JAKARTA - Segelintir orang yang mengklaim dirinya ustaz menggunakan popularitas mereka untuk memasang tarif dalam berdakwah. Lalu pantaskan mereka disebut dai atau ustaz?

Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menuturkan bahwa istilah ustaz di kalangan masyarakat, khususnya di Indonesia telah berubah.

"Jadi kalau di Timur Tengah yang disebut dengan ustaz itu kalau mereka sudah profesor atau doktor. Kalau di pesantren di sebut ustaz itu kalau sudah lulus nyantrinya, lalu jadi guru karena kualifikasinya oleh pesantren itu lalu diangkat menjadi ustaz," tutur Cholil saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Rabu (4/5).

"Nah sekarang ini istilah ustaz sudah berubah bukan karena kualifikasinya. Oleh karena itu, kembalikan yang sebenarnya, orang yang disebut ustaz itu memiliki kualifikasi ilmu keagamaan yang baik, mengajarkan kepada orang lain," terangnya.

Dia pun menyarankan agar masyarakat untuk tidak mengundang apabila ustaz tersebut memasang tarif tinggi pada suatu acara keagamaan untuk memberikan tausiyah. Karena sesungguhnya seorang ustaz tidak akan mengambil keuntungan dari orang lain.

"Kalau mahal nggak usah diundang, karena kalaupun ustaz yang bener-bener ustaz, tidak mungkin dia menjual ilmunya, tidak mungkin pakai tarif-tarif. Gak mungkin, karena semangatnya itu semangat menyampaikan ilmu, bukan mengambil profit dari kebutuhan orang. Oleh karena itu masyarakat yang cerdas hendaklah menyadari, orang yang masang seperti itu pasti bukan ustaz," terang Cholil. ***