MALANG - Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etik Pers, Dewan Pers, Imam Wahyudi mengungkapkan, sebanyak 75 persen dari 2 ribuan media cetak di Indonesia tak profesional. Data Dewan Pers menyebutkan hanya 567 media cetak yang dikategorikan media profesional. Selebihnya tak memenuhi syarat sesuai standar perusahaan pers yang dikeluarkan Dewan Pers. "Ada yang belum berbadan hukum dan produk jurnalistiknya tak memenuhi prinsip jurnalistik," kata Imam Wahyudi dalam diskusi literasi media bersama jurnalis di Malang, Jumat 28 Juli 2016. Pertumbuhan perusahaan media tak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia dan perusahaan pers yang memadai.

Sedangkan sebanyak 43.300 media siber (online), hanya 211 perusahaan yang dikategorikan perusahaan pers profesional. Untuk itu, Dewan Pers meminta lembaga publik untuk berhati-hati terhadap munculnya media abal-abal. Pelaku seolah berpraktik sebagai jurnalis profesional tetapi melanggar kode etik jurnalis.

"Bahkan ada yang memeras, itu pidana laporkan ke polisi," kata Imam. Media abal-abal muncul, katanya, karena perilaku koruptif di daerah. Sehingga mereka memanfaatkan itu untuk mengeruk keuntungan. Media abal-abal bermunculan terutama sejak pemerintah menggelontorkan dana bantuan operasional sekolah dan dana desa.

"Kepala Desa dan Kepala Sekolah menjadi kelompok rentan yang diperas pelaku media abal-abal," ujarnya. Tahun lalu, sebanyak 10 perusahaan pers yang dikeluarkan dari data perusahaan pers profesional karena berperilaku melanggar prinsip jurnalistik. Perusahaan tersebut beritikad buruk dan cenderung melakukan kejahatan seperti pemerasan.

Sebanyak empat provinsi yang dinyatakan daftar merah karena banyak pengaduan pelanggaran dan sengketa pemberitaan. Yakni Jakarta 394 pengaduan, Sumatera Utara 105, Jawa Barat 51 dan Jawa Timur 44 pengaduan. Sedangkan jumlah jurnalis profesional yang mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) kurang dari 10 ribu.

"Jika ditemukan ada pelanggaran berat Dewan Pers bisa mencabut sertifikat uji kompetensi,"katanya. Sementara itu, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurusa Daerah Jawa Timur, Hendro Sumardiko mengatakan diskusi ini menjadi bagian dari media literasi yang dilakukan IJTI.

"Masyarakat sudah melek media, sudah cerdas mengevaluasi dan menganalisis berita," ujar Hendro.***