apakah sama dengan mereka atau menginginkan anaknya menempuh pendidikan lebih tinggi lagi.

Adapun Orang Melayu yang berada di wilayah tertinggal, terluar serta terpencil pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik masih sangat terbatas. Oleh karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan Orang Melayu yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari semua sektor.

Dari paradigma-paradigma di atas, maka Orang Melayu telah mengakibatkan kesulitan dalam  mempercepat kemajuan wilayah dibandingkan dengan perkotaan, akibat keterbatasan; kekurangan dan tingkat kesadaran Orang Melayu di pedesaan, hingga terjadinya kelambatan dalam mengurangi angka kemiskinan.  Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan strategi dan kebijakan yang terpadu antar tingkat pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa, terintegrasi pada beberapa sektor dan wilayah, dilakukan secara intensif dan berkesinambungan, serta melibatkan masyarakat secara aktif melalui pemberdayaan kelembagaan dan masyarakat desa.

Solusi dan Rekomendasi

Melihat begitu banyaknya masalah pendidikan yang terjadi bagi anak-anak Melayu’ maka dibutuhkan solusi tepat untuk mengatasinya. Solusi yang dapat membatu Orang Melayu untuk meringankan beban pendidikan anak-anaknya, sehingga mereka bias melanjutkan pendidikan dan pendidikan gratis harus dilakukan, dan apapun menyangkut biaya pendidikan orang tua tidak dibebankan lagi.

Solusi dan rekomendasi yang diberikan tidak hanya menyangkut memberikan kesadaran dan motivasi kepada orang tua bagi Orang Melayu untuk mengetahui arti pentingnya pendidikan. Juga menyangkut lembaga-lembaga pendamping yang secara terus menerus menyampaikan penyuluhan kepada masyarakat Melayu betapa pentingnya pendidikan, sebagai upaya dalam merubah paradigma Orang Melayu di dalam menapak masa depan yang lebih baik dan menjanjikan.

Selain itu untuk membantu mengatasi masalah pendidikan bagi masyarakat Melayu, dibutuhkan adanya lembaga yang membantu pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menjaring kerjasama untuk memperoleh dana pendidikan, dan menggalang dukungan untuk pendidikan yang lebih baik. Lembaga perantara tersebut bekerjasama dengan pemerintah, pihak swasta, dan kelompok masyarakat untuk bersama-sama memberbaiki kualitas pendidikan di Indonesia mengingat tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, dan semua ini akan memberikan jalan keluar terhadap fenomena dan persoalan tentang pendidikan bagi masyarakat Melayu.

Dalam meningkatkan mutu pendidikan, lembaga tersebut melakukan pendampingan kepada guru-guru dan pemberian apresiasi lebih kepada guru-guru kreatif, terutama yang telah bertungkus lumus, dengan dedikasi dan loyalitas tinggi dalam memajukan pendidikan anak-anak Melayu di desa-desa. Pendampingan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan profesionalitas, kreatifitas, dan kompetensi guru dengan model pendampingan berupa seminar, lokakarya, konsultasi, pelatihan dan praktek.

Pendampingan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan yang didukung oleh pemerintah dan pihak terkait serta tokoh-tokoh Melayu. Lembaga tersebut juga memediasi masyarakat, pendidik, dan pihak terkait lainnya untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah dalam memperbaiki kurikulum pendidikan. Diharapkan dengan adanya lembaga ini, ide-ide kreatif untuk memperbaiki kurikulum pendidikan dapat tertampung dan pemerintah dapat mempertimbangkan ide masyarakat untuk kebijakan yang dibuat.

Dalam meningkatkan kemampuan kepemimpinan guru, kepala sekolah, dan pengelola sekolah, lembaga tersebut melakukan pendampingan guna mewujutkan manajemen sekolah yang baik. Proses yang dilakukan berupa konsultasi, lokakarya, dan pelatihan ditunjukan kepada guru, staf dan pimpinan sekolah. Pihak manajemen sekolah diharapkan mampu membawa sekolah yang dipimpinnya untuk berkembang dan meraih prestasi yang diharapkan.

