ANDAI saya wartawan yang ikut dalam jumpa pers, atau berkesempatan mewawancarai Tim Transisi (entah ketua atau anggotanya), dan mereka berbicara tentang rencana menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI, ada satu pertanyaan yang ingin diajukan. Pertanyaan ini sederhana saja,”Jika KLB diadakan, dan menghasilkan pengurus baru, itu menggantikan pengurus yang mana, La Nyalla atau Djohar Arifin?.” Sayangnya tak ada wartawan yang pernah mengajukan pertanyaan seperti itu. Entah kenapa. Apakah sudah terbuai dengan jargon reformasi sepakbola, bosan dengan kisruh yang tak ada hentinya, ataukah masalah itu tak teringat lagi.

Kenapa saya tulis ada dua kepengurusan PSSI?. Sebenarnya tidak ada dua versi itu, karena kepengurusan yang sah adalah PSSI kepemimpinan La Nyalla Mattalitti, yang terpilih dalam KLB PSSI 18 April 2015 di Surabaya. Namun, sehari sebelumnya dikeluarkan SK Pembekuan oleh Menpora, Imam Nahrawi. Namun KLB tetap berlangsung, dan La Nyalla terpilih menggantikan Djohar Arifin.

Dalam KLB di Surabaya itu, Djohar juga membuka, memimpin dan menutup Kongres tersebut, Keesokan harinya, 19 April 2015, pada saat acara penutupan dan perayaan HUT PSSI dilakukan serah terima jabatan (sertijab) dari Djohar kepada La Nyalla.

Setelah pembekuan terjadi, Komisi X DPR dalam rapat kerja bersama Menpora pada 11 Juni 2015 menghasilkan rekomendasi agar sang menteri bertemu PSSI sebelum 23 Juni 2015. Pertemuan itu untuk membicarakan polemik terkait sepak bola Indonesia. Lucunya, Menpora justeru mengundang Djohar Arifin dalam pertemuan di kantornya, 23 Juni 2015.

Alasan mengundang Djohar, yang mantan staf ahli Menpora Andi Mallarangeng, karena menganggap kepengurusan La Nyalla tidak sah. “Karena pembekuan PSSI kami lakukan tanggal 17 April akibat ketidaktaatan dari PSSI untuk memenuhi harapan pemerintah. Tentu setelah itu produknya (La Nyalla) tidak diakui oleh pemerintah,” kata Imam Nahrawi kepada para wartawan di DPR RI, keesokan harinya (24 Juni 2015).

Alasan Menpora itu pun dipakai oleh Djohar Arifin dalam suratnya yang dikirim ke FIFA pada Mei 2015. “Saya berharap FIFA memperhatikan hal ini dengan tidak mengakui kongres luar biasa PSSI pada 18 April 2015 karena PSSI diskors oleh pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga sejak 17 April 2015,” tulis Djohar.

“Karena surat skorsing yang telah diterbitkan pada 17 April 2015 tepat sebelum PSSI memilih ketua umum yang baru dan sesuai dengan itu, saya masih tetap sebagai ketua umum PSSI,”tegas Djohar yang ketika dikonfirmasi wartawan tidak membantah, juga tidak mengiyakan. Ia hanya mengatakan akan menjelaskan soal surat itu pada saat yang tepat. Sesuatu yang tak pernah ditepatinya hingga kini.

Kepengurusan PSSI di bawah La Nyalla sendiri diakui oleh FIFA sebagai induk sepakbola dunia, dengan resmi dicantumkan di situsnya sebagai Presiden PSSI pada 29 April 2015. Pengakuan serupa juga diberikan oleh Federasi Sepakbola Asia (AFC).

Kini, tinggal menanti apakah KLB PSSI versi pemerintah benar-benar dilakukan atau hanya sekedar gertak sambal saja. Jika dilaksanakan, dan ini merupakan tindakan bodoh serta makin mengacaukan persepakbolaan nasional, kepengurusan baru ini punya legitimasi dari mana, pemerintah saja?. Siapa anggota PSSI yang hadir, yang punya hak suara untuk memilih kepengurusan?. Sudahkah memenuhi syarat yang ditentukan Statuta PSSI, ataukah memakai Statuta buatan sendiri?.

Saya sendiri hanya ingin tahu, apakah Menpora akan sebut kepengurusan La Nyalla yang digantikan oleh pengurus baru hasil KLB bikinan pemerintah, ataukah Djohar Arifin yang jelas-jelas sudah menyerahkan jabatannya secara resmi.

Biarlah pemerintah memilih sendiri, karena apapun pilihannya tetaplah itu bodoh dan lucu.‎‎ ***

* Yo Sugianto adalah Jurnalis, Penyair dan Pemerhati Sepakbola Indonesia