JAKARTA - Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko berharap Mabes TNI serius menindaklanjuti testimoni terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman kepada aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar. Karena bagaimana pun, kata Moeldoko, pengakuan itu menyangkut nama baik institusi TNI. Dalam testimoni yang disampaikan 2014 itu, Freddy sempat mengakui pernah membawa narkoba dengan fasilitas mobil jenderal TNI bintang dua. Freddy menyetir mobil dari Medan sampai Jakarta membawa narkoba didampingi seorang jenderal. Perjalanannya aman tanpa gangguan.

"Ini persoalan serius perlu ditindaklanjuti. Kita (TNI) mungkin lebih terbuka. Ini persoalan gawat ketika menggunakan pejabat mengelola itu, itu bahaya," kata Moeldoko dalam perbincangan bersama tvOne, Senin, 1 Agustus 2016.

Namun Moeldoko menyayangkan informasi itu muncul setelah saksi kunci, Freddy Budiman, dieksekusi mati. Namun, dari pengakuan itu, menurut Moeldoko, bisa ditelusuri.

Setidaknya ada indikator awal yang bisa ditelusuri melalui locus-nya, yakni saat Freddy membawa narkoba dari Medan ke Jakarta dengan fasilitas mobil diduga milik jenderal TNI.

"Saya pikir tempat kejadiannya, mobilnya yang digunakan. Kalau Pangdam tidak, tidak mungkin meninggalkan tempat. Mungkin dari perwira lain," ujar Moeldoko.

Tapi bagi Moeldoko, untuk menelusuri siapa oknum perwira yang terlibat bukan perkara mudah. Sebab, jumlah perwira tinggi TNI bintang dua sangat banyak. Bintang dua TNI ada yang menjabat pada jabatan struktural, jabatan fungsional dan tugas khusus.

"Kalau pada jabatan struktur mudah kenali (siapa orangnya). Tapi perwira yang di fungsional dan perwira dengan tugas khusus itu relatif tidak dikenal," kata Moeldoko.

Terlepas dari pengakuan Freddy yang mengejutkan itu, Moeldoko yang pada 2014 silam masih menjabat Panglima TNI menilai sangat naif apabila seorang perwira tinggi TNI rela mengkhianati jabatannya dengan menjadi beking bandar narkoba. Padahal, selama ini, rekrutmen perwira tinggi di TNI melalui seleksi yang ketat. 

"Justru kita minta itu dibuktikan, mengelola organiasi besar ini tidak mudah. Mungkin ada penyimpangan yang tidak bisa dideteksi, walaupun ada Wanjakti ada prawanjakti. Saya katakan mungkin ada orang tergoda, orang mau cepat kaya, bagi saya itu naif," tutur Moeldoko.***