Lembaga perantara tersebut juga berperan membantu manajemen sekolah untuk mengembangkan kerjasama dengan instansi-instansi terkait guna memperoleh dana pengembangan infrastruktur sekolah.Tidak hanya itu, lembaga tersebut juga dapat menggalang dana dari sponsor untuk perbaikan bangunan sekolah yang hampir rusak di banyak wilayah terpencil. Dukungan masyarakan, lembaga sosial, dan lembaga pers memiliki fungsi dalam meningkatkan pemahaman masyarakat Melayu tentang arti pentingnya pendidikan melalui penyebaran informasi. Oleh karena itu, lembaga tersebut mempunyai tugas untuk meningkatkan dukungan tersebut dengan cara bekerja sama dengan pihak masyarakat, lembaga sosial, dan pers. Dengan demikian informasi seputar perbaikan mutu pendidikan anak-anak Melayu yang dapat tersalurkan dengan mudah.

Orang Melayu menyadari dengan semangat kebersamaan dengan jiwa dan pola pembaharuan hidup berkebangsaan dengan tingkat ekonomi dan social serta sadar-pengetahuan dalam membangun anak-anak Melayu sehingga mereka menjadi manusia berdaya cipta, mandiri dan kritis tanpa meninggalkan wawasan tanggungjawab membela sesama untuk diajak maju menikmati kemampuan yang disediakan pemerintah.

Berdaya cipta ialah menggenggam pengertian bahwa sosok anak Melayu dapat menghasilkan sesuatu yang asli dan khas dan, tentunya, berguna bagi penyelenggaraan hidup terhormat. Seperti kita pahami sosok anak Melayu seperti ini adalah mereka yang tidak hanya dapat membangkitkan satu jawaban mutlak menurut kemampuan dan keterampilan yang ada padanya. Tetapi mereka adalah sosok yang mampu menghasilkan pemikiran berangkai, yakni menyediakan berbagai gagasan khas namun, pada akhirnya dia harus mampu memilah dan menentukan yang terbaik. Hal ini harus tampak pada modus pendidikan masa kini yang tidak hanya mengagungkan satu alur pemikiran saja, akan tetapi memiliki berbagai gagasan, ide cemerlang

Dalam hubungan ini anak-anak Melayu juga ditantang untuk mencipta tata-pendidikan yang dapat ikut menghasilkan sumber daya pemikir yang mampu secara mandiri ikut membangun tatanan sosial dan ekonomi sadar-pengetahuan seperti layakknya warga abad XXI. Mereka harus terlatih mempergunakan kekuatan argumen dan daya pikir, alih-alih kekuatan fisik konvensional. Dan yang tak kalah pentingnya, dengan kenyataan bahwa penguasaan serta akses tekno-sains yang bukan lagi didominasi oleh dunia akademis, mereka harus memiliki kreativitas tinggi yang diperlihatkan dengan kentalnya sifat inovatif dan inventif dalam karya-karya orisinil mereka. Tentu saja anak-anak Melayu dalam memandang ke depan dan merancang langkah kita tidak boleh sama sekali berpaling dari kenyatan yang mengikat kita dengan realita kehidupan.

Negeri kita masih menyimpan banyak kantong-kantong kebodohan dan kemiskinan, selain itu, wilayah kesehatan umum yang tidak memadai dan kesehatan kependudukan yang rendah serta mutu umum pendidikan yang belum dapat dibanggakan. Ini memerlukan perhatian dan upaya yang serius, taat azas dan, tidak kurang pentingnya, dana. Kita juga masih menyandang kewajiban luhur membawa kelompok-kelompok terpencil dan belum terendus pendidikan dalam pengertian berbangsa. Kewajiban kita adalah mengangkat dan mengajak mereka agar dapat bersama-sama merasakan kenyamanan zaman baru, dan dunia global.***

Penulis adalah guru besar Universitas Riau