JAKARTA - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai kerusuhan di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, bukanlah persoalan agama, melainkan sentimen bernuansa etnis yang sudah berlangsung lama. Lukman mengibaratkan kondisi di Tanjung Balai seperti api dalam sekam. Lukman mengaku, pihaknya telah menurunkan sejumlah pejabat untuk mendalami kerusuhan tersebut. Menurut Lukman, sejauh penelusuran yang dilakukan pejabat Kementerian, tidak ditemukan pemicu konflik perbedaan agama. “Ini lebih kepada persolan etnis yang sudah cukup lama,” kata Lukman di Hotel Aryaduta Jakarta, Senin malam, 1 Agustus 2016, seperti dikutip Goriau.com dari Tempo.co.

Kerusuhan di Tanjung Balai terjadi pada Jumat malam, 29 Juli 2016. Dugaan kerusuhan berasal dari kesalahpahaman. Kerusuhan itu mengakibatkan sejumlah tempat ibadah dirusak massa. Sebanyak 2 vihara dan 5 klenteng dibakar.

Lukman mengatakan di Tanjung Balai sudah memiliki bibit-bibit konflik yang sewaktu-waktu bisa tumbuh. “Seperti api dalam sekam,” ujar dia. Ia menambahkan apabila ada pemicu maka kerusuhan pun bisa tidak terelakkan.

Lukman telah menerjunkan sejumlah pejabat untuk mendalami lebih lanjut motif kerusuhan yang terjadi. Kemenag bekerjasama dengan aparat penegak hukum juga tokoh masyarakat dan agama setempat untuk mengusut persoalan di Tanjung Balai.

Menurut Lukman, pembakaran yang terjadi hingga mengenai wihara dan klenteng merupakan bentuk pelampiasan dari masyarakat dari kerusuhan itu. Bisa jadi, pembakaran dipicu oleh provokator. “Ini kami dalami siapa di balik itu,” kata dia.

12 Tersangka

Sementara Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan jumlah tersangka terkait dengan kerusuhan di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, kini menjadi 12 orang. "Empat tersangka dalam kasus perusakan, delapan tersangka terlibat kasus penjarahan," kata Martin di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Senin, 1 Agustus 2016.

Delapan tersangka penjarah itu adalah remaja. Usia mereka dari 16 hingga 21 tahun. Sedangkan tersangka perusakan adalah dua remaja dan dua orang berusia 27 tahun.

Martin masih menunggu hasil pemeriksaan polisi mengenai peran pelaku perusakan, apakah mereka yang menggerakkan, mendorong kerusuhan, atau melakukan perusakan itu. Menurut dia, jumlah tersangka kerusuhan Tanjungbalai bisa jadi bertambah, mengingat kerusuhan terjadi di sepuluh tempat.

Martin menjelaskan, hasil sementara pemeriksaan menyebutkan cara pelaku memprovokasi melalui pesan di media sosial Facebook. "Mereka sudah bernegosiasi (untuk damai), tapi ada sekelompok orang yang mengorganisasi massa dan orang berkumpul," ujar Martin.

Ia mengatakan polisi sudah mendata pesan-pesan atau status di media sosial. "Sedang didalami," tutur Martin. Dia menjelaskan, situasi di Tanjungbalai kini kondusif dan masyarakat sudah beraktivitas.

Pemerintah melakukan upaya pemulihan di samping penegakan hukum. Untuk upaya pencegahan, personel Polri ditempatkan di Tanjungbalai. Upaya pemulihan, kata Martin, melibatkan Polri dan TNI. Mereka membersihkan sisa-sisa barang yang dibakar massa pada Jumat malam, 29 Juli lalu.

Dalam kejadian tersebut, massa membakar barang-barang di dua vihara dan lima klenteng. Kericuhan ini diduga karena masyarakat salah paham dengan perkataan seseorang dari etnis Cina. Padahal sebelumnya kasus salah paham tersebut sudah diselesaikan secara lokal oleh kedua pihak.

Lalu tersiar pesan lewat media sosial yang menyebutkan bahwa masjid dilarang memperdengarkan azan. Pesan berantai itulah yang akhirnya menyulut kemarahan umat Islam di Tanjungbalai.***