JAKARTA - Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Prancis Francois Hollande di sela-sela pelaksanaan G7 Summit di Ise-Shima, Jepang, Jumat (27/5). Dalam pertemuan bilateral tersebut, Jokowi meminta Pemerintah Prancis membatalkan rencana menaikkan pajak minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) impor.
''Indonesia mengharapkan dukungan Pemerintah Prancis agar pembahasan mengenai rencana pajak sawit tidak dilanjutkan oleh Parlemen Prancis, sehingga ekspor sawit Indonesia dapat terus dilanjutkan,'' ujar Presiden Jokowi, seperti dituturkan Tim Komunikasi Presiden Ari Dwipayana.

Prancis berencana mengenakan pajak atas minyak kelapa sawit impor.

Pada tahun pertama pajak akan dikenakan 300 euro perton. Pajak ini kemudian akan naik menjadi 500 euro per ton pada 2018 dan 700 euro per ton pada 2019. Pada 2020 pajak sawit akan naik menjadi 900 euro per ton.

Aturan tersebut telah dicantumkan dalam draf Undang-Undang Keanekaragaman Hayati. Jika disetujui oleh Parlemen Perancis maka Undang- Undang akan berlaku mulai 2017.

Pemerintah Indonesia tak setuju dengan aturan tersebut karena diyakini akan merugikan eksportir. Jika pajak dinaikkan, pemerintah khawatir penjualan minyak sawit Indonesia akan menurun.

Mengenai pembinaan petani sawit, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mengatakan, program pembinaan petani sawit swadaya yang dilakukan oleh Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) memang positif. Tapi, program tersebut tidak memiliki kejelasan regulasi dan dianggap telah melanggar undang-undang.

''Negara punya regulasi, kami juga membina petani. Mereka (IPOP) membuat program regulasinya apa, lalu dampak ke petani nanti bagaimana?'' ujar Gamal kepada Republika sebagaimana dikutip GoRiau.com, Jumat (27/5). IPOP merupakan perjanjian pengelolaan sawit lestari yang melibatkan sejumlah perusahaan sawit.

Perjanjian ini ditandatangani pada Konferensi Tingkat Tinggi tentang Iklim pada Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) oleh Wilmar, GAR, Cargill, dan Asian Agri. Sementara, Musim Mas ikut menandatangani komitmen tersebut pada Maret 2015 dan Astra Agro Lestari pada Februari 2016. Gamal berpendapat, pembentukan IPOP diboncengi oleh negara asing yang ingin menguasai sawit Indonesia.

''Masa, negara asing ngatur-ngaturkita, sedangkan kita sudah punya ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil),'' kata Gamal.

Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan pertemuan dengan IPOP. Menurut Gamal, dalam pertemuan tersebut IPOP menyatakan akan membuat kajian terhadap program-program yang mereka lakukan. Sampai saat ini, pemerintah masih menunggu kajian yang dibuat oleh IPOP.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah memberikan peringatan awal kepada pemerintah terkait dugaan praktik kartel yang dilakukan oleh enam perusahaan anggota IPOP. Sejauh ini, KPPU belum akan melakukan panggilan terhadap enam perusahaan tersebut, sebab masih mengumpulkan bukti-bukti sejauh mana mereka menguasai pasar.

''Proses untuk membuktikan praktik kartel memang tidak mudah, tapi setidaknya kami sudah memberikan early warningkepada pemerintah,'' ujar Humas KPPU Dendy R Sutrisno kepada Republika, Jumat (27/5).

Dendy melanjutkan, praktik kartel muncul ketika ada sekelompok pelaku usaha sepakat untuk melakukan pengaturan tertentu, sehingga mengeliminasi kompetisi bisnis. Berdasarkan pengertian tersebut, KPPU mencoba untuk memberitahu kepada pemerintah bahwa ada potensi praktik kartel oleh IPOP.

''Persaingan usaha itu harus imbang, jangan sampai hanya karena isu lingkungan justru mematikan yang lain,'' kata Dendy.

KPPU menilai, terdapat perbedaan antara kebijakan ISPO yang dicanangkan pemerintah dengan IPOP dalam penetapan standar kriteria ling kungan yang baik untuk perkebunan sawit. ISPO menggunakan stadar kriteria High Conservation Value Forest (HCVF), sedangkan IPOP sepakat untuk menambahkan kriteria High Carbon Stock (HCS). ***