BANDUNG- Perjuangan sulit dan panjang yang dilalui Musa Izzanardi Wijanarko, atau Izzan, 13 tahun, akhirnya mengantarkan anak kedua dari tiga bersaudara itu bisa ikut tes Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2016.

Bocah luar biasa ini sempat beberapa kali ditolak ikut ujian persamaan di Kota Bandung. Sehingga siswa home schooling karena berkebutuhan khusus itu harus menunggu selama tiga tahun agar bisa lulus SMA.

Putra pasangan Mursid Widjanarko dan Yanti Herawati kelahiran Bandung, 24 Oktober 2002 itu lulus Sekolah Dasar pada 2011, lulus SMP 2013, dan SMA 2016. “Tahun lalu mau ikut ujian SMA di Bandung tapi tidak boleh, alasannya karena usia,” kata Izzan, Selasa, 31 Mei 2016.

Setelah dicoba lagi tahun ini hingga dinyatakan lulus SMA, bocah ajaib ini mendaftar jadi peserta SBMPTN dan ikut ujian tertulis di kelompok Sains dan Teknologi, Senin, 31 Mei 2016. “Persiapan ujiannya sebulan dibantu keluarga dan kakak, tidak ikut bimbingan belajar,” ujarnya.

Menurut ibunya, Yanti Herawati, ketiga anaknya belajar secara home schooling karena berkebutuhan khusus. Anak sulungnya yang kini kuliah di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, baru di usia SMA masuk ke sekolah umum. Izzan belajar penuh di rumah sampai lulus SMA, begitu pun anak bungsunya.

Izzan ketika ingin ujian kesetaraan SMP pernah ditolak Dinas Pendidikan karena usianya ketika itu 10 tahun. Dengan bantuan beberapa orang, Izzan bisa ikut ujian kelulusan di kota lain. “Kemudian perlu tiga tahun di tiga propinsi untuk mendapatkan kesempatan ujian setara tamat SMA,” ujarnya.

Orang tua Izzan memahami keberatan Dinas Pendidikan yang menolak ujian kesetaraan. Beberapa faktornya seperti untuk memendam anggapan orang tua memaksa anak lulus dengan cepat di usia muda, hingga kekhawatiran kasus Izzan menjadi tren yang akan ditiru banyak orang tua. Namun orang tua terus berjuang agar Izzan bisa belajar di institusi pendidikan tinggi.

Sebelumnya, orang tua membahas keunikan Izzan yang kuat di pelajaran matematika dan fisika dengan dosen ITB, psikolog perkembangan anak, juga dengan pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. “Disarankan untuk studi di sebuah institusi pendidikan, tapi kami? tidak setuju dengan pola belajarnya,” kata Yanti. ***