JAKARTA - Terkuaknya andil dari sejumlah oknum aparat di Kepolisian, BNN dan TNI dalam peredaran narkotika di Indonesia, diungkapkan oleh Koordinator KontraS Haris Azhar. Kisah ini sempat dituturkan Haris di media sosial, berdasarkan testimoni Fredi Budiman kepadanya di tahun 2014 silam.

Alih-alih evaluasi diri dan melakukan pembenahan di internalnya, BNN dan TNI nyatanya malah melaporkan Haris ke pihak kepolisian. Haris dituduh mencemarkan nama baik institusi negara dalam tulisannya mengenai pengakuan Fredi Budiman tersebut.

Hal ini pun langsung memicu opini publik, yang menganggapnya sebagai sikap arogan dari para penegak hukum. Desakan publik agar pihak kepolisian, BNN dan TNI segera melakukan upaya bersih-bersih di jajarannya pun semakin kuat. Hal ini dinilai sebagai langkah utama dalam pemberantasan narkotika, karena aparatur negara yang terlibat dalam peredarannya merupakan 'duri dalam daging' bagi perang melawan narkotika itu sendiri.

Namun, keterlibatan aparatur negara dalam peredaran narkoba semacam ini nyatanya memang tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di Asia Tenggara, Filipina merupakan negara dengan masalah narkotika, yang turut menyeret nama-nama pejabat negara dalam pusaran bisnisnya.

Hal ini dibuktikan oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte baru-baru ini, yang mengancam akan membeberkan nama-nama pejabat negara yang terlibat dalam bisnis narkotika tersebut.

Walaupun pemerintah Filipina akan memberi kesempatan kepada para pejabat yang terlibat untuk membersihkan nama mereka, namun penasihat hukum Presiden Duterte, Salvador Panelo mengatakan, dalam waktu dekat nama-nama itu akan tetap dipublikasikan.

"Demi Tuhan, kalian akan terkejut melihat daftar itu. Presiden akan membeberkan nama 27 politisi lokal itu dalam waktu dekat," ujar Panelo tiga hari lalu.

Langkah Duterte ini sebenarnya sudah dimulai sejak bulan lalu, di mana dirinya sempat menyebut lima nama jenderal polisi yang terlibat dalam peredaran narkotika di Filipina. Kelima jenderal itu, dimana tiga di antaranya masih aktif berdinas, pun membantah semua tuduhan yang dilontarkan oleh presiden barunya tersebut.

Kepolisian Filipina mengatakan, sejak Duterte berkuasa, setidaknya 400 tersangka pengedar narkotika telah tewas. Di sisi lain, 4.500 orang ditahan dan 585.805 orang lainnya menyerah.

Selain itu, berkat kebijakan Duterte yang amat keras masalah narkotika ini, di Filipina juga marak aksi kelompok-kelompok massa non-polisi yang men-sweeping dan membunuhi para pengedar serta bos-bos mafia narkotika tersebut.

Keterlibatan masyarakat dan aparatur negara yang saling bekerja sama memberantas jaringan narkotika semacam inilah, yang juga diminta oleh Haris Azhar untuk dilakukan oleh aparat berwenang di Indonesia. Dirinya menyebut, apa yang terjadi di Filipina itu harus dicontoh, dimana aparat negaranya dibersihkan dari keterlibatan dengan jaringan narkotika, dan masyarakatnya diajak bersama-sama untuk melakukan pemberantasan.

"Dengan momentum apa yang terjadi di Filipina, saya mau mengajak BNN. Berani nggak BNN buka di mana saja lokasi pelabuhan tikus yang biasa digunakan sebagai lokasi penyelundupan narkoba," kata Haris di Jakarta, Senin (8/8).

"Rakyat Indonesia itu jumlahnya lebih dari 240 juta orang. Ajak dong berpartisipasi untuk membongkar pelabuhan itu," ujarnya menambahkan.

Haris menilai, selama ini BNN juga kurang transparan di dalam upaya pemberantasan narkoba, karena mereka sama sekali tidak pernah mengungkap secara gamblang mengenai bagaimana dan dari mana jalur masuk narkoba itu. Selain itu, BNN juga tidak pernah mengungkap siapa saja pihak yang menjadi penyuplai narkoba tersebut.

"Meski masih dalam tahap pengejaran, setidaknya bisa diungkap siapa gembongnya, bagaimana ciri-cirinya. Sehingga, kita bisa juga membantu," kata Haris.

Melihat kinerja para aparatur negara seperti BNN, TNI dan Kepolisian yang masih dianggap setengah hati dalam memberantas narkotika, maka kewenangan yang lebih besar lah yang seharusnya mengambil porsi tanggung jawab ini. Hal ini dianggap penting, untuk memastikan bahwa para pejabat dan aparatur negara tidak ada yang berkhianat pada upaya pemberantasan narkotika, dengan menjadi bagian dari peredarannya.

Masalahnya, beranikah Presiden Jokowi mengambil langkah setegas Presiden Duterte, dalam membongkar para pejabat negara yang terlibat dalam bisnis narkotika tersebut?***