SEORANG ahli hikmah berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, seandainya engkau memilih akar untuk tempatmu bergantung, pilihlah akar yang menjalar ke tanah, karena ia akan terus hidup dan berkembang, dan jangan engkau pilih akar yang menjulang ke atas, karena ia akan terputus. Sekalipun kelihatan gagah, tetapi percayalah, akar yang menjulang ke atas tidaklah akan kuat diterpa godaan. Ia hanya pandai melenggak-lenggok menggoda setiap yang ada di sekitarnya agar tertarik. Tetapi setelah dijadikan tempat bergantung, ia akan runtuh ke bumi dan engkau pun akar. Tersungkur berlumur debu penuh penyeselanan (Kutipan buku Islam dan Kepemimpinan di Indonesia). Walau tamsil di atas begitu ringkas, tetapi memiliki makna yang dalam untuk diresapi sebagai sebuah ajaran kehidupan bermasyarakat. Eksistensi seorang pemimpin sebegitu diperlukan dalam kehidupan. Namun demikian, tidak semua pemimpin mampu menjawab apa yang diperlukan pengikutnya. Untuk itu, menjadi pemimpin bukan persoalan yang mudah dan muncul secara instan, apalagi hanya sekadar diusung oleh nafas demokrasi. Sosok pemimpin perlu dibangun dalam proses panjang dan kekuatan kepribadian yang tangguh.

Eksistensi pemimpin dapat dilihat dari karakter air. Lihatlah air mengalir tiada henti, walau disauk untuk dipindahkan ke lingkungan yang akan membuatnya terkurung, ia hanya berhenti sesaaat, setelah itu terus berjalan menelusuri ke alam sekitar bahkan ke tempat yang paling bawah.

Karakter inilah yang dalam Islam disebut dengan sifat Tawadhu’. Pemimpin harus memiliki kerendahan hati (tawadhu’). Syarat ini menjadi sebuah kekuatan dahsyat agar sosoknya menjadi inspirasi bagi pengikutnya. Dengan sifat tawadhu’ yang dimilikinya, apatahlagi ditopang oleh kemampuan intelektualnya yang tinggi, akan melengkapi kewibawaannya.

Kepribadiannya tidak membuat jurang pemisah dengan para pengikutnya, baik pada aspek komunikasi, tampilan, bahkan kebijakannya. Namun, tatkala pemimpin memiliki keangkuhan, arogan, dan tidak mau mendengarkan masukan dan aspirasi pengikutnya, maka yang muncul sikap masa bodoh. Bahkan lambat laun sikap ini berujung pada rasa frustasi karena menganggap dirinya tak lagi diperlukan oleh seorang pemimpin. Akibatnya, pemimpin akan ditinggalkan pengikutnya. Ia hanya akan dikelilingi “para jawara yang penuh kepentingan”. Pemimpin yang demikian akan dipuja tatkala memiliki kekuasaan, namun ditinggalkan sendiri tatkala ia lengser dari kursinya. Seyogyanya ia menjadi inspirasi tercapainya mimpi bersama, namun berubah menjadi keputusasaan dan cercaan dari pengikutnya.

Selanjutnya, karakter dari air adalah memberi energi. Sehebat apapun seorang atlet, pasti membutuhkan energi untuk mengembalikan ion tubuhnya. Artinya, air memiliki humanity. Seorang pemimpin harus tetap sadar bahwa para pengikutnya adalah manusia biasa. Mereka bisa kelaparan, kelelahan, marah, kecewa atau kehilangan keyakinan. Untuk itu, seorang pemimpin harus mampu membangkitkan dan menghidupkan energi kemanusiaan para pengikutnya. Langkah yang ditempuh adalah tatkala ia mampu memiliki kemampuan komunikasi yang mengedepankan aspek kemanusiaan, tanpa menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan yang ada. Pendekatan humanity sesuai dengan pesan pepatah yang mengatakan, bahwa “yang besar dihormati, yang sebaya dihargai, dan yang kecil disayangi”. Keindahan pepatah lama terasa semakin pudar dengan anggunnya dominasi kehidupan individualis dan primordial yang semakin mengental.

Sebagai pemegang amanah Allah yang sebagian besar jasmaninya terdiri atas air, pemimpin seharusnya meniru air dalam upaya mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Tiada kata lelah, apalagi bosan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kebaikan kepada rakyat yang juga memberikan amanah kepadanya. Kapan dan dimanapun berada, tugas seorang pemimpin memberikan kesejukan dan menyuburkan. Bagaikan air dengan alam sekitarnya, pemimpin mendermakan diri untuk “dihisap” dan bukannya “menghisap” ia mensejahterakan bukan menyengsarakan.

Salah satu sifat air yang amat pantas ditiru dalam mensejahterakan alam sekitar adalah kecenderungannya yang suka mengisi tempat terendah terlebih dahulu, sebelum mengisi tempat yang lebih tinggi. Sefat eksak air seperti ini hendaknya diserap oleh calon pemimpin. Perhatiannya kepada golongan masyarakat rendah, miskin dan terpinggirkan hendaknya didahulukan ketimbang masyarakat kelas atas yang memang sudah ''kenyang'' dengan berbagai perhatian.

Model kepemimpinan seperti inilah yang dahulu dipratekkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam memimpin negara Madinah, sehingga ketokohan dan kepemimpinan beliau mengakar sampai akar rumput begitu kuat. Dalam sebuah hadistnya beliau bersabda “aku bersama orang-orang yang miskin, dan akulah wali dari orang-orang miskin”.

Kepemimpinan seperti itu tidak mudah goyah diterpa godaan, sebesar apapun godaan itu. Ia sungguh-sungguh menyatu dengan rakyat dan alamnya, sehingga ketika muncul permasalahan, sang pemimpin dengan mudah tahu dimna akar permasalahannya. Serumit apapun masalahnya, bila akarnya diketahui, solusi pemecahnya akan segera ditemukan secara tepat, sehingga tidak berujung kepada malapetaka. Wallahualam. ***

Muhammad Ashsubli adalah Dosen STAIN Bengkalis, Riau