JAKARTA - Hukuman kebiri sebagai sanksi tambahan bagi pelaku kejahatan seksual anak telah ditandatangani Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang tentang Perlindungan Anak pada Rabu (25/5) lalu.

Namun, hingga saat ini hukuman pemberatan tersebut masih menuai pro kontra, salah satunya berasal dari kalangan dokter. Kalangan dokter masih menolak menjadi eksekutor suntik kebiri lantaran menganggap tindakan itu tak sejalan dengan sumpah profesi.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonanhan Laoly mengatakan eksekusi itu, akan dilakukan dokter kepolisian jika dokter umum menolak mengeksekusinya. Hal ini, kata Yasonna bukan tanpa sebab, karena hukum telah memerintahkam demikian.

"Kalau hukum yang memerintahkan, kita harus lakukan juga. Kalau dokter yang menolak kan nanti ada dokter polisi, karena dia dilindungi UU," kata Yasonna saat ditemui di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Jakarta, Sabtu (28/5/2016).

Yasonna mengungkapkan, hukuman kebiri sebagai hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan ini juga bukan hanya diterapkan di Indonesia, melainkan juga di beberapa negara lainnya, bahkan di negara Eropa.
Tetapi ia menekankan, hukuman tambahan ini mempertimbangkan sifat kejahatan yang dilakukan pelaku kejahatan seksual tersebut.

"Di beberapa negara juga ada dilakukan, bukan hanya di negara kita aja, bahkan di negara-negara Eropa. Tapi itu bukan sesuatu hukuman yang asal dengan mudahnya," kata Yasonna.

Adapun pengenaan hukuman tersebut juga tidak diberlakukan menyeluruh bagi pelaku kejahatan seksual, tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan fakta-fakta di pengadilan. Hukuman kebiri diperuntukkan bagi penjahat seksual yang melakukan kejahatan secara berulang dan menyebabkan trauma mendalam.***