KERJASAMA Badan Intelijen di lingkungan anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai pemikiran realistis dan mustahak. Pokok-pokok pembahasan yang muncul dalam agenda KTT ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur baru-baru ini semakin mewarnai pertemuan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Kerjasama selama ini menjadi lebih luas bagi eksistensi ASEAN. Hal ini terjadi karena masuknya permasalahan intelijen.  KTT di Kuala Lumpur yang dihadiri sepuluh anggota yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, Myanmar, Laos, Brunai Darussalam, Vietnam dan Kamboja. Apalagi dengan munculnya ancaman terorisme berskala internasional seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Namun hanya 6 negara saja yang menganggap perlu kerjasama di bidang intelijen. Ke 6 negara itu terdiri dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina dan Vietnam. Selebihnya beberapa anggota masih bersifat "wait and see". Padahal sesuai dengan perkembangan masyarakat ASEAN saat ini semakin luas dan komplek.

Jumlah penduduk ASEAN mencapai 601 juta jiwa. Dari jumlah itu Indonesia menempati urutan pertama yakni 253 juta jiwa lebih. Dilihat dari kondisi geografis, tidak mudah mendeteksi kondisi keamanan Asia Tenggara, tanpa adanya koordinasi Badan Intelijen. Sebagai contoh Indonesia memiliki penduduk terbesar di ASEAN, dengan jumlah 17.000 pulau. Dengan demikian penduduknya terpisah-pisah karena berdiam dibanyak pulau. Tidak banyak yang mengetahui Indonesia berbatas dengan sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, Australia, Timor Leste, Papua Nugini, Vanuatu, India, Filipina dan Brunai Darussalam.

Dilihat dari potensi penduduk dengan beragam etnis, posisi dan kekayaan sumber daya alam ASEAN akan menjadi perhatian negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Tiongkok, Rusia dan sejumlah negara-negara lain di Benua Eropa. Kerjasama intelijen diantara negara-negara ASEAN sangat diperlukan, terutama dengan terdapatnya titik-titik rawan. ISIS yang saat ini melakukan propoganda dengan menyinggung masa depan dan kesejahteraan bagi generasi muda. Embel-embel tersebut menarik kaum muda di Indonesia dan negara-negara lain. ISIS tidak begitu gencar mengkampanyekan persoalan agama yang ada saat ini.

Faktanya generasi muda diarahkan menjadi kelompok ekstrem. Sedangkan lawan yang harus dihadapi bermacam-macam. Tidak jelas siapa sebenarnya musuh utama ISIS karena sasaran menjadi semakin luas. ISIS tumbuh dan berkembang, tidak saja di Iraq dan Suriah karena beberapa negara di Timur Tengah diam-diam mengadakan kerjasama. Bahkan generasi muda yang tidak tahu "juntrungan" ISIS, ikut-ikutan terpikat. Seperti terjadi di Inggris, Prancis, Jerman dan negeri Belanda. Kelompok ini menyebar ke Turki, Libanon dan Mesir. sejumlah kecil elemen muda dari Indonesia, Malaysia dan Filipina bergabung kedalam ISIS tanpa maksud yang jelas. Mereka termakan rayuan "kehidupan lebih baik". Dengan demikian sasaran kerjasama intelijen memberi masukan kepada pemerintahan ASEAN agar waspada dan hati-hati. Terutama menghadapi terorisme dibawah payung ISIS.

Yang juga perlu diperhatikan pengaruh bahaya narkotik yang ikut menjerumuskan anak-anak muda dan elemen masyarakat lainnya. Mencegah dan memperketat peredaran narkotika, termasuk tugas penting pemerintahan di ASEAN yang dipasok data-data kerjasama intelijen. Peranan lembaga intelijen bukan saja berfungsi sebagai filter, tetapi sekaligus menghambat penyebaran dan penggunaan narkotik. Bahkan yang perlu diwaspadai saat ini apa yang disebut "narco terrorism" (terorisme dengan instrumen narkotik). Selain itu perlu diwaspadai "narco lepsy" (kekacauan syaraf akibat memakai narkotik berlebihan). Apa yang terjadi dikawasan segitiga emas (the golden triangle) menjadi salah satu produsen terkemuka lingkungan global. Kerjasama intelijen bisa efektif dengan payung ASEAN.

Selama ini sudah ada koordinasi dikalangan negara-negara yang masuk kawasan segitiga emas yaitu Thailand, Myanmar dan Laos guna meminimalisasi narkotik dengan berbagai bentuknya. Akan tetapi kerjasama dilingkungan kawasan segitiga emas belum bisa mengikis habis peredaran dan pergerakan narkotik. Saat ini narkotik yang berasal dari kawasan segitiga emas bisa menyebar kenegara-negara lain seperti Malaysia, Indonesia dan Singapura. Kawasan segitiga emas merupakan produsen opium (candu) yang jumlahnya sangat besar. Blueprint dalam rangka kerjasama intelijen ASEAN perlu disiapkan secara cermat.

Bentuk kerjasama meliputi pertukaran data intelijen mengenai potensi manusia yang terlibat (diduga ada indikasi terlibat dalam terorisme). ISIS merupakan jaringan terorisme yang tidak mustahil ikut memainkan terorisme narkotik karena itu perlu membangun sistem kerjasama, sehingga pertukaran data dapat dilakukan secara tepat. Demikian pula perlu adanya pertukaran kunjungan lembaga-lembaga intelijen ASEAN. Secara spesifik yang tak kurang pentingnya adalah membangun "hotline" antara pejabat intelijen masing-masing negara.

Ada 6 lembaga intelijen yang berkepentingan guna melakukan kerjasama menghadapi terorisme dan bahaya narkotik. Sudah barang tentu ISIS merupakan sasaran yang harus diperhatikan serius. Akan tetapi untuk tantangan lain yang juga penting adalah perdagangan manusia yang terjadi di kawasan ASEAN. Masalah ini perlu diwaspadai, karena berkaitan dengan terorisme. Kerjasama 6 negara anggota ASEAN melalui koordinasi yang dilakukan oleh lembaga intelijennya masing-masing. Malaysia memiliki lembaga intelijen yang bernama Researh Division of The Prime Minister's Department, sementara Filipina melalui institusi National Intelligence Coordinating Agency, sedangkan Singapura memiliki Intelligence and Security Division (Of The PM Office). Thailand yaitu melalui Thailand National Intelligence Agency, sementara itu Vietnam melalui lembaga Vietnam Minister's Publik Security. Sedangkan Indonesia melalui Badan Intelijen Negara (BIN). Ke enam lembaga intelijen tersebut untuk memperkokoh forum ASEAN ditengah-tengah suasana global.

Karena itu koordinasi yang dilakukan ke enam negara harus berjalan baik dengan didukung data-data akurat. Sehingga jangan lahir peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan dalam bentuk terorisme akibat lemahnya jaringan intelijen ASEAN.***

Penulis adalah wartawan senior tinggal di Pekanbaru.