JAKARTA- Skor 3-0 seperti dalam suatu pertandingan sepakbola adalah skor yang cukup telak dan sangat kecil kemungkinan untuk membalikan keadaan bagi kubu lawan menciptakan kemenangan.

Tekecuali ada suatu keajaiban tersendiri seperti yang terjadi pada tahun 2015 pada final Champions League di Istanbul antara Liverpool vs AC Milan, yang pada awalnya 3-0 untuk keunggulan AC Milan, tetapi dengan keajaiban Tuhan, akhirnya Liverpol bisa menyamakan kedudukan dengan skor 3-3 dan harus diadakan adu penalty yang dimenangkan Liverpool saat itu.

Tetapi sudahlah, itu hanya sebuah gambaran kecil dalam pertandingan sepakbola, kini saya hanya akan membahas kondisi sepakbola yang semakin hari semakin rumit dengan apa yang dilakukan Menpora dengan kesewenang-wenangannya terhadap PSSI.

Hampir satu tahun sudah kondisi sepakbola tanah air mengalami mati suri, menyedihkan memang apabila kita mengingat awal mula pembekuan pada tahun 2015 lalu, ketika Surat Keputusan (SK) Pembekuan untuk PSSI tersebut turun, disaat bersamaan sedang berlangsung pemilihan ketua umum PSSI periode 2015-2019, dan kala itu LA Nyalla Matalitti terpilih sebagai ketua umum PSSI yang baru.

Salam 3-0 mungkin kata yang lebih tepat untuk menggambarkan kondisi sepakbola Indonesia sekarang. Ya seperti yang saya gambarkan diatas, bermula pada kemenangan PSSI di PTUN, PTTUN, dan terakhir Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Kemenpora. Dimana dalam putusannya, Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat nomor 36/ K/TUN/2016 tanggal 7 Maret 2016 yang berbunyi ‘’Tolak Kasasi’’ Kemenpora.

Atas putusan ini, PTTUN yang memenangkan PSSI telah dinyatakan inkracht. Sehingga menurut saya, skor 3-0 tersebut sudah jelas bahwa, apa yang dilakukan Menpora adalah tindakan yang salah dengan adanya keputusan hukum tersebut. Bahkan bisa diibaratkan kemenangan PSSI tersebut merupakan hasil 3 kali pertandingan dengan total agregat 3-0, ya hasil yang memang pantas untuk PSSI.

PSSI yang diposisikan seperti kisah Talut dan Daud ( Saul dan David ) melawan Raja Zalim, Goliath (Jalut), yang dalam artian Menpora dalam hal ini merasa besar sebagai penguasa yang mustahil dikalahkan dalam lini manapun, tapi dengan kebesaran Tuhan, yang kecil pun bisa menang melawan yang merasa besar (Penguasa).

Sehingga fakta yang terjadi membuktikan bahwa kebesaran Tuhan memang ada, dan kita tidak bisa pungkiri dengan kenyataan yang ada, bahwa kebenaranlah yang menang atas kezaliman penguasa tersebut.

Kemudian pertanyaannya, apakah dengan berakhirnya skor 3-0 tersebut kubu Menpora mau mengakui kekalahannya?, dalam hal ini patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia?. Saya rasa sangat kecil Menpora bisa mengakui kekalahannya, bahkan penguasa tersebut sudah siap melawan dengan mengajukan PK, dan menurut saya itu merupakan tindakan bodoh.

Apabila tidak mengakui kekalahannya, maka bagi rakyat, tindakan Menpora ini merupakan suatu kebodohan dengan melawan putusan hukum Negara.

Sungguh menyedihkan ketika sering kita mendengarkan bahwa Indonesia itu Negara hukum, tetapi fakta yang terjadi tidak demikian, ya kita tunggu beberapa hari kedepan seperti apa keputusnya. Dengan jargon ‘’Tata Kelola Sepakbola Yang Lebih Baik’’, namun pada kenyataanya saat ini Menpora malah menghancurkan bahkan kesalahan-kesalahan yang dilakukannya tersebut menjadi pembenaran tersendiri bagi mereka.

Sebagai supporter, saya hanya merindukan atmosfer sepakbola Indonesia kembali normal, dan kembali seperti sepakbola yang sebenar-benarnya sepakbola, dalam artian dibawah federasi yaitu PSSI dan sanksi FIFA segera dicabut, sehingga kami kembali bisa melihat atmosfer tribun yang sesungguhnya.

Dengan adanya kompetisi resmi, melihat timnas bertanding, sehingga diharapkan akan muncul bibit-bibit muda. Pemain pun bisa melihat masa depan dalam bermain sepakbola. Sehingga bakat mereka juga bisa tersalurkan kembali.

Harapan saya, semoga bapak-bapak penguasa negeri ini (Pemerintah) bisa melihat itu semua, dan sama-sama membangun sepakbola Indonesia menjadi lebih baik, jangan hanya selalu memberikan harapan palsu kepada rakyat, dan jangan karena mementingkan satu golongan, semuanya hancur seperti ini.

Penulis : Ade Chandra, Pecinta Sepakbola Indonesia di Jakarta. ***